Monday, April 30, 2007

Warga Mencegat Polisi Ekspor Rotan ke China Akibatkan 42.000 Pekerja Menganggur

Sabtu, 07 April 2007

Banjarmasin, Kompas - Sekitar seratus warga menghadang dan melarang polisi memeriksa 800 kayu gelondongan yang tengah ditarik 10 perahu motor di Sungai Barito, Kalimantan Selatan, Kamis (5/4). Untuk menghindari konfrontasi, polisi pun mengurungkan kegiatan penertiban kayu ilegal itu.

"Karena situasi memanas, pemeriksaan batal dilakukan. Pemeriksaan pasti akan dilakukan kembali jika situasinya sudah kondusif. Petugas memilih menegakkan hukum tanpa cara kekerasan agar tidak jatuh korban," kata Kepala Bagian Humas Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Selatan (Kalsel) Ajun Komisaris Besar Puguh Raharjo di Banjarmasin, Jumat (6/4).

Dia menjelaskan, pemeriksaan kayu gelondongan merupakan bagian dari patroli rutin Direktorat Polisi Air (Polair) di Sungai Barito. Polisi ingin memastikan tidak ada kayu hasil tebangan liar dan diangkut tanpa dokumen.

Saat itu polisi memperoleh informasi tentang penyelundupan kayu ilegal yang disusupkan pada rakit kayu apkiran. Namun, upaya 10 polisi mencegat iring-iringan kayu yang hendak dibawa ke kawasan pengolahan kayu rakyat di Alalak, Banjarmasin, gagal.

Sekitar 100 warga yang berjaga di atas untaian ratusan kayu gelondongan menolak pemeriksaan. Alasannya, itu adalah kayu apkiran dari Kabupaten Muara Teweh, Kalimantan Tengah.

Polair akhirnya berhasil mencegat kayu yang diduga ilegal itu kemarin. Mereka menyita 200 kayu gelondongan yang ditarik lima kapal motor dari Belawang, Kabupaten Barito Kuala. Kayu tanpa dokumen tebang dan pengangkutan itu disusun dalam bentuk rumah lanting (rumah terapung) dan akan dibawa menuju kawasan industri penggergajian Alalak. "Untuk memastikan kayu termasuk apkiran atau tidak, Ditpolair Polda Kalsel akan meminta Dinas Kehutanan Barito Kuala memeriksanya," ujar Puguh.

Organisasi baru

Pengusaha rotan sepakat membentuk organisasi baru untuk memperjuangkan kepentingan produsen mebel rotan. Selama ini asosiasi yang ada, yakni Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), dinilai tak maksimal mendukung perjuangan produsen mebel untuk mendesak pemerintah menutup keran ekspor rotan mentah.

Kesepakatan itu terbentuk dalam pertemuan pengusaha rotan, pembeli, dan pengurus Asmindo di Hotel Santika, Cirebon, Selasa malam lalu. Organisasi baru itu diberi nama Asosiasi Mebel Rotan Indonesia.

Kini terjadi banting harga yang tak sehat. "Padahal, keinginan kami, mebel rotan menjadi produk istimewa di mata pembeli," kata Hatta Sinatra, seorang pengusaha rotan di Cirebon.

42.000 menganggur

Dari Cirebon dilaporkan, para pengusaha rotan meminta pemerintah meninjau lagi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 yang mengizinkan ekspor bahan baku rotan. Bahan baku rotan terutama diekspor ke Vietnam dan China. Akibat ekspor bahan mentah rotan, produksi rotan Cirebon kalah bersaing dengan produksi Vietnam dan China sehingga banyak perusahaan yang gulung tikar. Sekurangnya 42.000 karyawan mebel kini menganggur dalam dua tahun terakhir.

Sobur Koswara, Direktur PT Jakarotan, mengatakan, industri mebel rotan kesulitan mendapatkan bahan baku berkualitas tinggi karena petani rotan memilih mengekspor ke China dan Vietnam.

Mebel rotan Indonesia kalah bersaing dengan mebel rotan China dan Vietnam karena harga mebel dan biaya pengapalan lebih murah dari biaya di Indonesia.

Kini ratusan produsen mebel rotan di Cirebon yang merupakan sentra mebel rotan sudah gulung tikar. Sebelumnya, di Kabupaten Cirebon saja, industri ini mampu menyerap sekitar 113.000 tenaga kerja. (FUL/CAS/NIT)

Kapal Pengangkut 2.000 Meter Kubik Kayu Ditahan

Selasa, 03 April 2007

Pontianak, Kompas - Polda Kalimantan Barat menahan kapal pengangkut 2.000 meter kubik kayu olahan di Muara Kubu, Kabupaten Ketapang. Muatan kapal itu jauh lebih banyak dibandingkan yang tertera dalam dokumen. Tujuan kapal juga berbeda antara yang dicantumkan dalam dokumen perjalanan dan yang ada di faktur barang.

"Dokumen pengangkutan kayu menyebutkan 835 meter kubik kayu olahan," kata Kepala Polda Kalbar Brigjen (Pol) Zainal Abidin Ishak, Minggu (1/4) malam.

Dokumen perjalanan juga mencantumkan Kuching, Sarawak, sebagai tujuan kapal dengan 16 awak itu. Namun, dalam faktur pengiriman barang dinyatakan kayu akan dibawa ke Semarang.

Zainal menjelaskan, polisi telah melacak kapal itu sejak sebulan lalu sampai menemukannya di Sungai Bun-bun, Ketapang, 26 Maret.

Direktur Reserse Kriminal Polda Kalbar Komisaris Besar Anang Pratanto memperkirakan nilai kayu meranti dan belian yang disita itu mencapai Rp 7 miliar. Penyelidikan awal menunjukkan, kayu milik sebuah perusahaan di Ketapang itu diduga hendak dibawa ke Taiwan, bukan Semarang atau Malaysia.

Pencurian ikan

Pada 29 Maret lalu, kapal patroli Landak milik Polda Kalbar juga menangkap kapal nelayan Vietnam yang diawaki 10 orang di Pulau Randeyan yang berbatasan dengan Kepulauan Riau. Kapal yang dinakhodai Nguyen Van Hong itu membawa 100 kilogram ikan yang dikeringkan.

Dari Surabaya dilaporkan, selama tiga bulan pertama 2007 TNI Angkatan Laut menangkap 17 kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia timur.

Panglima Komando Armada RI Kawasan Timur Laksamana Muda Moekhlas Sidik seusai upacara peringatan hari jadi Komando Pasukan Katak, Senin, di Surabaya, mengemukakan, selain pencurian ikan, pengiriman kayu ilegal ke luar negeri juga masih marak di perairan Indonesia timur. Karena itu, jika biasanya untuk patroli dikerahkan 30 kapal perang, saat ini dioperasikan 34 kapal perang. (WHY/INA)

Kehutanan Industri Kayu Nasional Masih Tetap Prospektif

Sabtu, 24 Maret 2007

Jakarta, Kompas - Industri kehutanan berkapasitas produksi lebih dari 6.000 meter kubik per tahun masih prospektif untuk dikembangkan. Persoalan bahan baku yang selalu dikeluhkan kini mulai diatasi dengan pasokan kayu dari hutan tanaman industri, hutan rakyat, dan jatah produksi tebangan yang ditetapkan Departemen Kehutanan setiap tahun.

"Kinerja industri kayu sempat merosot sebentar bukan karena kekurangan bahan baku, tetapi karena berkurangnya pasokan kayu ilegal. Dengan pertumbuhan hutan tanaman industri dan hutan rakyat, industri kayu tetap memiliki prospek bisnis untuk dikembangkan dan bukan sunset industry," kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi di Jakarta, Jumat (23/3).

Masih prospektifnya industri ini karena Indonesia memiliki keunggulan komparatif daripada negara lain dalam memproduksi kayu. Hutan tanaman di sini tujuh tahun sudah bisa dipanen. Di Eropa baru bisa dipanen 13-14 tahun baru bisa dipanen.

Selama ini industri kayu masih banyak menyerap kayu ilegal sehingga jatah produksi tebangan yang diberikan tak pernah terserap habis. Praktik ini marak terjadi tahun 2003 dan berangsur-angsur hilang sejak Departemen Kehutanan menggelar Operasi Hutan Lestari 2005.

Ketika itu, selisih kebutuhan yang diusulkan industri dan pasokan sah yang terealisasi mencapai 9,54 juta meter kubik atau 49,12 persen. Selisih pada tahun 2005 mencapai 9,05 persen atau 3,99 juta meter kubik. Tahun lalu selisihnya berkurang menjadi tinggal 5,62 persen dengan volume 2,36 juta meter kubik.

Selama operasi pemberantasan penebangan liar, industri-industri kayu yang terlalu bergantung pada pemasok ilegal ambruk. Dampaknya, industri kayu yang sah bisa meningkatkan penyerapan bahan baku dari hutan tanaman, rakyat, dan hutan alam yang ditetapkan pemerintah.

Sumber bahan baku resmi yang paling besar berkontribusi adalah hutan tanaman sebesar 60,46 persen. Selanjutnya berasal dari hak pengusahaan hutan sebesar 21,93 persen, izin pemanfaatan kayu 14,31 persen, hutan rakyat 1,68 persen, impor 1,28 persen, dan Perum Perhutani 0,34 persen. Apabila berdasarkan lokasinya, Sumatera dan Kalimantan tetap merupakan sentra produksi bahan baku dan industri kayu nasional.

Menurut Elfian, tahun 2005 industri mengajukan kebutuhan bahan baku sebanyak 32,09 juta meter kubik, tetapi Departemen Kehutanan hanya menyetujui 30,09 juta meter kubik. Tahun lalu industri mengajukan 32,91 juta meter kubik dan disetujui 31,72 meter kubik.

Secara terpisah, Ketua Badan Revitalisasi Industri Kehutanan Soewarni mengungkapkan, industri kayu sebenarnya masih prospektif. Sedikitnya ada 1.500 industri kayu yang mempekerjakan 1,9 juta orang.

Karena itu, industri ini sangat membutuhkan iklim investasi dan peraturan yang kondusif untuk mendukung pertumbuhannya. Masyarakat dan pemerintah juga didorong untuk lebih memerhatikan industri ini.

Kinerja ekspor industri kayu menggembirakan. Total ekspor pada 2006 mencapai 8 miliar dollar AS. Kontribusinya, daun pintu 1,2 miliar dollar AS, kayu lapis 1,5 miliar dollar AS, bubur kertas dan kertas 3,5 miliar-4 miliar dollar AS, dan produk mebel 2,2 miliar dollar AS. (ham)

Penghijauan Butuh Rp 1,2 Triliun Telah Disiapkan 400 Juta Bibit

Selasa, 20 Maret 2007

Magelang, Kompas - Selama tahun 2007 program penghijauan di kawasan hutan negara diperkirakan menyedot dana Rp 1,2 triliun. Dengan nilainya yang terbilang besar, Perum Perhutani akan menggandeng kerja sama dengan pihak ketiga. Sementara ini sudah ada lima investor yang bersedia bekerja sama.

"Sejauh ini sudah ada lima investor yang setuju untuk bekerja sama melakukan penanaman bersama kami," tutur Direktur Utama Perum Perhutani Transtoto Handadhari dalam kunjungan ke Kantor Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Utara, Magelang, Jawa Tengah, Senin (19/3).

Dana sebesar Rp 1,2 triliun tersebut dibutuhkan untuk reboisasi 201.500 hektar lahan kosong. "Lima investor diharapkan dapat membantu program penanaman di 30.000 hektar lahan kosong," kata Transtoto tanpa memerinci kelima investor itu.

Selain itu, Transtoto menerangkan bahwa pihaknya juga masih berupaya mencari bantuan dana untuk reboisasi di kawasan hutan lindung.

"Karena hutan lindung termasuk dalam public service obligation (PSO) dan bukan melulu tanggung jawab Perhutani, kami saat ini juga sudah mengajukan permohonan bantuan dana Rp 158 miliar dari APBN 2007," ujar Transtoto.

Dari 201.500 hektar lahan kosong tersebut, 36.000 hektar di antaranya termasuk dalam kawasan hutan lindung dan sisanya termasuk dalam hutan produksi.

Jika usulan dana tersebut disetujui, penghijauan di seluruh lahan kosong yang terdapat di kawasan hutan lindung akan dapat dituntaskan. Bantuan ini sangat dibutuhkan karena kemampuan keuangan Perhutani sangat terbatas.

"Kalau dipaksakan memakai biaya sendiri, kami bisa terancam bangkrut," ujarnya.

400 juta bibit

Untuk penghijauan selama tahun 2007 ini, Transtoto mengutarakan bahwa pihaknya telah menyiapkan 400 juta bibit yang kini berada di lahan persemaian.

Bibit yang telah disiapkan tersebut terdiri dari bibit tanaman jati, suren, serta tanaman buah-buahan, seperti nangka dan kemiri. Penanaman direncanakan berlangsung pada akhir tahun 2007.

Transtoto mengatakan, hingga akhir tahun 2006 total lahan kosong di lahan milik Perhutani mencapai 250.000 hektar hingga 300.000 hektar. Pada tahun 2010 direncanakan keseluruhan lahan kosong itu telah dihijaukan kembali.

Setelah reboisasi, Perhutani tinggal menjaga tegakan yang telah ditanam. Jika sebelumnya kerusakan tegakan atau perambahan lahan mencapai 8 persen hingga 10 persen, tahun ini ditargetkan dapat ditekan hingga menjadi 2 persen.

Pembakaran Lahan Mulai Terjadi Lagi

Rabu, 14 Maret 2007

Pontianak, Kompas - Aktivitas pembersihan lahan dengan cara dibakar kembali terjadi di sejumlah daerah di Kalimantan Barat. Pantauan dari udara yang dilakukan Dinas Kehutanan provinsi itu Sabtu lalu menunjukkan ratusan hektar lahan perkebunan di Kabupaten Sambas terindikasi sengaja dibakar sehingga menimbulkan kabut asap.

"Dalam pengawasan perbatasan Kalbar-Malaysia dari Sajingan ke Sambas, kami mendapati ada perusahaan perkebunan sawit di sekitar Aro yang terindikasi membersihkan ratusan hektar lahan dengan cara dibakar. Ini terlihat dari lokasi kebakaran yang berada di tengah lahan dan tidak ada tanda-tanda rambatan api dari tepi lahan," kata Kepala Subdinas Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Kalimantan Barat (Kalbar) Sunarno, Selasa (13/3).

Untuk memastikan perusahaan mana yang membakar lahan, Dinas Kehutanan akan segera meninjau kembali lokasi melalui jalan darat. Selanjutnya, kasus itu akan diproses secara hukum.

