Wednesday, November 21, 2007

Warga Menolak Konversi Hutan TNDS

Sabtu, 27 Oktober 2007

Putussibau, Kompas - Sebanyak 200 warga di sekitar Taman Nasional Danau Sentarum atau TNDS di Kecamatan Suhaid, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Jumat (26/10), berunjuk rasa di Kantor Kecamatan Suhaid. Mereka menolak rencana konversi hutan negara di Kecamatan Suhaid, yang merupakan bagian dari Taman Nasional Danau Sentarum, menjadi lahan perkebunan sawit yang dikelola PT KPC seluas 18.000 hektar.

"Selama ini pemerintah mendengung-dengungkan agar masyarakat melestarikan hutan di sekitar Danau Sentarum yang merupakan kawasan konservasi. Akan tetapi, mengapa pemerintah justru memberikan izin masuknya perkebunan sawit?" kata Koordinator aksi Haji Abdul Salam (65).

Dalam unjuk rasa itu, Camat Suhaid Dahniar tengah pergi ke Putussibau dan masyarakat hanya ditemui Sekretaris Camat Suhaid Leni Marlina. Warga akhirnya hanya membuat surat tuntutan yang oleh pihak kecamatan akan disampaikan ke Bupati Kapuas Hulu.

Salah satu tokoh masyarakat, Haji Hari Sudirman (43), mengatakan, masuknya perkebunan sawit telah menimbulkan konflik antara sebagian kecil masyarakat yang pro sawit dan sebagian besar masyarakat yang menolak sawit.

Selain menyalahi peruntukan lahan sebagai kawasan konservasi, warga menilai pembukaan hutan untuk kebun sawit dipastikan akan membuat hutan menjadi gundul. Jika musim hujan, dikhawatirkan Sungai Kapuas yang berada di Kecamatan Suhaid akan meluap dan merendam Dusun Tanjung Harapan dan Kapuas yang dihuni sekitar 500 keluarga.

Limbah kebun sawit, berupa sisa pupuk dan pestisida, dikhawatirkan warga juga akan mengalir mencemari Sungai Kapuas dan Danau Sentarum. Padahal, sebagian besar masyarakat di sana bermata pencarian sebagai nelayan. Jika air Sungai Kapuas dan Danau Sentarum tercemari, ikan-ikan akan banyak yang mati dan pendapatan masyarakat akan berkurang.

Pencemaran Sungai Kapuas dan Danau Sentarum dikhawatirkan juga akan mematikan usaha penangkaran arwana merah atau siluk (Scleropages formosus) di Suhaid. Di wilayah endemik siluk itu, sekitar 40 penangkar dan 500 pemelihara siluk dengan omzet lebih dari Rp 20 miliar per tahun, bergantung pada kemurnian alam Sungai Kapuas dan Danau Sentarum.

Ade Jumhur, pendamping 250 petani madu hutan di Danau Sentarum yang tergabung dalam Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS), menyatakan, keberadaan perkebunan sawit juga mengancam usaha petani madu hutan organik. Pencemaran Sungai Kapuas dan Danau Sentarum berpengaruh pada air dan bunga yang menjadi pakan lebah madu hutan.

Kondisi ini bisa mengakibatkan sertifikasi organik yang melekat pada produk madu hutan masyarakat di sana terancam dicabut. Jika sertifikat organik itu dicabut, harga jual madu hutan akan merosot dan tentu saja hal ini merugikan petani. (WHY)

Sudah Sepantasnya Izin Inhutani Dicabut

Rabu, 24 Oktober 2007


Radar Banjarmasin, Martapura,- Sikap berang Bupati Banjar Khairul Shaleh terhadap keberadaan HTI milik PT Inhutani III di wilayah Kecamatan Pengaron dan Sungai Pinang, didukung sepenuhnya DPRD Bnajar. Bahkan saat ini Komisi I DPRD Banjar mengaku menunggu sikap tegas Pemkab Banjar terhadap Inhutani III.

“Kalau memang ada keinginan untuk meminta izin PT Inhutani III dicabut, kami sangat mendukung. Karena memang sudah sepantasnya izin PT Inhutani III itu dicabut. Tentunya dalam hal ini Dinas Kehutanan yang harus mengambil peranan besar. Terutama dalam melakukan pengkajian lebih mendalam,” ujar Ketua Komisi I Imran Hadimi, kemarin.