Pembersihan dan pembukaan lahan dengan cara dibakar merupakan pelanggaran terhadap Pasal 26 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan, serta Peraturan Gubernur Kalbar No 584/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Lahan Tanpa Dibakar.

Sejauh ini, ada tujuh perusahaan yang disidik atau diselidiki dalam kasus pembakaran hutan, sementara dua lainnya dalam proses di pengadilan.

Dalam beberapa pekan terakhir, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Kalbar juga memantau adanya pembakaran lahan oleh petani di Kabupaten dan Kota Pontianak. Lokasinya di Kota Baru, Perdana, Siantan, Rasau, dan Sungai Ambawang. Kabut asap yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut memang belum begitu pekat.

Kepala Bapedalda Kalbar Tri Budiarto menuturkan, pembukaan maupun pembersihan lahan oleh petani kali ini lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya. Sebab, biasanya pembakaran lahan mulai marak pada Juni-September.

"Untuk penanganan kabut asap akibat pembakaran lahan oleh petani, pemerintah seharusnya bisa memperkenalkan teknologi pembersihan lahan yang murah, sederhana, dan ramah lingkungan," kata Tri. (why)

Monday, April 23, 2007

Polemik Kayu Tebangan Liar Sebangau Belum Usai

Jumat, 09 Maret 2007

Palangkaraya, Kompas - Hingga saat ini pengelola Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, masih menunggu keputusan atau kesepakatan akhir menyangkut nasib ratusan ribu potong kayu tebangan liar di kawasan konservasi tersebut. Polemik yang muncul dalam kasus tebangan liar itu, yakni apakah kayu akan dimusnahkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, hingga kini belum usai.

Dalam sepekan terakhir ini Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat Kalimantan Tengah (SPORC Kalteng) diterjunkan untuk memonitor posisi koordinat ratusan ribu potong kayu tebangan liar tersebut, sekaligus menghitung jumlah kayu yang masih baik ataupun sudah membusuk.

"Hasil penghitungan butuh waktu sekitar dua bulan. Apa pun hasil keputusan menyangkut nasib kayu tebangan liar itu, kami siap menjalankannya," kata Kepala Balai Taman Nasional Sebangau Drasospolino di Palangkaraya, Kamis (8/3).

Kalau misalnya nanti diputuskan untuk memusnahkan kayu, kata Drasospolino lagi, pihaknya sudah menguji coba beberapa metode pemusnahan, antara lain menggunakan paku, memotong atau mencincang kayu hingga kecil, atau menggunakan bahan kimia.

Sejak ditemukan pada Juni 2006, ratusan ribu kayu tersebut hingga sekarang masih dijaga oleh Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat agar tidak keluar dari kawasan taman nasional.

Tersebar

Kayu tebangan liar yang diduga berasal dari kawasan Taman Nasional Sebangau tersebut tersebar di Sungai Bulan sebanyak 366.059 potong, Sungai Akai 110.002 potong, Sungai Musang 109.965 potong, dan Sungai Lawang 2.334 potong.

Dalam penanganan kasus ini, Departemen Kehutanan menilai kayu tersebut harus dimusnahkan karena diduga kuat berasal dari Taman Nasional Sebangau yang merupakan kawasan konservasi.

Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang, dalam berbagai kesempatan, terus mempertanyakan kemungkinan memanfaatkan kayu tersebut, khususnya untuk membangun atau merehabilitasi sarana pelayanan publik yang rusak.

"Kami sudah mengarahkan para bupati untuk menginventarisasi desa, rumah ibadah, sekolah, dan bangunan puskesmas serta puskesmas pembantu yang gedungnya sudah rusak. Setelah tahu jumlah kayu di Sebangau yang masih layak, kami akan meminta pengarahan dari Wakil Presiden berkaitan dengan nasib kayu temuan itu," kata Teras Narang menjelaskan. (CAS)

Produk Kehutanan Pemanfaatan Kayu Eks Nonhutan bagi Industri Kecil

Sabtu, 24 Februari 2007

Palangkaraya, Kompas - Kayu tebangan dari kawasan nonhutan diusulkan agar dapat dimanfaatkan oleh industri kecil di Kalimantan Tengah yang selama ini kesulitan mendapatkan bahan baku.

"Kalau mereka harus membeli kayu dari HPH (perusahaan Hak Pengusahaan Hutan), akan kesulitan soal harga," kata Ketua Masyarakat Perhutanan Indonesia/Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (MPI) Kalimantan Tengah (Kalteng) Mawardi, Jumat (23/2) di Palangkaraya.

Umumnya, industri kecil pengolahan kayu menjual produk dengan harga Rp 600.000 hingga Rp 800.000 per meter kubik, sedangkan dari HPH sekitar Rp 1,5 juta. Ini terjadi karena perusahaan HPH menghitung semua komponen biaya produksi. Komponen tersebut, antara lain, adalah perawatan alat berat, tenaga, dan beragam kewajiban, seperti pembayaran provisi sumber daya hutan, yaitu dana reboisasi serta pajak bumi dan bangunan.

Bagi industri kecil pengolah kayu, bahan baku dari kawasan nonhutan, yakni perkebunan/permukiman atau lahan transmigrasi, dapat menjadi jalan keluar. Pasalnya, kayu dari kawasan itu lebih murah.

"Solusi jangka panjang dapat melalui program hutan tanaman rakyat. Namun, untuk jangka lima tahun ke depan, kayu dari kawasan nonhutan merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan," kata Mawardi.

Akan tetapi, kayu dari kawasan nonhutan hanya boleh dimanfaatkan untuk kebutuhan lokal.

Untuk memanfaatkan kayu nonhutan juga cukup diatur melalui peraturan gubernur.

Wakil Kepala Dinas Kehutanan Kalteng Agus Sutoko menuturkan, kuota tebang Kalteng tahun 2006 sekitar 1,6 juta meter kubik dan realisasinya sekitar 80 persen.

"Tahun ini sekitar 1,8 juta meter kubik," katanya. (CAS)

Kehutanan Masihkah Perlu Lembaga Donor?

Kamis, 22 Februari 2007

Tata kelola kehutanan yang buruk telah memicu terjadinya kerusakan lingkungan. Lebih dari itu, dampaknya juga menyebabkan kerugian yang signifikan pada penghidupan ekonomi pedesaan, iklim investasi, daya saing dan hilangnya pendapatan negara. Dibutuhkan strategi yang jelas untuk memperbaiki sektor kehutanan.

Selain sebagai aset nasional, hutan merupakan hak milik umum bagi masyarakat global. Hutan juga merupakan penghidupan bagi 10 juta dari 36 juta masyarakat miskin Indonesia. Hilangnya hutan membahayakan penghidupan masyarakat pedesaan, jasa lingkungan, dan kemampuan Indonesia mengentaskan kemiskinan. Tata kelola hutan yang lemah merusak iklim investasi, potensi ekonomi pedesaan, daya saing dan reputasi internasional Indonesia.

Kriminalisasi di bidang kehutanan pun memperparah permasalahan keseimbangan anggaran dan fiskal serta mengubah penggunaan pendapatan negara yang seharusnya untuk mengentaskan kemiskinan dan pencapaian sasaran pembangunan. Pembukaan lahan dengan cara pembakaran lahan dan hutan menyebabkan masalah kesehatan dan transportasi, baik di Indonesia maupun negara tetangga.

Saat ini Indonesia memang sedang berada pada masa transisi pemerintahan. Di Departemen Kehutanan, perubahan kebijakan yang terjadi lebih bersifat evolusi dan bukan revolusi. Sisi positifnya, persoalan kehutanan saat ini juga sudah direspons oleh lembaga penting di luar Departemen Kehutanan. Presiden bahkan mengeluarkan peraturan presiden yang memerintahkan lembaga penegak hukum dan kepabeanan untuk menghentikan penebangan liar.

Persoalan kehutanan pun harus dipandang serius dan diselesaikan bersama. Pasalnya, kondisi kerusakan hutan di Indonesia sudah sangat parah. Lebih dari 25 juta hektar kawasan hutan (wilayah yang sama luasnya dengan Inggris Raya) sudah tidak lagi ditumbuhi pepohonan.

Industri kehutanan banyak yang kolaps karena kesulitan bahan baku. Dibutuhkan strategi yang jelas untuk memperbaiki sektor kehutanan.

Laporan Bank Dunia

Rabu (21/2), Bank Dunia mengeluarkan laporan yang berjudul "Sustaining Economic Growth Rural Livelihoods and Environmental Benefits: Strategic Options for Forest Asistance in Indonesia" (Melestarikan Pertumbuhan Ekonomi, Penghidupan Pedesaan dan Manfaat Lingkungan: Opsi-opsi Strategis Untuk Bantuan Kehutanan Indonesia).

Laporan tersebut mempelajari bagaimana donor dan badan pembangunan dapat membantu pelaku kehutanan utama, seperti badan-badan pemerintah, masyarakat madani, sektor swasta, dan masyarakat miskin, dalam melaksanakan tata kelola hutan dan program pengelolaan hutan.

Laporan itu juga menggarisbawahi rancangan dan prioritas Indonesia untuk meningkatkan pembangunan kehutanan. Selain itu, bagaimana donor membantu pencapaian tujuan ini melalui sistem kemitraan dengan lembaga-lembaga di Indonesia. Laporan tersebut meringkas empat pintu masuk utama yang dapat digunakan oleh badan-badan donor untuk kembali terlibat dalam membantu sektor kehutanan.

Sebagai contoh, untuk meningkatkan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, Bank Dunia menawarkan jalan bagi para donor untuk membantu Indonesia melalui program restrukturisasi industri kehutanan mengingat restrukturisasi industri memerlukan pembiayaan.

Semua hal dan solusi yang disampaikan Bank Dunia melalui laporannya memang cukup menarik. Akan tetapi, pemerintah juga harus jeli dalam melihat persoalan. Jangan sampai semua tawaran bantuan dari donor diambil, tetapi tidak memberikan dampak perbaikan seperti yang diinginkan.

Belajar dari pengalaman

Pemerintah harus belajar dari pengalaman. Selama dua dekade terakhir, sudah lebih dari 1 miliar dollar AS yang diinvestasikan oleh lebih dari 40 donor dalam bantuan pembangunan kehutanan Indonesia. Akan tetapi, faktanya manajemen dan tata kelola kehutanan tetap buruk. Kerusakan hutan masih terus berlanjut sampai detik ini.

"Pemerintah memang harus jeli, sepanjang bantuan itu sifatnya hibah boleh saja. Tetapi, jika dikaitkan dengan utang luar negeri, sebaiknya ditolak," kata Direktur Eksekutif Greenomic Indonesia Elfian Effendi.

Harus diakui, tanpa dukungan pendanaan yang cukup, pembangunan sektor kehutanan akan sulit. Akan tetapi, persoalan itu sebenarnya bisa diatasi jika saja pemerintah pandai mengelola sumber dana yang berasal dari dana reboisasi.

Data Departemen Kehutanan, total dana reboisasi yang belum termanfaatkan dan masih berada di Departemen Keuangan sebesar Rp 12 triliun. Seandainya dana itu bisa dimanfaatkan, sektor kehutanan bisa dibangun dan kita tidak perlu donor. (Gatot Widakdo)

Friday, April 20, 2007

PK Probosutedjo Ditolak Mahkamah Agung

Jumat, 12 Januari 2007

Peradilan
Jakarta, Kompas - Peninjauan kembali yang diajukan Direktur Utama PT Menara Hutan Buana Probosutedjo, Kamis (11/1), ditolak oleh Mahkamah Agung.

"Majelis hakim yang dipimpin Abdul Kadir Mapong telah memutuskan PK itu ditolak. Artinya, Probo tetap harus menjalani masa hukuman penjara selama empat tahun," kata juru bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko.

Probo awalnya dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada April 2003. Ia dinyatakan bersalah atas penyimpangan dana reboisasi proyek pembangunan hutan tanaman industri di Kalimantan Selatan. Penyimpangan tersebut menyebabkan negara dirugikan sebesar Rp 100,931 miliar.

Majelis hakim yang diketuai Muhammad Saleh itu menjatuhkan hukuman empat tahun penjara dan denda sebesar Rp 30 juta. Putusan itu lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum I Ketut Murtika yang menuntut Probo tiga tahun penjara.

Alasan hakim kala itu adalah tidak ada alasan pemaaf yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana Probo.

Dalam proses hukum yang dilakukannya, Probo pernah mengajukan banding dan kasasi. Saat mengajukan banding, hukuman Probo diturunkan menjadi dua tahun. Namun, dalam kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung, majelis hakim yang antara lain terdiri dari Djoko Sarwoko, Iskandar Kamil, dan Harifin A Tumpa tersebut kembali menetapkan Probo dihukum empat tahun penjara. Probo juga diharuskan membayar denda sebesar Rp 30 juta.

Kasus yang dihadapi Probo saat itu menarik banyak perhatian karena menyebut sejumlah hakim agung terkena isu suap. Bahkan, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan pun namanya ikut disebut-sebut dalam persoalan itu. (ANA/JOS)

59 Juta Hektar Hutan Indonesia Hilang

Selasa, 09 Januari 2007

Bandar Lampung, Kompas - Departemen Kehutanan memastikan saat ini sekitar 59 juta hektar dari 120 juta hektar hutan asli Indonesia telah hilang dengan nilai kerugian Rp 30 triliun per tahun. Itu terjadi akibat penebangan hutan yang tidak terkendali selama puluhan tahun tanpa penegakan hukum.

Tachrir Fathoni, Sekretaris Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Hutan Alam Dephut, mengemukakan hal tersebut dalam acara "Workshop dan Pelatihan Regional Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Illegal Logging dan Perdagangan Satwa di Indonesia", Senin (8/1) di Bandar Lampung.

Kerusakan hutan seluas itu, kata Fathoni, akibat penebangan secara manual pada kurun waktu antara 1960 dan 1970. Kemudian berlanjut tahun 1990 saat pemerintah mengeluarkan izin pengusahaan hutan tanaman industri dengan praktik tebang habis.

Selain itu, kerusakan hutan juga terjadi akibat kebakaran, perambahan, pencurian kayu, dan pelepasan kawasan hutan untuk diubah menjadi perkebunan.

Hasilnya, laju kerusakan hutan pada 1985 hingga 1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun. Pada periode 1997-2000 laju kerusakan menjadi 2,1 juta hektar per tahun dan meningkat 2001-2005 menjadi 2,8 juta hektar per tahun.

Sulaeman N Sembiring, pakar hukum kehutanan dari Forest Law Enforcement, Governance and Trade Komisi Eropa untuk Indonesia pada kesempatan yang sama mengatakan, tingginya tingkat kerusakan hutan menyebabkan negara rugi Rp 30 triliun hingga Rp 45 triliun.

Menurut Fathoni, produksi kayu Indonesia dengan kebutuhan bahan baku industri tidak seimbang. Setiap tahun setidaknya dibutuhkan 60 juta meter kubik hingga 70 juta meter kubik kayu, tetapi hutan Indonesia hanya mampu memproduksi 40 juta meter kubik.

Tidak seimbang

Pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Rudy Satriyo Mukantardjo mengatakan, akibat ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan kayu, 60 persen-70 persen konsumsi industri kayu domestik yang mencapai 70 juta meter kubik diperoleh secara ilegal. Ini menyebabkan pembalakan liar makin marak dan negara diperkirakan rugi sekitar Rp 9 triliun per tahun.

Namun, kata Rudy, penegakan hukum masih lemah, ditandai dengan keterlibatan oknum-oknum instansi terkait yang seharusnya ikut bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian hutan.

Untuk menekan kerusakan hutan, kata Sembiring, dibutuhkan kebijakan yang mengarah pada pengelolaan hutan lestari, memberikan penguatan kapasitas pada daerah untuk mengelola hutan, dan tidak membuka ruang bagi pembalakan liar. (hln)

Kapal Pengangkut Kayu Terdampar

Kamis, 04 Januari 2007

 

Pangkalpinang, Kompas - Petugas Satuan Kepolisian Perairan di Kepolisian Daerah atau Polda Bangka Belitung menemukan kapal tongkang yang terdampar di Tanjung Tuing, Kabupaten Bangka. Dari hasil pemeriksaan sementara terhadap nakhoda dan awaknya, kapal itu diduga memuat kayu ilegal, karena surat keterangan sah hasil hutan yang menyertainya tidak berlaku lagi.

Menurut Kepala Polda Babel Komisaris Besar Imam Sudjarwo, Rabu kemarin, kapal tongkang dengan nama Jem 14 itu berangkat dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dengan tujuan Jambi. Karena cuaca buruk, kapal terdampar di sekitar Tanjung Tuing, Kecamatan Sungailiat.

Kapal yang mengangkut 800 batang kayu gelondongan (3.067 meter kubik) itu ditemukan petugas Polair yang sedang patroli pada hari Senin (1/1) sekitar pukul 01.00. Dari 800 batang itu, 672 di antaranya jenis meranti dan 128 batang jenis campuran.

Dalam pemeriksaan terungkap, kayu-kayu gelondongan itu dikirim dari PT Wijaya Bangun Persada, Palangkaraya, kepada PT Sumatera Timber Utama Damai, Tungkal Ulu, Jambi.

"Karena SKSHH-nya sudah mati, kayu ini bisa digolongkan kayu ilegal. Pemeriksaan terhadap nakhoda dan awak kapal masih berlangsung. Kami mendatangkan saksi ahli dari Dinas Kehutanan Babel," ujar Imam.

Direktur Polair Kepulauan Babel Komisaris Rudi Hermanto mengatakan, polisi belum menetapkan tersangka.

Masih di laut

Saat diihubungi terpisah, Humas PT Sumatera Timber Utama Damai, Hansen, menjelaskan, kapal itu terdampar karena kondisi cuaca buruk dan kerusakan mesin, sehingga tidak bisa memperpanjang SKSHH.

Soal SKSHH, masa berlakunya adalah 25 hari setelah kapal berangkat. Padahal, perjalanan ke Jambi butuh waktu 20 hari, dan menjadi semakin lama karena cuaca buruk dan ada kerusakan mesin kapal.

"Kami kan tidak bisa memperpanjang surat itu dari tengah laut," kata Hansen. (and)

Satu IPK Digunakan Puluhan Sawmill

Senin, 9 April 2007

Radar Banjarmasin
KOTABARU ,- Apa yang dilihat Wakil Bupati Kotabaru Fatizanolo terkait masih banyaknya kayu hutan yang berserakan hasil penebangan liar di kawasan Kelumpang Tengah, ternyata memang benar.

Menurut data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kotabaru, di kawasan tersebut belum ada Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). Hal tersebut menguatkan bukti kalau di kawasan tersebut masih ada praktik illegal logging.

       Menurut Kepala Bidang Produksi dan Pengembangan Usaha Hasil Hutan (PPUHH) Dishutbun Kotabaru Ir Sukrowardi, IPK yang ada di kabupaten Kotabaru hanya dua saja, yakni atas nama H Ismail yang menggunakan lahan HGU PT Sawita Karya Manunggul, Desa Sengayam, Pamukan Barat, dan atas nama Samsuni di lokasi transmigrasi Desa Sungai Pasir, Pulau Laut Tengah.

       IPK yang dimiliki H Ismail seluas 3.200,96 ha dengan volume kayu yang ditebang 22.047 m3 per tahun. Sedangkan jenis kayu yang dimanfaatkan seperti keruing, meranti merah, meranti putih, anglai, damar lilin, pelampaian, bayur, simpur, jambu dan halaban.

       “Untuk industri yang menggunakan IPK H Ismail ini ada beberapa industri perkayuan yang sudah bekerja sama, tepatnya 17 industri yang ada di Kotabaru ini,” ujar Sukrowardi.

   Sementara IPK milik Samsuni di lokasi transmigrasi Desa Sungai Pasir seluas 126,65 ha dengan volume kayu 2.404,40 m3. dengan jenis kayu seperti keruing, durian, madang, perupuk, pelampaian, mahang, simpur, tarap, singkuang, kuranji dan binjai. IPK Samsuni ini diharapkan dapat memback up 16 industri perkayuan di wilayah Pulau Laut.

   Di Kecamatan Kelumpang Tengah, lanjut Sukrowardi, memang ada pengusaha yang sudah mengajukan permohonan untuk IPK. Tapi, sampai sekarang permohonan tersebut masih dalam proses dan belum ada IPK. “Terlepas semua itu, saya juga tidak mengetahui siapa yang melakukan penebangan di kawasan tersebut,” ujarnya.

   Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kotabaru Ir H Hasbi M Tawab MM telah memerintahkan stafnya untuk melakukan pengecekan ke Kecamatan Kelumpang Tengah. “Untuk membuktikan benar tidaknya masalah tersebut, sekarang ini staf saya sudah turun ke lapangan dan mengeceknya, dan saya masih menunggu laporannya,” ujarnya melalui SMS kepada koran ini karena dirinya masih berada di Jakarta.

   Saat ini juga ada permohonan IPK baru atas nama Zainal Abidin yang memanfaatkan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit PT Alam Raya, Desa Sengayam.

       “Utuk pemberian IPK dan IPPR Dishutbun sangat selektif, dan ini sesuai dengan instruksi Pak Bupati. Kami tidak boleh sembarangan memberikan IPK. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi si pemohon, diantarnya seperti lokasi IPK harus di luar kawasan hutan, jelas tujuannya, seperti untuk pembukaan areal perkebunan kelapa sawit, dan sebagainya,” kata Kadishutbun. (ins)


Perkebunan Sawit Belum Memberi Hasil Warga Menginginkan Perkebunan Sawit Jadi Tambang Bijih Besi

Jumat, 6 April 2007

Radar Banjarmasin
KOTABARU ,- Karena masih belum memberikan kontribusi, warga Desa Rampa dan Sungai Bali, Kecamatan Pulau Sebuku, menghendaki agar 80 hektar perkebunan kelapa sawit dialihfungsikan ke tambang bijih besi. Padahal perkebunan sawit tersebut sudah ada sejak tahun 1995 dan sudah menghasilkan tandan buah segar (TBS).

   Sebab, mesin pengelola kelapa sawit menjadi crude palm oil (CPO) yang telah dibangun pemerintah daerah untuk mendukung keberadaan kebun sawit di Pulau Sebuku, juga turut mubazir dan tidak digunakan sampai sekarang ini.

   "Ya karena belum ada perusahaan dan pengusaha yang sanggup membeli hasil CPO dari kebun sawit di Pulau Sebuku, sehingga ribuan TBS dibiarkan membusuk di pohon," kata Camat Pulau Sebuku Joko Mutiyono.

   Menurut Joko, keinginan masyarakat untuk alih fungsi perkebunan sawit ke tambang bijih besi cukup beralasan. Karena lahan yang ditanami kelapa sawit sekitar 80 Ha itu masuk dalam wilayah kuasa pertambangan (KP) PT Sebuku Iron Lateric Ores (PT SILO).

   Masyarakat lebih menginginkan PT SILO bersedia mengganti rugi lahan perkebunan sawit tersebut. Namun perusahaan tambang bijih besi tersebut masih belum dapat mengabulkan keinginan warga, lantaran perkebunan kelapa sawit itu masih berkaitan dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan.

   "Memang itu lahan masyarakat, tetapi yang memberi dana pembukaan lahan, bibit, pupuk dan perawatan kelapa sawit adalah Dinas Perkebunan. Jadi masyarakat ingin tahu berapa sih biaya yang dikeluarkan Dinas Perekebunan itu seluruhnya. Sampai saat ini antara masyarakat dan PT SILO masih belum ada kepastian, kapan negosiasi tersebut dapat segera dilaksanakan,” ujarnya.

       Sedangkan untuk besaran ganti rugi tersebut, pada awalnya warga mengendaki harga sebesar Rp350 ribu per pohon kelapa sawit, harga tanah produktif Rp4.000 per meter dan lahan tidak produktif Rp2.000 per meter. Tetapi PT SILO hanya menawar Rp75 ribu per pohon kelapa sawit, harga lahan produktif sekitar Rp1.500 per meter dan lahan tidak produktif Rp1.000 per meter.

   Sementara itu, PT SILO yang telah beberapa tahun beroperasi di Pulau Sebuku itu telah mengantongi ijin kuasa pertambangan dengan dilanjutkan ijin eksploitasi sekitar 9 ribu Ha.

   Namun untuk meningkatkan produktifitasnya di lahan yang dikuasai itu, pihak perusahaan masih harus berurusan dengan masyarakat, karena dari sebagian KP diantaranya masih dikuasi sekitar 40 kepala keluarga dan berupa perkebunan kelapa sawit. (ins)


Kalsel Dongkrak Peran IKM

Rabu, 4 April 2007
Radar Banjarmasin

BANJARMASIN ,- Kemampuan bertahan yang diperlihatkan industri kecil menengah (IKM) di tengah krisis ekonomi, membuat sektor ini dapat ikut memperkuat perekonomian daerah. Dengan kondisi itu, Pemprov Kalsel akan terus menggenjot sektor IKM melalui pemberdayaan dan pengembangan.

Menurut Gubernur Kalsel H Rudy Arifin pada rapat koordinasi penyusunan program IKM 2008 tingkat regional kemarin, secara umum perkembangan IKM di Kalsel cukup mengembirakan, meski IKM di sektor perkayuan mengalami kemunduran yang signifikan akibat berkurangnya bahan baku.

Pada akhir tahun 2006 lalu, sedikitnya terdapat 39.455 unit usaha yang menyerap 93.771 orang tenaga kerja. Jika dibanding tahun sebelumnya, tahun 2005, jumlah 37.222 unit usaha yang beroperasi mampu menyerap tenaga kerja dengan jumlah 86.825 orang.

“Jadi dalam kurun waktu 2005 sampai 2006 lalu, terjadi pertumbuhan unit usaha sebesar 6 persen dan ada pertambahan tenaga kerja sebesar 8 persen,” terang Gubernur.

Namun kondisi IKM perkayuan mengalami kemunduran. Hal ini menjadi catatan penting bagi pemerintah Kalsel. Diingatkan, para pengusaha di sektor perkayuan hendaknya bisa lebih berhati-hati dalam memilih produk yang ingin dikembangkan di kemudian hari.

Gubernur Rudy berharap, persoalan IKM perkayuan ini bisa dibahas dalam rapat koordinasi. “Saya juga berharap agar dalam rapat-rapat yang melibatkan beberapa instansi provinsi di Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara ini bisa menjalin kerjasama yang lebih baik dalam pengembangan IKM, termasuk pengembangan bagi pasar Kalsel,” katanya.

Sementara itu, Kadinas Perindustrian dan Perdagangan Kalsel Drs H Soebarjo menambahkan, pembinaan terhadap pengusaha industri kecil dan menengah saat ini di Kalsel memang terus digalakkan pemerintah. Karena itu lewat rapat koordinasi ini akan disusun program usulan peningkatan pertumbuhan sektor industri ke pemerintah pusat melalui dana APBN.(sya)

Polair Amankan Kayu Tak Bertuan

Selasa, 3 April 2007
Radar Banjarmasin
BANJARMASIN ,- Meski pemerintah telah mengeluarkan larangan penebangan kayu secara liar, tapi hingga saat ini masih saja ditemukan kayu-kayu yang tidak dilengkapi dengan dokumen pengirimannya.

Buktinya, petugas patroli Ujung Panti Polair Polda Kalsel kembali mengamankan 2 buah klotok yang berisi muatan kayu jenis meranti campuran. Kayu sebanyak 10 meter kubik itu, diamankan petugas dari kawasan perairan Sungai Andai Banjarmasin Utara, Senin dini hari kemarin sekira pukul 01.00.

Namun sayangnya, saat itu petugas tidak berhasil mengamankan pemilik kayu dan pemilik dua buah kapal klotok itu. Diduga, saat itu mereka langsung melarikan diri ketika mengetahui kehadiran petugas. Karena tidak ada pemiliknya, maka kayu beserta kapal klotok itu langsung diamankan petugas ke kantor.

Menurut Direktur Polair Polda Kalsel, AKBP Thomas Ombeng melalui Pjs Kasi Gakkum AKP Oktavianus, bagi warga yang merasa menjadi pemilik kayu dan 2 buah kapal klotok itu dipersilahkan datang ke Polair Polda Kalsel untuk mengambilnya. “Silakan saja para pemilik kayu dan klotok ini datang untuk mengambilnya kembali, syaratnya harus membawa serta dokumen dan surat kelengkapan lain yang berhubungan dengan kayu-kayu tersebut,” ujar Oktavianus.

Modus pengiriman kayu yang diduga berasal dari hasil penebangan liar ini, kata Thomas, sangat beraneka ragam. Para pemilik kayu itu selalu berusaha mengelabui kerja petugas dengan berbagai macam cara. Namun begitu, lanjutnya, petugas juga tidak kekurangan akal. Dengan semakin beragamnya modus kejahatan penebangan liar ini, maka patroli untuk mengamankan perairan dari kegiatan yang berbau ilegal terus ditingkatkan.

Bahkan, kegitan patroli perairan itu tidak hanya dilakukan di kawasan sungai besar saja, tetapi di sungai-sungai kecil yang terindikasi sebagai ‘jalur tikus’ pengiriman kayu haram itu juga diperiksa. “Kalau Sungai Andai itu termasuk salah satu jalur tikus bagi pengiriman kayu-kayu yang diduga berasal dari hasil penebangan liar,” ujarnya.

Apabila tidak ada yang mengakui kepemilikan kayu beserta dua buah kapal klotok itu, maka petugas Polair Polda Kalsel tetap akan mengamankannya.(gsr/mey)


GM PT KJW Divonis Bebas Tak Terbukti Merambah Hutan

Rabu, 28 Maret 2007

Radar Banjarmasin
PELAIHARI,- Rasa keadilan tampaknya benar-benar dirasakan General Manajer (GM) PT Kintap Jaya Wattindo (KJW), Ir Dwi Suryono. Bersama dengan Tukas Banusuka selaku Manajer Proyek PT KJW, keduanya akhirnya menghirup udara bebas setelah divonis bebas dalam kasus penebangan pohon di kawasan hutan di PN Pelaihari, kemarin.

Dalam sidang lanjutan itu, majelis hakim yang diketuai Ajidin Noor SH menjatuhkan hukuman bebas sekaligus mementahkan tuntutan 10 bulan penjara yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) M Aini Arsyad SH. Ini berarti, hakim mematahkan dakwaan Primair dan Subsidair yang dituntut jaksa.

Didampingi tim kuasa hukumnya asal Banjarmasin, Giyanto SH, Musta’aliah SH dan Fitri SH, Dwi dan Tukas tak kuasa meluapkan kegembiraan. Dalam vonis bebas itu, majelis hakim menetapkan kegiatan usaha perluasan areal lokasi perkebunan di Desa Tebing Siring 3, Kecamatan Pelaihari, seluas 20.000 m2 itu tak terbukti perbuatan melawan hukum merambah hutan.

Dalam vonisnya hakim berpatokan terhadap bukti surat hasil pengecekan lapangan yang dilakukan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah V Banjarbaru yang menyebutkan rencana areal perkebunan karet milik PT KJW itu di luar kawasan Taman Hutan Raya.

Tak itu saja, dalam bukti lainnya, hakim berpatokan terhadap surat pernyataan penguasaan bidang tanah (sporadik) yang digunakan untuk areal pertanian atau perkebunan. Selain itu, dalam vonis bebas itu hakim juga memerintahkan 1 (satu) buah alat buldozer dikembalikan kepada pemiliknya Ir Dwi Suryono.

Kasus yang menyeret Dwi Suryono dan Tukas Banusuka ini berawal dari usaha perluasan areal lokasi perkebunan dengan cara membuka kawasan hutan di Desa Tebing Siring 3, Kecamatan Pelaihari, oleh PT KJW tempat keduanya bekerja.

Pembukaan lahan itu dilakukan dengan menggunakan alat berat dozer yang dioperasikan saksi Suyatno sebagai operator. Begitu lahan yang dibuka sekitar 5 hektar yang dilakukan dengan cara penebangan atau merobohkan pohon-pohon yang berdiameter 5 sampai 30 cm, pada Sabtu 23 September 2006, aparat kepolisian Polres Tanah Laut (Tala) bersama dengan petugas Dinas Kehutanam Kabupaten Tala melakukan razia ke lokasi tersebut. Saat razia itu ditemukan satu buah dozer.

Keduanya pun akhirnya diproses dan dijerat sebagaimana dakwaan primair Pasal 78 ayat (2) jo Pasal 50 ayat 3 hurup c UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Yakni, melakukan perbuatan dengan sengaja melakukan penebangan pohon di kawasan hutan dengan radius jarak sampai 50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai.

Tak itu saja, pada tuntutan keduannya juga dijerat dengan pasal Subsidair, Pasal 78 ayat 5 jo pasal 50 ayat 3 hurup e UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang isinya sebagai orang yang melakukan, menyuruh menebang pohon di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. Pasca vonis bebas itu, jaksa penuntut umum Aini Arsyad SH melakukan upaya banding dengan melakukan Kasasi. (mul)


Polda Selidiki Sengketa CV BPC dan PT AI

Radar banjarmasin

Kamis, 19 April 2007
 

BANJARMASIN ,- Dit Reksrim Polda Kalsel akhirnya mulai gerah melihat perkembangan sengketa lahan antara PT Arutmin Indonesia (PT AI), dengan CV Bara Pinang Cooperation (CV BPC) yang tidak kunjung selesai.

Karenannya, agar permasalahan ini tak berkembang semakin luas, maka dalam waktu dekat pihak Satuan II Dit Reskrim Polda Kalsel akan melakukan pemanggilan kepada pihak Arutmin. “Ini perintah dari Direktur Reskrim Polda Kalsel kepada pihak penyidik, terkait laporan dari pihak CV Bara Pinang Cooperation beberapa waktu lalu,” ujar Kabid Humas Polda Kalsel AKBP Puguh Raharjo kemarin

Selain akan melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap PT Arutmin Indonesia, pihak penyidik juga akan melakukan pemeriksaan terhadap pihak CV Bara Pinang Cooperation. Itu dilakukan untuk mencari bukti-bukti perkara atas laporan yang disampaikan. “Jadi semuanya akan diperiksa, keduanya akan diperiksa untuk mencari bukti-bukti,” kata Puguh.

Sementara itu, dari informasi yang diterima koran ini, hingga saat ini pihak Dit Reksrim Polda Kalsel belum melakukan pemanggilan terhadap kedua belah pihak. Bahkan, surat panggilan untuk pemeriksaan juga belum mereka buat.

Ketika hal itu ditanyakan kepada anggota Dit Reskrim Polda Kalsel, seorang petugas yang tidak ingin menyebutkan namanya mengatakan kalau surat pemanggilan itu memang belum ada.

Sebab, sebelum surat pemanggilan itu dibuat dan dilayangkan, pihak Dit Reskrim Polda Kalsel akan turun ke lapangan untuk melakukan penyelidikan atas perkara tersebut. “Kalau sudah dilakukan penyelidikan baru bisa dilakukan penyidikan, makanya surat itu belum ada,” ujar salah seorang petugas.

Pria ini juga mengaku belum dapat memastikan siapa saja dari pihak PT Arutmin dan pihak CV Bara Pinang Cooperation yang akan mereka panggil untuk diperiksa dalam perkara ini. “Nanti tunggu saja, kami masih melakukan penyelidikan,” ujarnya.(gsr)

Bawa Kayu Ilegal, Ditangkap

Senin, 26 Maret 2007

Radar Banjarmasin
BANJARMASIN,- Pemberantasan terhadap illegal loging masih terus dilakukan jajaran Dit Polair Polda Kalsel. Buktinya, dini hari kemarin sekitar pukul 03.00 Wita, petugas mengamankan 2 buah kapal kelotok bermuatan 8 kubik kayu Meranti campuran yang tak memiliki dokumen di perairan Sungai Andai, Banjarmasin Utara. Petugas langsung melakukan pengamanan terhadap Rahmat alias Udin (27) warga Desa Kapuas Hulu RT 15, serta Feriyadi alias Feri (22) warga Jl Berimba RT 4 Kapuas, Kalteng.

Dari pengakuan kedua tersangka ini petugas langsung menangkap kembali Hadi (35) pemilik kayu di kawasan Sungai Buntik, Alalak Tengah, Banjarmasin Utara. Pada saat ditangkap juragan kayu ini terlihat kebingungan mencari kelotok miliknya.

Diamankannya dua buah kelotok bermuatan kayu Meranti campuran di perairan Sungai Andai ini secara tak sengaja. Ketika itu petugas melakukan patroli di kawasan perairan tersebut. Petugas curiga dengan kayu angkutan tersebut apakah legal atau illegal. Untuk membuktikan petugas langsung memeriksa kelotok tersebut. Ternyata kayu yang diangkut oleh kedua kelotok yang dikemudikan oleh Feri dan Rahmat ini tak memiliki dokumen. Petugas pun langsung mengamankan keduanya dan barang bukti ke Mako Polair Polda Kalsel.

Rahmat mengaku tak mengetahui kalau apa yang dilakukannya tersebut salah. “Saya tak mengerti kalau yang saya lakukan ini salah, soalnya hal ini baru saya lakukan sebanyak 2 kali. Pada angkutan pertama kami tidak ditangkap,” ujar pemuda desa ini.

“Kami mengambil kayu milik Pak Hadi di kawasan Mantangai dan akan mengantarkannya ke Alalak Utara,” terang Rahmat lebih lanjut. “Kami mendapatkan upah sebesar Rp 500 ribu untuk sekali trip angkutan, itu pun akan dibagi 4,” pungkas Rahmat yang kini hanya bisa menyesali perbuatannya. (mey)

Tuntutan Karyawan PT GM Dikabulkan

 

Radar banjarmasin

Kamis, 19 April 2007

BANJARMASIN ,- Ratusan karyawan PT Gunung Meranti yang di-PHK tanpa mendapat uang pesangon, akhirnya dapat bernafas lega. Setelah cukup lama memperjuangkan hak mereka, akhirnya majelis hakim peradilan industrial yang dipimpin Deson Togatorup SH mengabulkan tuntutan karyawan PT Gunung Meranti yang diwakili oleh kuasa hukum mereka Nizar Tanjung SH.

Dalam sidang yang digelar di aula Mapoltabes Banjarmasin kemarin, majelis hakim mengabulkan tuntutan pembayaran sisa tunggakan upah dan denda sebesar Rp1.155.600.000 yang didasarkan dengan putusan sela sesuai dengan pasal 169 UU No 2003.

Pihak PT Gunung Meranti juga diwajiibkan membayar 2 kali pesangon karyawan yang di-PHK berdasarkan pasal 156 ayat 2 UU No 13 tahun 2003. Majelis hakim pun menambahkan perhitungan masing-masing pesangon karyawan sebesar Rp 1.100.000, pembayaran tunggakan Jamsostek, serta pengabulan sah sita jaminan berupa mesin turbin dan generator.

Jadi total pembayaran uang pesangon yang wajib dipenuhi oleh pihak PT Gunung Meranti sebesar Rp 14 miliar kepada seluruh karyawan yang di-PHK. Tak hanya itu, majelis hakim juga menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sedangkan tuntutan kerugian materil sebesar Rp79 juta serta kerugian moril sebesar Rp3 miliar tak dikabulkan oleh majelis hakim pengadilan hubungan industrial.

“Majelis hakim memberikan waktu 14 hari bagi pihak PT Gunung Meranti, apakah menerima keputusan ini atau tidak. Apabila mengajukan gugatan banding, maka PT Gunung Meranti harus membayar terlebih dahulu putusan sela,” terang Nizar Tanjung.

Nizar pun menambahkan, apabila dalam 14 hari ini pihak PT Gunung Meranti tak memenuhi keputusan majelis hakim, maka pihaknya akan melakukan pelelangan sita jaminan berupa mesin turbin serta generator. (mey)

Karyawan PT GM Mengamuk

Jumat, 23 Maret 2007


Radar banjarmasin
BANJARMASIN,- Sidang keputusan pembayaran tunggakan gaji karyawan PT Gunung Meranti yang digelar di PN Hubungan Industrial di Jl A Yani Km 1, kemarin siang mendadak ricuh. Pihak aparat pun terpaksa memberikan tembakan peringatan sebanyak 1 kali untuk menenangkan para korban PHK yang tak puas tersebut.

Pasalnya, ketiga hakim yang terdiri dari hakim ketua Deson T SH, Dra Heni Al Batik, serta Ir Nunung SE memberikan keputusan yang tak memuaskan bagi 796 pegawai PT Gunung Meranti yang di PHK tersebut.

Dalam keputusan tersebut pihak pengadilan hanya memberikan keputusan sela. Majelis hakim tak memberikan tanggal kepastian kapan pembayaran tunggakan gaji sebesar Rp 1,3 miliar yang harus dibayarkan oleh manajemen Gunung Meranti.

Ketidakpuasan para korban PHK tersebut ditunjukkan dengan melakukan penyenderaan terhadap ke-3 hakim tersebut, agar memberikan keputusan ketetapan tanggal, hari, serta tahun pembayaran gaji bagi karyawan PHK PT Gunung Meranti.

Bahkan pada saat petugas dari kepolisian memberikan jalan tengah agar bisa bermusyawarah di Mapoltabes Banjarmasin, ada salah satu korban PHK melakukan tindakan spontan menjambak jilbab Dra Heni Al Batik hingga lepas. (mey)


7 Kubik Ulin Ilegal Diamankan

Rabu, 21 Maret 2007

Radar Banjarmasin
BANJARMASIN ,- Praktek illegal logging di wilayah Kalsel terus diincar kepolisian setempat untuk diberantas. Seperti yang dilakukan jajaran Polres Hulu Sungai Utara yang mencegat sebuah kapal yang sedang melintas di perairan Sungai Negara di kawasan Desa Murung Panti, Kecamatan Babirik, HSU, Minggu (18/3) sekira pukul 14.00 Wita. Dari dalam kapal itu, ditemukan 7 meter kubik kayu olahan jenis ulin yang diduga tidak memiliki dokumen pengirimannya.

Selain mengamankan kayu ulin itu, petugas juga memeriksa dan Herman (21) dan Bagau (42) warga Desa Mandala Murung Masjir RT IV, Hulu Sungai Selatan, yang diduga sebagai pemiliknya.

Diamankannya kayu yang diduga hasil dari penebangan liar bersama pemiliknya itu sebagai tindaklanjut dari perintah Kapolri untuk memberantas praktek illegal logging dan menginginkan tidak terjadi lagi di Negara ini. Makanya, ketika melihat sebuah kapal melintas yang bermuatan mencurigakan, petugas langsung mencegatnya.

Sebetulnya, secara kasat mata muatan kayu itu tidak terlihat dalam kapal itu, tapi kecurigaan petugas justru pada lambannya jalan kapal. Ketika didekati, petugas langsung memeriksa muatannya yang ternyata berisikan puluhan potong kayu ulin. Ketika ditanyakan dokumen kepemilikan dan pengirimannya, Herman dan Gabau saat itu tak bisa memperlihatkannya. Bersama barang bukti kayu ulin, petugas menggiring keduanya ke kantor untuk dilakukan pemeriksaan..(gsr)


Buruh PT GM Mulai Frustasi

Rabu, 21 Maret 2007
Radar Banjarmasin


BANJARMASIN,- Kesabaran segenap buruh PT Gunung Meranti (GM) Group agaknya sudah mencapai titik nadir. Gara-gara tuntutan pembayaran tunggakan gaji selama lima bulan, yakni mulai Mei hingga September 2006 sekaligus uang pesangon, yang tak juga dibayarkan Direksi PT Gunung Meranti, para buruh pun mulai terlihat frustasi.

Karena itu sejumlah buruh PT Gunung Meranti dan PT Ata Surya ini kembali mendatangi Kantor Pusat PT Gunung Meranti di Jl Kolonel Sugiono Banjarmasin, kemarin. Mereka berniat meminta tanggung jawab langsung dari Direksi PT Gunung Meranti.

Namun buruh kembali dibuat kecewa. Pintu besi ruko Kantor PT Gunung Meranti telah tertutup rapat. Mereka frustasi. Tak puas menempel poster dan mengumpat, buruh ini mengambil batu, papan, sandal, dan semua benda keras di sekitar kantor, kemudian digunakan untuk menggedor pintu. Tapi usaha itu sia-sia saja. Pintu kantor tetap tertutup rapat dan tak ada reaksi dari dalam.

Buruh PT Gunung Meranti itu sendiri menuntut pembayaran hak mereka sebanyak 796 orang. Jika dikalkulasi, PT Gunung Meranti harus membayar sekitar Rp 15 miliar. Rinciannya, untuk pembayaran gaji 5 bulan sebesar Rp 1,3 miliar, dan kewajiban pesangon sebesar Rp 13,8 miliar.

Berbagai cara telah dilakukan buruh PT Gunung Meranti. Mulai mengadukan nasib ke DPRD Kalsel dan Pemprov Kalsel. Yang terbaru, para buruh pun melakukan gugatan ke Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Namun tetap saja kenyataan pahit yang mereka dapatkan. Hak mereka tetap saja tak jelas kapan dibayar. (pur)

Kolega Kadishut Batola Diusut

Selasa, 13 Maret 2007

Radar Banjarmasin
BANJARMASIN,- Gara-gara kabur dari rumah, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Batola, Ir Iwan Hernawan, harus berhadapan dengan masalah baru. Soalnya, terdakwa kasus dugaan korupsi dana proyek Gerakan Penghijauan Lahan (Gerhan), yang menjalani status tahanan rumah, itu tertangkap basah oleh aparat Kejari Marabahan tengah “mengarahkan” para saksinya di Kecamatan Mandastana, pada Selasa (6/3) lalu.

Kaburnya Iwan yang kemudian diubah pihak PN Marabahan dengan status tahanan kota ini, ternyata turut menjerat para koleganya. Akibatnya, sejumlah petugas penyuluh lapangan (PPL), seperti Rita, Wagiyo, Suroto, dan sopirnya Irwan Siregar diinterogasi pihak Kejari Marabahan, karena dianggap menghalangi proses hukum kasus korupsi.

“Mereka ini akan diproses, karena terbukti turut membantu terdakwa ketika keluar dari rumahnya. Mereka berhasil ditangkap di sekitar kawasan Madastana, pada Selasa (6/3) lalu,” ungkap Asisten Intelijen Kejati Kalsel, Agus Sutoto SH MH dalam keterangannya pers di kantor Kejati Kalsel, kemarin.

Menurut Agus, kaburnya Iwan ini ternyata untuk membantu perkaranya, sehingga ada dugaan para pihak yang ditemuinya itu guna membelanya nanti dalam persidangan. Atas masalah ini, Agus memastikan para kolega Iwan ini akan dikenakan Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20/2001, karena dianggap mencegah atau merintangi baik langsung maupun tidak langsung dalam kasus korupsi. “Ancaman hukuman cukup tinggi, hukuman penjara paling rendah 3 tahun, setinggi-tingginya 12 tahun. Kemudian, denda sekecil-kecilnya Rp 150 juta, dan sebanyak-banyaknya Rp 600 juta,” kata Agus.

Ditegaskannya, upaya Iwan ini juga akan masuk dalam catatan pihaknya. “Termasuk, orang-orang yang membantunya. Saat ini, kasus ini dalam penyelidikan pihak Kejari Marabahan,” imbuhnya. (dig)


PT GM Pernah Bayar Gaji Turun

Selasa, 6 Maret 2007
Radar Banjarmasin

BANJARMASIN,- Perseteruan Direktur PT Gunung Meranti (GM)dengan karyawannya hingga kini masih berlangsung. Bahkan, perkaranya telah masuk dan disidangkan di Pengadilan Hubungan Industrial Banjarmasin.

Dalam gugatannya, karyawan menuntut agar sesegera mungkin perusahaan membayarkan upah kerja mereka yang diduga sudah lama tidak dibayarkan.

Menanggapi tuntutan itu, Direktur PT Gunung Meranti Hendrawan Tiono melakui kuasa hukumnya Masdari Tasmin SH MH mengatakan, pembayaran upah karyawannya sudah dilakukan sebanyak 2 kali. Melalui rilisnya yang disampaikan ke redaksi Koran ini, tunggakan upah seluruhnya senilai Rp 2.136.040.320. Tunggakan itu sudah 2 kali dibayar. Pembayaran pertama pada 27 Oktober 2006 lalu sebesar Rp1.038.187.593 melalui kuasa hokum. Kemudian 12 Desember 2006, perusahaan kembali membayar langsung kepada karyawan sebesar Rp 419.852.727. Sisanya sebesar Rp678.000.000, rencananya dibayarkan melalui uang hasil penyewaan turbin.

Selain itu, Masdari juga mengatakan, dalam perkara ini tidak hanya PT Gunung Meranti Raya Plywood saja yang digugat. Tetapi ada sebuah perusahaan lagi yang ikut digugat karyawannya, yakni PT Ata Surya. Menurutnya, sejak tahun 2003 silam, PT Gunung Meranti dan PT Ata Surya mulai mengalami kemunduran usaha yang disebabkan aspek produksi terus menurun. Bukti kemunduran itu tertuang dalam berita acara stock opname per 31 Desember 2003, 2004 dan 2005 yang dilaporkan ke Dephut dan Dishut Kalsel. Kondisi seperti itulah yang mengakibatkan terjadi penunggakan upah atau gaji karyawan. Namun demikian, tegas Masdari, perusahaan tetap berusaha semaksimal mungkin membayarnya.

Sementara itu, sidang lanjutan gugatan karyawan PT Gunung Meranti terhadap Direktur Perusahaan bernama Hendrawan Tiono, kembali digelar di Pengadilan Hubungan Industrial Banjarmasin,kemarin. Dalam sidang tersebut, para karyawan didampingi oleh kuasa hukumnya.(gsr)


Permenhut 64 Dinilai Rugikan Daerah

Senin, 5 Februari 2007
Radar Banjarmasin

KOTABARU – Kontroversi adanya Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.64/ Menhut-II/2006, hasil revisi dari Permenhut Nomor P.14/ Menhut-II/2006, tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, kembali muncul. Kali ini Kabupaten Kotabaru meminta Permenhut itu ditinjau ulang.

Ada beberapa butir isi peraturan dalam Permenhut yang dianggap merugikan pemerintah kabupaten paska otonomi. Permintaan peninjauan kembali Kabupaten Kotabaru itu dituangkan dalam surat Bupati Kotabaru Nomor 552/1283/Hutbun.

Bupati Kotabaru H Sjachrani Mataja meminta agar Menhut bisa meninjau kembali Permenhut No P.64/Menhut-II/2006, khususnya Pasal 8 ayat 2 hurup b dan c, dan kembali memberlakukan Pasal 8 ayat 2 sesuai Permenhut No: P.14/Menhut-II/2006.

“Karena salah satu syarat untuk mengajukan permohonan pinjam pakai kawasan hutan, pada Permenhut No P.64/2006 pasal 8 ayat 2 hurup a, masih harus melalui rekomendasi bupati/walikota untuk perizinan yang berkaitan penggunaan kawasan hutan yang diterbitkan gubernur,” ungkap Bupati.

Ketentuan ini dianggap telah merugikan daerah, karena daerahlah yang lebih mengetahui segala sesuatu yang berkenaan dengan daerahnya.

Keberatan selanjutnya pada hurup c. Yakni, tentang rekomendasi gubernur bagi perizinan yang berkaitan penggunaan kawasan hutan yang diterbitkan bupati/walikota dan pemerintah pusat.

“Dalam surat Bupati Kotabaru itu disebutkan, terbitnya Permenhut No P.64/Menhut-II/2006 sangat merugikan daerah, khususnya kabupaten. Karena sejak otonomi daerah tahun 2001, seluruh perizinan dilaksanakan di kabupaten dan hampir tidak ada lagi perizinan yang diterbitkan provinsi. Persoalannya, kabupaten lah yang lebih tahu,” timpal Kepala Bidang Tata Guna Hutan dan Kebun Dishutbun Kotabaru Ir Haris Mufassi MSi kepada wartawan akhir pekan lalu.

Surat bupati itu ditujukan ke Menteri Kehutanan dan ditembuskan ke Gubernur Kalsel, Kepala Badan Planologi Departemen Kehutanan, Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, Bupati se Kalsel, serta Kepala Dinas Kehutanan Kotabaru.

Menurut Haris, pada Permenhut No P.14/Menhut-II2006, salah satu syarat permohonan pinjam pakai kawasan hutan adalah rekomendasi bupati/walikota dan gubernur setempat yang didasarkan pada pertimbangan teknis dari instansi yang membidangi kehutanan (hurup b).

“Selain itu, sampai saat ini Permenhut No P.14/Menhut-II/2006 secara resmi belum pernah disosialisasikan. Karena itu, menurut Bupati dalam suratnya, sebelum Permenhut P.64/Menhut-II/2006 diberlakukan, sebaiknya lebih dulu dievaluasi secara bersama-sama oleh pemerintah pusat dan provinsi, juga kabupaten/kota,” ujar Haris.

Karena dalam Permenhut No P.64, peran pemerintah kabupaten dalam penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan sangat minim. “Yang dominan berperan justru pemerintah provinsi dan pusat,” ungkapnya.

Jika Permenhut Nomor P.64/2006 ini diberlakukan, kabupaten yang banyak mengetahui kondisi daerahnya hanya akan menjadi penonton. Parahnya, yang akan menanggung dampak secara langsung adalah daerah itu sendiri. “Hanya saja sampai kini masih tiada tanggapan dari Menhut. Karena untuk meminta rekomendasi itu hanya Kabupaten Kotabaru saja,” pungkasnya.(ins)

Dua Ribu Hektar Lebih Hutan Kotabaru Rusak

Radar Banjarmasin

Selasa, 17 April 2007

KOTABARU ,- Akibat dari maraknya illegal logging (penebangan tanpa izin) dan illegal mining (penambangan tanpa izin), ratusan hektar kawasan hutan di Kabupaten Kotabaru mengalami kerusakan dan dalam kondisi kritis.

Tepatnya, kawasan hutan yang sudah rusak di Bumi Sa-Ijaan adalah sekitar 247 ribu hektar. Sedangkan lokasi rusaknya hutan tersebut terbagi pada beberapa lokasi, seperti diantaranya yang paling kritis pada kawasan hutan produksi (HP) seluas 184 ribu hektar , hutan produksi terbatas (HPT) 38,6 ribu hektar, hutan lindung (HL) 18 ribu hektar, dan kawasan hutan alam/suaka alam (SA) 5,5 ribu hektar.

"Berdasarkan hasil survei Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito Banjarbaru tahun 2004, hutan kritis itu perlu segera di rehabilitasi," kata Kepala Bidang Produksi dan Pengembangan Usaha Hasil Hutan (PPUHH) Dishutbun Kotabaru Ir Sukhrowardi, beberapa waktu lalu.

Dari jumlah hutan kritis itu, lanjut Sukhrowardi, pihaknya telah melakukan rehabilitasi hutan melalui gerakan rehabilitasi hutan (GERHAN) dan dana alokasi khusus (DAK) penghijauan serta beberapa program penghijauan melalui dana APBD Provinsi Kalimantan Selatan.

Seperti rehabilitasi hutan tahun 2004 ditargetkan seluas 1.450 hektar, tetapi hanya terealisasi 960 hektar, 2005 ditargetkan 1.005 hektar terealisasi 599 hektar, dan terakhir tahun 2006 yang realisasinya tahun 2007 baru direncanakan seluas 75 hektar terdiri dari hutan rakyat 50 hektar dan hutan produksi 25 hektar.

"Dari tahun 2004, kawasan hutan yang telah kita rehabilitasi paling-paling seluas 3 ribu hektar, sementara kerusakannya telah mencapai 247 ribu hektar, sampai kapan kita akan memperbaiki lahan seluas itu. Sementara sampai sekarang pengrusakan hutan masih terjadi," terangnya.

Ditegaskan Sukhrowardi, merehabilitasi kawasan hutan bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Tetapi semua elemen masyarakat juga turut ambil bagian. Seperti yang dilakukan oleh sejumlah kelompok peduli lingkungan dengan menanam pohon-pohon yang bermanfaat.

"Dalam merehabilitasi hutan kita mulai menanam pohon yang multi fungsi, selain kayu, buah dan getahnya juga dapat dimanfaaatkan, seperti pohon buah-buahan dan karet. Saat ini Program Multi Purpose Triple Species (MPTS) sedang digalakkan," jelasnya.

Dengan tingginya jumlah hutan kritis di wilayah Kabupaten Kotabaru harus segera dilakukan rehabilitasi dan penghijauan hutan kembali, untuk mencegah terjadinya banjir dan tanah longsor serta musibah lainnya akibat kerusakan hutan. (ins)

Karyawan Gunung Meranti Bersorak

Kamis, 19 April 2007 02:17

* Hakim menangkan tuntutan mereka
* Manajemen diberi waktu 14 hari

HASIL SIDANG - Ratusan karyawan PT Gunung Meranti Raya Plywood mendengarkan pengumuman hasil sidang putusan yang dibacakan kuasa hukum mereka, Nizar Tanjung SH, di Poltabes Banjarmasin, Rabu (18/4). BPOST/AHMAD RIDUAN

Banjarmasin, BPost
Ratusan mantan karyawan PT Gunung Meranti Raya Plywood (GMRP) bersorak gembira ketika mendengar putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim Deson Togatorop.

Semula hanya puluhan mantan karyawan yang wajahnya terlihat bahagia lantaran secara langsung mengikuti sidang yang berlangsung di aula lantai II Mapoltabes Banjarmasin, Rabu (18/4) tersebut.

Sedang lainnya baru bersorak dan bertepuk tangan setelah kuasa hukum mereka, Nizar Tanjung SH, mengabarkan kemenangan usai persidangan.

Sidang berlangsung di Mapoltabes karena sebelumnya sempat terjadi kericuhan. Sidang kali ini yakni dari pukul 10.00 hingga 14.00 Wita berlangsung aman.

"Kami bersyukur atas putusan yang dihasilkan hari ini. Mudahan dalam waktu dekat kita memperoleh uangnya," kata Ny Jailani sambil menggendong anaknya.

Wanita yang mengaku pernah jadi karyawan Gunung Meranti selama 12 tahun ini merasa punya kewajiban mengikuti setiap persidangan.

"Kalau saya tidak turun kasihan teman-teman yang lain. Kita di sini semua bersatu untuk menuntut hak kita," ungkap ibu satu anak ini.

Ratusan mantan karyawan itu memang mengharapkan dapat memenangkan tuntutan. Makanya sebelum Nizar menjelaskan hasil putusan, mereka sempat menundukan kepala sejenak untuk berdoa.

Hakim memutuskan mantan karyawan bisa melakukan penyitaan terhadap sebuah mesin turbin dan generator/ginzet seharga Rp20 miliar.

"Cuma satu poin yang tidak dikabulkan yakni tuntutan moril dan materiil. Tuntutan moril Rp79.600.000 dan materiil Rp3.388.000.000. Karena kita tidak bisa membuktikan, akhirnya ditolak," kata Nizar.

Hakim memberi waktu 14 hari kepada pihak perusahaan untuk mengajukan banding. Syaratnya manajemen harus membayar putusan sela Rp1.155.600.000 yang merupakan sisa tunggakan upah dan denda," terang Nizar.

Para mantan karyawan juga mendapat pesangon, sita jaminan dan gaji pokok. "Total pesangon dan gaji pokok yang harus dibayar perusahaan lebih dari Rp14 miliar. Karyawan meminta putusan segera dilaksanakan," terang Nizar. dua

Copyright � 2003 Banjarmasin Post

Hutan Bukan Hanya Kayu

Sabtu, 24 Februari 2007
Radar Banjarmasin

Untuk Cegah Banjir

Oleh: Marinus Kristiadi Harun, S.Hut.

PARADIGMA lama yang "memandang" hutan hanya pada kayu harus mulai ditinggalkan dan dibangun paradigma baru yang "memandang" hutan secara utuh sebagai satu kesatuan ekosistem. Hal ini mengandung arti, hasil hutan bukan kayu (HHBK) juga merupakan komponen yang penting. Ketidakberkembangan HHBK tidak terlepas dari masalah kebijakan pengelolaan hutan selama ini. Pengelolaan hutan yang selama ini berorientasi kepada kayu telah menisbikan akses masyarakat untuk mendapatkan hak memperoleh manfaat dari kekayaan alamnya. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan alternatif pemanfaatan HHBK oleh masyarakat yang terbukti lebih efektif melalui cara-cara ekstraksi dan pola pemanfaatan yang ramah lingkungan, sesuai dengan daya dukung lingkungan dan pemanfaatan berkelanjutan.

Peranan HHBK pada akhir-akhir ini dianggap semakin penting setelah produktivitas kayu dari hutan alam semakin menurun. Food and Agricultural Organization (FAO) mendefinisikan HHBK sebagai produk-produk selain kayu yang berasal dari bahan biologis yang diperoleh dari hutan dan pepohonan yang tumbuh di sekitar hutan. Perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan semakin cenderung kepada pengelolaan kawasan (ekosistem hutan secara utuh) juga telah menuntut diversifikasi hasil hutan selain kayu.

Pembenaran (justifikasi) peranan HHBK dalam meningkatkan ekonomi masyarakat dan pelestarian lingkungan (termasuk mencegah bencana banjir dan tanah longsor di musim hujan serta kekeringan dan kebakaran hutan/lahan di musim kemarau) adalah sebagai berikut. Pertama, HHBK dapat menyediakan berbagai kebutuhan untuk menunjang kehidupan masyarakat lokal, seperti: bahan pangan, obat-obatan dan bahan-bahan keperluan hidup lainnya serta menyediakan sumber mata pencaharian dan pendapatan masyarakat. Kedua, pengusahaan HHBK menimbulkan dampak terhadap lingkungan hutan yang jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan pembalakan hutan (pemanenan kayu), sehingga memberikan model pengelolaan hutan yang lebih menunjang upaya pelestarian. Ketiga, peningkatan nilai komersial HHBK akan berdampak pada peningkatan nilai hutan, baik pada masyarakat lokal maupun pada skala nasional, sehingga dengan demikian meningkatkan insentif untuk melestarikan hutan bila dibandingkan dengan mengkonversi hutan untuk tujuan lain.

Berbagai contoh pengusahaan HHBK yang telah dikenal di berbagai wilayah Indonesia antara lain: (a) pengusahaan repong damar oleh masyarakat Krui di Lampung, (b) pengelolaan kebun buah campuran (dukuh) oleh masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, (c) budidaya rotan oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, (d) pengusahaan sagu (taparu) oleh Suku Kamoro di Timika, (e) pengusahaan kerajinan bambu oleh masyarakat Tasikmalaya di Jawa Barat dan (f) pengusahaan getah kemenyan oleh masyarakat Batak di Tapanuli Utara.

Seiring dengan perkembangan otonomi daerah, pengelolaan hutan cenderung beralih dari pengelolaan skala besar yang dilakukan oleh para pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) menjadi sistem pengelolaan hutan yang lebih banyak melibatkan masyarakat lokal atau yang lebih dikenal dengan konsep hutan kemasyarakatan (Hkm). Program HKm pada prinsipnya mempunyai dua tujuan utama, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan serta melestrikan sumberdaya hutan. HHBK mempunyai potensi yang besar untuk dimanfaatkan sebagai titik awal dalam pengembangan HKm. Hal ini disebabkan karena pengusahaan HHBK dapat memberikan manfaat secara langsung maupun tidak langsung bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan serta menyediakan insentif bagi upaya pelestarian sumberdaya hutan.

Strategi Pengembangan HHBK di Kalsel

Potensi HHBK untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sangat besar sehingga pengembangan pengusahaan HHBK di masa mendatang perlu dilakukan dengan lebih sistematis. Strategi yang tepat sangat diperlukan mengingat demikian beragamnya komoditi HHBK yang ada, sedangkan sumberdaya yang tersedia untuk upaya pengembangannya sangat terbatas. Pengembangan HHBK di Provinsi Kalimantan Selatan dilakukan dengan langkah-langkah strategis sebagai berikut.

Pertama, identifikasi (diagnosis) masalah dalam pengembangan HHBK di Kalsel. Menemukenali untuk selanjutnya mencari solusi pemecahan masalah dalam pengembangan HHBK di Kalsel sangat perlu untuk dilakukan. Beberapa permasalahan yang sering dijumpai dalam pengembangan HHBK adalah: (a) informasi pasar yang meliputi: harga, mutu, dll yang masih sangat terbatas, (b) rantai perdagangan HHBK umumnya masih berlangsung sangat panjang sehingga menyebabkan harga jual di tingkat petani HHBK rendah, (c) pengetahuan masyarakat dalam hal produksi, pemasaran dan keuangan yang masih terbatas, (d) jarak produsen ke pasar jauh sehingga menyebabkan biaya transportasi yang tinggi, (e) produksi HHBK pada umumnya masih bersifat musiman sehingga keberlangsungannya kurang dapat terjamin, (f) dukungan pemerintah terhadap pengusahaan HHBK masih rendah.

Kedua, penyusunan rencana induk (master plan) pengembangan HHBK. Salah satu hambatan utama dalam upaya pengembangan HHBK adalah masih terdapatnya ketidaksinergisan berbagai program dan proyek pengembangan HHBK di Kalsel. Untuk mengoptimalkan upaya pengembangan HHBK di Kalsel maka perlu disusun Rencana Induk Pengembangan (RIP) HHBK yang memuat prioritas komoditi serta prioritas kegiatan penelitian dan pengembangan HHBK yang perlu dilakukan di wilayah Kalsel. Penyusunan RIP HHBK di Kalsel penyusunannya dilakukan dengan melibatkan para pihak (stakeholders) secara partisipatif. Dengan adanya RIP diharapkan kelestarian pengusahaan HHBK dapat dirumuskan dalam sebuah sistem pengelolaan yang lestari.

Ketiga, membangun jejaring kerja (network) para pihak (stakeholders) yang terlibat dalam pengembangan HHBK di Kalsel. Koordinasi para pihak yang terlibat dalam pengembangan HHBK perlu dijalin dengan membentuk kelompok-kelompok pemerhati atau forum komunikasi HHBK per komoditi yang akan memfasilitasi pertemuan-pertemuan yang membahas kegiatan pengembangan HHBK.

Keempat, membangun model percontohan pengusahaan HHBK oleh masyarakat di Kalsel. Pembangunan model percontohan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat proses alih teknologi dalam teknik budidaya dan pengusahaan HHBK kepada masyarakat. Pembangunan model percontohan ini dapat dilakukan melalui pengembangan pengusahaan HHBK yang telah dirintis oleh masyarakat secara swadaya, seperti pengusahaan kayu manis oleh masyarakat Dayak di Loksado, pengusahaan lebah madu lokal oleh CV Karya Lebah (Bapak Suyanto) di Riam Kiwa, Pengaron dan pengusahaan lebah madu lokal di Desa Limbur, Kotabaru yang dibina oleh LSM LPMA Borneo Selatan.

Penutup

Pengembangan HHBK merupakan upaya pemberdayaan masyarakat lokal sesuai dengan prinsip “hutan untuk rakyat” (forest for people). Pemberdayaan yang dilakukan haruslah memperhatikan dimensi sosial, ekonomi dan ekologi agar pemanfaatan hutan lestari dapat dicapai baik secara sosial, ekonomi maupun ekologi. Posisi masyarakat dalam pengembangan HHBK harus benar-benar sebagai pelaksana utama, sedangkan pemerintah bertindak sebagai fasilitator atau pendukung dari setiap program pengembangan HHBK, berfungsi melakukan pembinaan kelembagaan, menyediakan insentif modal, memprmudah akses terhadap pasar dan memberikan jaminan hak baik atas pengelolaan, akan lahan dan hasilnya.

Keberhasilan pengembangan HHBK diharapkan dapat sebagai salah satu upaya melakukan pencegahan dan pemulihan kerusakan sumberdaya hutan di Kalsel, sehingga upaya tersebut juga diharapkan dapat mencegah terjadinya bencana banjir dan tanah longsor di musim hujan serta kekeringan dan kebakaran hutan/lahan di musism kemarau. Semoga!***

*)Peneliti Pada Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru

Thursday, April 19, 2007

Tjoetjoe Damaikan H Isam dan Budi Londo

Kamis, 22 Februari 2007
Radar Banjarmasin

BANJARMASIN ,- Kesalahpahaman yang sempat mencuat antara pengusaha batubara asal Tanah Bumbu H Isam, dengan Bayu Londo yang merupakan adik dari pengusaha kayu Budi Londo, sepertinya telah berakhir dengan damai.

Dari informasi yang didapat koran ini, kedua belah pihak telah bertemu untuk menyelesaikan secara damai dan sepakat untuk tidak melanjutkan proses hukum kasus ini.

Dalam pertemuan itu, Bayu Londo yang diwakili oleh kakaknya Budi Londo dan H Isam sendiri telah membuat surat pernyataan perdamaian bersama. Kabar perdamaian itu sendiri tak dibantah oleh kuasa hukum kedua belah pihak Tjoetjoe Sandjaya SH (baca; Cucu). Ketika dikonfirmasi, Cucu yang kini lebih banyak menangani perkara di Jakarta, Surabaya, Bandung, hingga sampai Singapura ini, membenarkan perdamaian keduanya.

“Benar Mas, baik Mas Budi Londo yang mewakili adiknya maupun H Isam telah sepakat berdamai. Keduanya telah bertemu dan telah membuat surat pernyataan damai bersama,” ujar Cucu yang ketika dikonfirmasi berada di Jakarta.

Ditambakan advokat yang telah berkiprah secara nasional ini, surat perdamaian itu nantinya akan disampaikan kepada pihak penyidik untuk diketahui. Sehingga, dengan adanya perdamaian itu maka otomatis pengaduan yang telah masuk akan dicabut.

“Mungkin untuk kasus Somad proses hukumnya tetap berjalan, namun untuk perselisihan antara Bayu Londo dengan H Isam telah berakhir. Saya sendiri nantinya yang akan menyampaikan surat perdamaian itu kepada penyidik,” ujar Cucu yang selama ini merupakan kuasa hukum kedua belah pihak.

Dijelaskan Cucu, selama ini antara H Isam dengan Budi Londo telah terjalin hubungan pertemanan yang akrab. Saat kejadian itu sendiri, jelas Cucu, baik Bayu Londo maupun H Isam sebenarnya tak ada masalah. “Saat itu sebenarnya antara Bayu Londo dan H Isam tak ada masalah, cuma salah paham biasa kok. Tiba-tiba terjadi keributan yang dilakukan Somad,” kata Cucu yang segera membuka kantor baru di Jl A Yani Km 3,5 Banjarmasin ini.

Untuk mengingatkan, perselisihan antara kedua belah pihak terjadi di HBI, Sabtu (17/2) malam lalu. Ketika itu secara tak sengaja H Isam bersenggolan dengan Bayu Londo. Saat itulah tiba-tiba saja Somad yang dalam keadaan mabuk memukul Bayu Londo. Tak terima dipukul, Bayu Londo kemudian melaporkan ke Polsekta Banjarmasin Timur. (tof)


Polda Tak Akan SP3 Kasus Aad

Rabu, 21 Februari 2007
Radar Banjarmasin


BANJARMASIN,- Kapolda : Kami Memiliki Cukup Bukti

Nasib Bupati Tanah Laut Drs H Adriansyah sepertinya bakal terkatung-katung. Status hukum sebagai tersangka yang disandang orang nomor satu di Tanah Laut yang akrab dipanggil Aad itu, tampaknya akan terus melekat. Sebab, meski pihak Kejati Kalsel telah menyarankan Polda Kalsel untuk mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), namun Polda tetap bersikeras untuk melanjutkan kasus tersebut.

Hal itu ditegaskan langsung oleh Kapolda Kalsel Brigjen Pol Drs Halba Rubis Nugroho yang memastikan penanganan kasus tersebut akan tetap dilanjutkan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

Polda Kalsel beralasan bukti-bukti yang telah dimiliki oleh pihak kepolisian dirasa cukup untuk menjerat Aad dengan dugaan korupsi. "Perkaranya tidak akan dihentikan, kami memiliki cukup bukti," ujar Kapolda kemarin.

Diakui Halba kalau pihak penyidik sudah beberapa kali mengajukan berkasnya, namun selalu dikembalikan oleh pihak Kejaksaan Tinggi Kalsel. Meski begitu, pihak kepolisian masih terus berupaya melakukan perbaikan berkas seperti keinginan pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU). "Prosesnya ya masih bolak balik," katanya.

Disinggung banyak pengusaha kayu yang kini harus berhadapan dengan aparat kepolisian, Halba kembali menjelaskan bahwa berdasarkan keputusan Menhut No 14 tahun 1976 dan Keputusan No 55 tahun 2006 serta Surat Keputusan Tentang Asal Usul Kayu, maka yang kedapatan melanggar akan diproses sesuai dengan aturan yang ada. "Semua keputusan dari Menhut itu mengenai kayu, dan saat ini kayu-kayu itu tidak lagi menggunakan SKSHH. Karenanya, bagi yang melanggar pasti akan diproses," jelasnya.

Menurut jenderal bintang satu ini, operasi pemberantasan illegal logging dengan sasaran operasi di bansaw-bansaw yang dianggap liar belum perlu dilakukan di Kalsel. Sebab, peraturan antara provinsi satu dengan lainnya berbeda-beda. "Sesuai aturan masing-masing daerah, itu yang akan tetap kami lakukan," ujarnya.(gsr)


Penatausahaan Hasil Hutan Disosialisasikan

Senin, 19 Februari 2007

Radar Banjarmasin

MARABAHAN – Terkait terbit dan diberlakukannya Permenhut No. P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Hak dan Permenhut No.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara, baru-baru tadi digelar sosialisasi di Marabahan.

Sosialisasi tersebut dilaksanakan Pemkab Batola melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat. Sosialisasi yang dibuka Sekda Batola Drs H Aflus Gunawan ini dihadiri berbagai unsur dan instansi terkait; Polres Barito Kuala, Kejaksaan Negeri Marabahan, camat se-Kabupaten Batola, para kepala desa yang telah mengikuti kursus singkat penguji hasil hutan, pelaku usaha, dan pejabat penataan hasil hutan di lingkup Barito Kuala.

Aflus Gunawan saat memberikan sambutan berharap, dengan adanya 2 peraturan baru dari Menteri Kehutanan tersebut, masalah yang terjadi dalam penataan hasil hutan bisa diminimalisir. Sebab, selama ini persoalan tersebut sering memunculkan silang pendapat, bahkan dari instansi yang terkait, sekalipun.(tri)

Tahura Kurang Menarik Lagi

Senin, 19 Februari 2007
Radar Banjarmasin

Kawasan wisata Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam Mandiangin, di Kecamatan Karang Intan, kini kondisinya sudah tidak terawat lagi. Tidak heran kalau sekarang tempat rekreasi itu kurang menarik lagi.

Hal ini dikarenakan banyaknya sarana dan prasarana untuk kenyamanan pengunjung yang rusak, bahkan bahan bangunan sarana itu hilang. Salah satunya adalah tempat peristirahat berbentuk rumah adat Banjar, yang dulunya berjejer di samping kanan jalan di lokasi Tahura. Sekarang sudah tidak terlihat lagi.

Menurut warga sekitar, lenyapnya beberapa bangunan tempat peristirahatan itu diakibatkan kebakaran lahan yang kerap terjadi pada setiap musim kemarau. Payahnya, tidak ada upaya perbaikan dari Pemkab Banjar.

“Itu dulunya ada, tapi sejak terbakar tidak dibangun lagi, padahal sangat bagus buat pengunjung. Kalau tidak diperbaki atau dibangun kembali ya.. jadinya hilang deh,” kata Irma, warga sekitar Tahura.

Selain itu, tempat untuk membuang hajat pun (WC), di Tahura juga banyak yang rusak, meskipun masih ada beberapa buah, namun sudah tidak layak pakai.

Meski keadaan tersebut sudah berlangsung cukup lama dan tidak menutup kemungkinan Tahura tidak lagi berfungsi sebagai tempat rekreasi. “Sekarang aja pengunjungnya jauh berkurang dari dulu, entah penyebabnya apa?,” ujar Irma.(spn)


Pengusaha Kayu Marabahan Ditahan Kedapatan Bawa Kayu Hasil Illegal Logging

Jumat, 16 Februari 2007

Radar Banjarmasin


MARABAHAN,- Jajaran Sat Reskim Polres Batola kembali menggagalkan praktik illegal logging. Kali ini seorang pengusaha kayu bernama H Didi berhasil mereka tangkap. Pria berumur 45 tahun itu ditangkap ketika sedang melakukan aktivitas bongkar kayu di perairan Sungai Barito, tepatnya di Kecamatan Hulu Benteng, Batola, Rabu dinihari kemarin sekira pukul 01.00.

Dari tangan Hulu Benteng ini petugas mendapatkan barang bukti berupa 15 kubik kayu ulin dan 27 potong kayu bulat jenis meranti berdiameter 30 sampai 50 cm, yang tidak dilengkapi dengan dokumen SKSHH.

Untuk kayu jenis meranti didapatkan lelaki ini dari daerah Kalteng. Kemudian dibawa dengan cara diikat lalu ditarik dengan menggunakan sebuah klotok hingga sampai ke Marabahan.

Menurut Kasat Reskrim Polres Marabahan AKP Irianto, penangkapan kayu milik pengusaha yang sudah cukup dikenal di kota Bahalap itu merupakan hasil operasi pekat yang dilakukan satuannya di kawasan kota Marabahan.

"Ketika itu kami melihat aktivitas bongkar kayu yang dilakukan pelaku di Kecamatan Hulu Benteng. Karena curiga ia kemudian kami dekati untuk ditanyakan kelengkapan dokumen kayunya," ujarnya ketika dikonfirmasi kemarin.

Ketika itu H Didi tak dapat menunjukkan atau memperlihatkan dokumen kayu miliknya seperti yang diminta oleh anggota. "Jadi kayu itu dibawa pelaku dari Kalteng dan sudah tidak dilengkapi dengan dokumen," jelas AKP Irianto.

Saat ini, lanjut Irianto, pihaknya terus mengembangkan kasus ini untuk melacak asal kayu, mengingat status kayu yang sudah masuk dalam kategori kejahatan illegal logging.

Makanya, setelah H Didi diperiksa oleh petugas penyidik, ia langsung ditahan di ruang tahanan Mapolres Marabahan. "Ya, pelakunya sudah kami tahan di Polres," kata AKP Irianto.

Penahanan terhadap pengusaha kayu ini, tambahnya, sudah sesuai dengan ketentuan UU yang berlaku, di mana H Didi sebagai pemilik kayu ilegal telah melanggar pasal 50 ayat 3 huruf H, UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan. (gsr)


Tahura Riam Kanan Harus Dipertahankan

Kamis, 15 Februari 2007
Radar Banjarmasin

MARTAPURA,- Potensi wisata alam di Kabupaten Banjar terbilang sangat besar. Dari potensi hutan, sungai, gua sampai air terjun tersedia. Sayangnya, Pemkab Banjar belum maksimal mengelolanya. Seperti wisata alam Mandin Kahung di dalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Riam Kanan.

Beberapa tahun lalu, kawasan ini sering dikunjungi tim wisata alam dari Pemkab Banjar. Dari situ disepakati, kawasan tersebut menjadi salah satu wisata alam yang akan dikelola.

“Kalau tidak mampu mengelola, ya...jangan mengklaim sembarangan. Mending biarkan saja kawasan itu sealami mungkin. Dengan begitu yakinlah Mandin Kahung tetap terjaga keasliannya. Pendeknya pertahankan kelestarian Tahura,” ujar Koordinator Komunitas Sumpit Indonesia Udin, kepada Radar Banjarmasin.

Mandin Kahung, sebutnya, hanya sebagian kecil dari kawasan Tahura Riam Kanan yang wajib dijaga. Bukan hanya karena Tahura Riam Kanan menyimpan potensi wisata alam, tetapi lebih dari itu, merupakan satu-satunya kawasan hutan yang kondisinya masih terbilang baik.

“Dengan menjaga kelestarian Tahura Riam Kanan, sudah pasti kawasan alam di dalamnya ikut terjaga dengan baik,” katanya.

Lebih jauh aktivis lingkungan yang beberapa tahun belakangan ini fokus terhadap persoalan tersebut menjelaskan, Tahura Riam Kanan merupakan penggabungan empat kawasan. Yakni Kawasan Hutan Lindung Riam Kanan, Kinain Buak, SM Pelaihari Martapura dan Hutan Pendidikan. Dalam kawasan tersebut tersimpan beberapa potensi penting baik flora maupun fauna. Selain itu tentunya sebagai kawasan penyangga.

“Salah satunya masih tersimpan ulin (Eusideroxylon zwageri) dalam jumlah tegakan yang lumayan banyak. Sedangkan untuk faunanya di sana juga ada Bekantan (Nasalis larvatus), Owa-owa (Hylobates meauleri), Beruang Madu (Helarcetos malayanus), Kijang (Montiacus muntjak), Kuau (Argussines argus), Kilahi (Presbytis kubianda), Rusa (Cervus unicolor), Warik (Macaca sp) dan Ayam Hutan (Lophura nobilis),” ungkapnya.

Jadi lanjutnya, dengan banyaknya potensi-potensi tersebut tidak ada pilihan lain selain tetap menjaga kelestarian kawasan tersebut.(yan)


Asal Kayu Diusut

Kamis, 15 Februari 2007
Radar Banjarmasin


BANJARMASIN,- Jajaran Dit Reskrim Polda Kalsel terus melakukan pemeriksaan intensif terhadap dua buah truk Fuso bernopol DA 2727 F dan AG 73 LU yang kedapatan mengakut puluhan kubik kayu yang diduga tidak memiliki izin.

Pemilik kayu berinisial Haji UI beralamat di Kecamatan Negara, Kabupaten HSS, serta 2 orang pengemudi truk tersebut telah diperiksa. Kini pihak penyidik dan tim illegal logging Polda Kalsel kembali melakukan pemeriksaan terhadap kubikasi jumlah kayu yang dibawa truk tersebut.

Seperti diketahui, kedua buah truk tersebut diamankan petugas Dit Intel Polda Kalsel pada Sabtu pekan tadi. Truk tersebut diamankan dari kawasan Lingkar Basirih, Banjarmasin Selatan. Diduga kayu asal Kabupaten HSS yang diangkut truk tersebut tidak memiliki izin.

Buktinya, ketika dilakukan pemeriksaan oleh petugas, dari sekian banyak izin yang diperlihatkan ternyata terdapat sebuah surat izin yang tidak dilengkapi pemilik kayu tersebut. Surat itu adalah izin rencana pemenuhan bahan baku industri yang seharusnya ikut diperlihatkan saat pemeriksaan. Makanya petugas kemudian membawa kedua buah truk itu ke Mapolda Kalsel untuk diamankan.

Menurut Kabid Humas Polda Kalsel AKBP Puguh Raharjo, pemeriksaan terhadap keabsahan puluhan kubik kayu tersebut secara intensif akan dilakukan pihak tim pemberantsan illegal logging Polda Kalsel. Karenannya, setelah pemeriksaan kubikasi ini selesai dilaksanakan, pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan asal usul kayu akan segera dilakukan.

“Pemeriksaan kubikasinya sedang berjalan, bila sudah selesai nanti kita lanjutkan lagi dengan pemeriksaan asal usul kayu itu,” ujarnya, kemarin. Jelasnya, lanjut Puguh, pemeriksaan terhadap kubikasi itu diperkirakan akan selesai beberapa hari lagi.

Meski barang bukti alat angkut beserta kayu itu diamankan di halaman belakang Polda Kalsel, tetapi penahanan terhadap terhadap 2 orang sopir dan Haji UI tidak dilakukan. Sebab dokumen pengiriman kayu telah dilengkapi pemiliknya. “Surat izin rencana pemenuhan bahan baku industri itu sekarang sudah dipenuhi pemiliknya, jadi tinggal pemeriksaan kubikasi dan asal usulnya saja,” ujar Puguh. (gsr)

4 Kontainer Kayu Ilegal Diamankan

Senin, 12 Februari 2007

Radar Banjarmasin

BANJARMASIN – Jajaran Polda Kalsel kembali mengagalkan upaya pengiriman kayu tanpa dokumen. Sebanyak 4 kontainer kayu ilegal yang berisi 2 kontainer kayu ramin dan 2 kontainer kayu meranti campuran (MC) tersebut terjaring Sat Krimsus Dit Resrim Polda Kalsel sekira sepekan lalu, di terminal Pelabuhan Trisakti Banjarmasin. Nah, dari pengembangan kasusnya, petugas sudah memeriksa dua tersangkanya yaitu H Kos (pemilik) dan Rad (ekpedisi), keduanya warga Alalak Pulau Kecamatan Berangas, Batola. Informasi terhimpun menyebutkan, kayu tanpa dokumen dengan volume sekira 75 kubik itu rencananya dikirim ke pulau jawa. Namun, upaya tersebut gagal karena keburu terendus petugas. Saat dilakukan pemeriksaan terbukti kalau 4 kontainer kayu tersebut tanpa dilengkapi dokumen. Nah, untuk penyelidikan lebih lanjut petugas lalu mengamankan barang bukti tersebut di terminal Pelabuhan Trisakti Banjarmasin. Setelah dilakukan penelusuran, petugas akhirnya menjaring H Kos (pemilik) dan Rad (ekpedisi). Selanjutnya, Jumat (9/2) lalu, H Kos dan Rad digelandang ke Mapolda Kalsel guna menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Kasat II Krimsus Dit Reskrim Polda Kalsel AKBP A Sahuri melalui Kanit I Sat II AKP Suharso ketika dikonfirmasi membenarkan pihaknya telah mengamankan 4 kontainer kayu tanpa dokumen beserta 2 tersangka. Ia menambahkan, kasusnya sedang dalam pemeriksaan intensif petugas, dan terus dikembangkan.(sga)

Hijaukan DAS Riam Kanan

Sabtu, 10 Februari 2007

Radar Banjarmasin

BANJARMASIN - Anggota Komisi II DPRD Kalsel Karlie Hanafi Kalianda mengaku miris dengan kian meningkatnya luasan lahan kritis di Kalsel. Apalagi, kondisi itu disaksikannya langsung di sepanjang Pegunungan Meratus.

Karena itu, dia mendesak Dinas Kehutanan (Dishut) Kalsel segera melakukan langkah reboisasi untuk membuat kawasan tersebut hijau lagi. Ajakan Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) itu pun bersambut. Sebagai tahap awal, Komisi II akan terlibat memberikan pengawasan reboisasi di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Waduk Riam Kanan. "Desain proyek reboisasi nantinya akan dilakukan di Balai Teknologi Reboisasi (BTR)," katanya.

Karlie pun tak ingin proyek tersebut seperti proyek reboisasi pada masa lalu. Karena tak mendapat perhatian, maka pada saat musim kemarau kawasan reboisasi itu terbakar. Atau jika telah besar, pohon-pohon tersebut malah diakui sebagai milik rakyat, kemudian ditebang sehingga lahan pun kembali kritis lagi.

Meski tak menyebutkan berapa anggaran yang diperlukan untuk reboisasi tersebut, namun dijanjikan kandidat doktor di Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya ini, akan disokong pendanaan dari APBD Kalsel. Jika reboisasi ini sudah berjalan, maka akan diperjuangkan pendanaan dari APBN. "Kita ingin pola ini terus menerus dilakukan setiap tahun. Ini pekerjaan bersama-sama," pungkasnya. (pur)

Monday, April 16, 2007

DPR Setujui Perpu No 1/2004

Berita Utama
Jumat, 16 Juli 2004

- Tentang Penambangan di Hutan Lindung

Jakarta, Kompas - Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat hari Kamis (15/7) kemarin akhirnya menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, melalui voting, untuk disahkan menjadi undang- undang. Dengan persetujuan ini, DPR secara otomatis juga menerima keberadaan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 tentang pemberian izin kepada 13 perusahaan tambang di kawasan hutan lindung.

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini kembali dinilai oleh sejumlah koalisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli lingkungan, yang hadir dalam rapat paripurna itu, sebagai lambang kekalahan bangsa Indonesia di bawah tekanan kepentingan asing. Sebagaimana dalam kasus-kasus lain sebelumnya, ketentuan seperti itu dikeluarkan hanya karena adanya ancaman gugatan arbitrase dari perusahaan-perusahaan asing tersebut.

Sebaliknya, Menteri Kehutanan M Prakosa berpendapat, diterimanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No 1/2004 oleh DPR telah sesuai dengan harapan pemerintah. Menurut dia, persetujuan ini sekaligus menyelesaikan polemik ketidakpastian hukum dan usaha pertambangan.

Selanjutnya, perpu tersebut akan dijadikan undang-undang (UU) dan implementasinya tidak terpisah dengan Keputusan Presiden (Keppres) No 41/2004

Tentang kemungkinan penambahan izin untuk perusahaan pertambangan lain di hutan lindung di luar 13 perusahaan yang telah ditunjuk, Prakosa menegaskan bahwa pemerintah hanya akan memberikan izin kepada 13 perusahaan pertambangan itu saja, sesuai dengan keppres. Ia tidak mau berkomentar soal kemungkinan gugatan arbitrase yang akan diajukan oleh 100 lebih perusahaan lain di luar 13 perusahaan yang ditunjuk pemerintah.

"Sekali lagi, kita diperlihatkan sikap para pemimpin kita yang memiliki mental penakut, yang selalu tunduk kepada kepentingan asing dengan dalih kepentingan investasi dan kelangsungan ekonomi bangsa. Semua argumentasi hukum, ilmiah, dan dampak kerusakan lingkungan tidak mereka gubris. Mereka pun berani menginjak hukum kita demi kepentingan asing," kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Longgena Ginting.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi. Menurut dia, DPR tidak selayaknya menerima Perpu No 1/2004 yang terbukti cacat hukum dalam pembuatannya. "Mereka sudah tahu itu, tetapi akal sehat mereka sepertinya sudah terbalik, dengan begitu berani mengorbankan lingkungan hanya demi kepentingan 13 perusahaan pertambangan yang sebagian besar dikuasai perusahaan asing," ujar Elfian.

Sejumlah aktivis lingkungan yang hadir di Gedung DPR juga mengaku terkejut karena sebelumnya DPR sudah memberikan sinyal akan menolak perpu tersebut. Selain karena alasan penerbitan perpu dinilai bertentangan dengan Pasal 22 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang tidak memenuhi prasyarat keadaan mendesak, penerbitan perpu juga dianggap melangkahi upaya DPR yang tengah melakukan proses penyelesaian kasus tumpang tindihnya peraturan pertambangan.

Dasar perpu

Kontroversi soal perizinan pertambangan di hutan lindung muncul sejak diterbitkannya UU No 41/1999 tentang Kehutanan. UU ini membuat izin pertambangan di hutan lindung, yang sebelumnya sudah diberikan pemerintah kepada 150 perusahaan, ditinjau kembali. Sebagian besar izin tersebut kemudian dibekukan karena adanya penetapan hutan lindung di kawasan penambangan terkait.

Hal ini memunculkan protes dan ancaman arbitrase dari pihak perusahaan-perusahaan pertambangan yang menganggap undang-undang tersebut telah menciptakan ketidakpastian hukum. Karena itu, pemerintah terpaksa mengeluarkan Perpu No 1/2004.

Perpu ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 11 Maret 2004. Isi perpu tersebut pada prinsipnya menambah ketentuan baru pada UU No 41/1999, yaitu Pasal 83 (a) dan Pasal 83 (b).

Pasal 83 (a) menegaskan, semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU No 41/1999 dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut. Selain menerbitkan perpu, untuk melengkapi pengaturan perusahaan pertambangan, presiden juga mengeluarkan Keppres No 41/2004.

Isi keppres itu intinya, penunjukan dan pemberian izin kepada 13 perusahaan pertambangan untuk tetap melanjutkan operasionalnya dan menambang terbuka di hutan lindung. Izin kepada 13 perusahaan itu sebelumnya diberikan oleh pemerintah (Departemen Pertambangan) pada era Soeharto.

Menurut pemerintah, 13 perusahaan itu merupakan perusahaan yang mendapatkan prioritas dari 150 perusahaan pertambangan yang ada. Prioritas pemberian izin dilakukan agar pemerintah tidak dihadapkan pada tuntutan arbitrase dari perusahaan-perusahaan tersebut, yang nilainya pernah dikemukakan dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, mencapai Rp 188 triliun.

Dari 13 perusahaan yang telah diberikan izin penambangan, sebagian besar memang perusahaan yang sahamnya dikuasai asing dan terdaftar di bursa saham New York, Amerika Serikat.

Pada Rapat Paripurna DPR kemarin, dari 233 anggota DPR yang hadir, sebanyak 131 anggota menyatakan menerima Perpu No 1/2004, sedangkan 102 anggota menolak.

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan melalui juru bicaranya Sutrisno menyatakan, fraksinya secara tegas menerima perpu itu dengan alasan perpu tersebut dibutuhkan untuk mengakhiri ketidakpastian hukum bagi perusahaan pertambangan dan untuk menciptakan iklim investasi.

Pernyataan menerima perpu juga disampaikan Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Sementara enam fraksi lain, yakni Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Reformasi, Fraksi TNI/Polri, Fraksi Partai Bulan Bintang, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia, dan Fraksi Daulatul Ummah, dengan tegas menolak.

Alasan penolakan di antaranya prosedur penerbitan perpu tidak sesuai dengan Pasal 22 UUD 1945. Hal ini karena kegentingan yang memaksa sebagai persyaratan ditetapkan perpu tidak terpenuhi. Selain itu, perpu tersebut tidak perlu diterbitkan karena persoalan tumpang tindih pertambangan dan kawasan hutan lindung bisa diselesaikan melalui Pasal 19 UU No 41/1999.

Keputusan DPR menerima perpu melalui voting dalam rapat paripurna merupakan keputusan puncak dari serangkaian pertemuan antara pihak pemerintah dan DPR dalam pembahasan perpu ini. Sebelumnya, DPR telah gagal mengambil keputusan pada tingkat panitia khusus meski laporan panitia kerja dan sikap sebagian fraksi menyatakan perpu itu tidak diperlukan.

Bahkan, sebelum rapat terakhir pansus, DPR juga telah mengundang sejumlah pakar hukum, pakar lingkungan, aktivis lingkungan, dan perusahaan pertambangan untuk mendapatkan masukan.

"Class action"

Sejumlah aktivis lingkungan menyatakan akan segera menyiapkan gugatan kelompok (class action) terhadap Perpu No 1/2004 yang akan segera dijadikan undang-undang. "Kami akan tetap berjuang sampai kapan pun. Bagi kami, perpu tersebut bukanlah suatu penyelesaian, tapi awal perusakan hutan-hutan melalui penebangan terbuka," kata Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Siti Maimunah.

Longgena Ginting mengatakan, pihaknya akan mengadukan masalah ini ke Mahkamah Konstitusi untuk uji materi. "Kami akan meminta Mahkamah Konstitusi untuk memberikan pertimbangan hukum secara murni, tanpa adanya intervensi kepentingan politik," kata Longgena Ginting.

Menanggapi hal itu, Prakosa menyatakan pemerintah siap menghadapi gugatan apa pun selama hal tersebut masih dalam koridor hukum. "Silakan saja ajukan gugatan, kami siap menghadapinya. Yang penting, perpu ini telah disetujui DPR dan dalam waktu dekat akan dijadikan undang-undang," kata Prakosa.

Anggota Panitia Khusus Lingkungan Hidup Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur Ridwan Suwidi, yang dihubungi di Samarinda, menyatakan, kalangan DPRD Kalimantan Timur tetap akan menolak penambangan di hutan lindung meskipun perpu tersebut sudah diterima oleh DPR.

"Kenapa harus ditetapkan jadi hutan lindung kalau kemudian ditambang. Bagaimana pola pikirnya itu. Apa pun alasannya, kami tetap menolak penambangan di hutan lindung. Biarkan hutan lindung tetap menjadi kawasan lindung," katanya menekankan.

Menurut dia, pemerintah pusat dan DPR terlalu berpikir pragmatis, sektoral, dan tidak mempertimbangkan aspirasi dari daerah. Padahal, masyarakat di daerahlah yang akan menerima beban kerusakan lingkungan yang timbul akibat eksploitasi tambang itu.

Ridwan menambahkan, secara subtantif, sebenarnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut hanya merefleksikan kepentingan para pemilik modal atas nama investasi. (otw/ray)

Indonesia Mengusulkan Kayu Ramin Masuk Appendix II CITES

Bisnis & Investasi
Rabu, 14 Juli 2004

Jakarta, Kompas - Untuk mencegah punahnya jenis kayu ramin yang populasinya terus menipis, Pemerintah Indonesia mengusulkan kayu ramin yang sebelumnya masuk Appendix III dimasukkan dalam Appendix II Konvensi Perdagangan Internasional untuk Spesies Flora dan Fauna yang Terancam Punah (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora/CITES).

Selain itu, juga akan diusulkan agar kayu merbau dan kayu eboni dimasukkan dalam Appendix III CITES. Kepala Pusat Informasi Kehutanan Departemen Kehutanan Transtoto Handadhari, Selasa (13/7), mengungkapkan, usulan akan disampaikan pada Conference on Parties ke-13 di Bangkok, Thailand, Oktober 2004.

CITES merupakan kesepakatan yang disusun pada suatu konferensi diplomatik yang dihadiri 88 negara di Washington DC, AS, 3 Maret 1973. Hingga saat ini, anggota CITES 160 negara. Tujuan konvensi ini adalah menghindari kepunahan jenis tumbuhan dan satwa langka melalui pengembangan sistem pengendalian perdagangannya secara internasional.

Indonesia merupakan salah satu pengekspor terbesar jenis tumbuhan dan satwa liar. Dengan berlakunya CITES, semua spesimen satwa liar dan tumbuhan langka yang keluar masuk wilayah Indonesia harus disertai dokumen yang diterbitkan pemerintah selaku otoritas dan scientific management yang ditunjuk CITES.

Berdasarkan tingkat kelangkaannya, CITES membagi jenis satwa dan tumbuhan dalam tiga kategori, yaitu Appendix I, II, dan III. Appendix I untuk jenis yang kepunahannya mungkin dipengaruhi oleh adanya perdagangan sehingga harus diatur dengan peraturan khusus yang ketat. Appendix II untuk jenis yang belum terancam punah, tetapi akan terancam punah jika perdagangannya tak diatur dengan ketat. Appendix III untuk jenis yang diatur perdagangannya untuk mencegah atau membatasi eksploitasinya. (*/tat)

Friday, April 13, 2007

Ulin Tahura Terus Digerogoti

Sabtu, 3 Februari 2007


Nasrun: Lestarikan Populasi Pohon Langka

Radar Banjarmasin, MARTAPURA – Terus menipisnya keberadaan kayu ulin di kawasan Taman Hutan Raya Sultan Adam (Tahura) Riam Kanan, semakin menyibukkan aktivitas Dinas Kehutanan Banjar. Paling tidak, sampai sekarang bekerjasama dengan kepolisian, instansi ini tak henti-hentinya melakukan razia. Hasilnya, puluhan sarana angkutan seperti sepeda motor terjaring.

Kendati demikian toh kayu langka ini masih saja terdapat di pasaran, bahkan harganya melambung tinggi.

“Untuk masalah kayu ulin ini kami tidak main-main. Begitu ada praktik penebangan apalagi di wilayah hutan lindung, tidak ada kompromi. Kalau ada informasi mengenai hal itu langsung laporkan. Pokoknya langsung ditangkap,” ujar Kadis Kehutanan Ir Nasrunsyah.

Dari berbagai sumber diberitakan jika di kawasan Taman Hutan Raya Sultan Adam Riam Kanan populasi kayu ulin jumlahnya sudah sangat menurun. Ini terjadi akibat terus berlangsungnya aktivitas pencurian kayu. Terutama di daerah-daerah pinggir kawasan. Laju penurunan populasi kayu yang juga disebut dengan kayu besi ini didukung dengan banyaknya jalan-jalan sebagai akses langsung dari dalam kawasan ke luar.

Sejauh ini beberapa akses yang biasa digunakan membawa kayu langka tersebut sudah tidak digunakan lagi. Seperti jalur eks Inhutani I,II Kintap Tanah Laut, eks Jalan Sumpol , melalui Desa Tanjung Tanah Laut.

Namun demikian akses keluar masuk ke wilayah kawasan bukannya berkurang, bahkan jalannya lebih gampang. Seperti melalui Jalan Peramasan yang biasa melintasan dua kawasan sekaligus, yakni kawasan Riam Kiwa dan Riam Kanan.

“Memang benar itu. Sekarang ini dari wilayah kawasan ke Kecamatan Peramasan sangat nyaman. Tetapi petugas kami tetap siaga. Ya namanya juga pencuri, tetap aja sesekali biasa lolos,” ujar pejabat yang merangkap sebagai Assisten II Bupati Banjar ini.

Di bagian lain, Nasrun mengimbau kepada warga Kabupaten Banjar untuk bisa lebih peduli dengan keberadaan populasi jenis kayu langka. Seperti halnya kayu ulin, gaharu maupun jenis pohon buah khas Kalimantan.

Hal itu penting dilakukan ajaknya, karena tanpa ada proses regenerasi untuk peduli niscaya beberapa generasi mendatang tidak akan mendapati jenis-jenis pohon langka tersebut.

“Indikasinya sekarang sudah terlihat. Di hutan pohon buah langka seperti pohon mundar, manggis, beberapa jenis durian sudah sangat sulit ditemukan,” katanya.(yan)