Seperti diberitakan sebelumnya, dari data yang berhasil dihimpun Radar Banjarmasin, dalam aktivitasnya Inhutani III di kawasan tersebut hanya berbekal izin sementara untuk kegiatan HTI dengan luas areal 20 hektar pada tahun 1989. Sedangkan 10 hektar lainnya, dicurigai hanya berdasarkan klaim sepihak BUMN tersebut.

Sejauh ini, kegiatan penanaman yang dilakukan salah satu BUMN tersebut hanya dilakukan di sebagian kecil arealnya. Itu pun kabarnya penanaman yang dilakukan atas kerjasama dengan pihak Dinas Kehutanan.

Di sisi lain, sebagian arealnya saat ini telah berubah fungsi menjadi areal pertambangan batubara. Hal ini terjadi setelah ada proses pinjam pakai antara PT Inhutani III dengan PD Baramarta dan PT NCJA. Sebagai kompensasinya kedua perusahaan tersebut harus membayar kompensasi sebagai pengganti tegakan di atas lahan tersebut.

Bupati Banjar Khairul Saleh, saat dikonfirmasi membenarkan jika aktivitas Inhutani III di wilayahnya tidak memiliki izin yang semestinya.

”Benar sejak tahun 1989 lalu sampai sekarang mereka hanya mengantongi izin sementara. Cukup ganjil, memang. Karena itu, saya sudah mengagendakan akan memanggil Inhutani III untuk meminta penjelasan,” ujarnya.

Dari laporan tim pengkajian potensi wilayah yang dikoordiniir Bagian Ekonomi ungkapnya, sampai saat ini arealnya terlantar.

“Kemungkinan besar saya akan meminta kepada Departemen Kehutanan untuk mencabut izin tersebut. Mending begitu. Dengan areal seluas itu, kita bisa manfaatkan untuk kegiatan-kegiatan investasi yang jelas-jelas menguntungkan. Baik bagi daerah maupun bagi masyarakat secara umum,” jelasnya.

Lebih jauh Imran menegaskan, apa yang dilakukan Inhutani III dengan proyek HTI-nya di Kecamatan Pengaron dan Sungai Pinang tersebut terbilang keterlaluan. Tidak ada dampak positif yang diberikan perusahaan kepada masyarakat setempat. Apalagi terhadap Kabupaten Bnajar secara umum.

“Semestinya kan setiap investasi yang masuk ke daerah ini berdampak posistif terhadap masyarakat. Terutamakan terhadap perekonomian masyarakat. Tetapi yang terjadikan tidak. Sebaliknya, dari penguasaan lahan seluas itu, PT Inhutani yang diuntungkan. Seperti soal pimjam pakai kawasan untuk aktifitas pertambangan,” ujarnya.

Senada dengan itu, anggota F-Golkar dari daerah pemilihan V H Syarkawi menambahkan, jika sudah nyata-nyata tidak memberikan manfaat yang jelas, Pemkab Banjar hendaknya bereaksi keras.

“Saya ini kebetulan dari daerah sana (Kecamatan Pengaron, Red). Areal yang dikuasai PT Inhutai III itu sebagian besar gundul. Karena memang tidak ditanami sebagai mana kewajiban Inhutani. Kalau lahan itu bisa dikuasai Pemkab Banjar, tentunya sangat bermanfaat,” katanya.

Dilain pihak tambahnya lagi, selama ini seringkali Pemkab Banjar kesulitan mencari lahan jika ada investor yang ingin menanamkan modalnya. Nah, bisa dibayangkan betapa berartinya lahan seluas 30 ribu hektare itu.

“Jelaskan, selain dibiarkan gundul ditambah lagi izinnya sudah puluhan tahun masih sementara daerah juga yang dirugikan,” katanya. (yan)

Saturday, November 03, 2007

Perencanaan; Entry Point Pembangunan Hutan

Rabu, 31-10-2007 | 21:45:47

Perubahan selera masyarakat dan permintaan pasar dapat berpengaruh besar terhadap pilihan yang ditetapkan itu.
Oleh: Hamdani Fauzi
Peneliti Perencanaan Social Forestry Fahutan Unlam

Di tengah kekhawatiran dunia akan deforestasi global, termasuk di Indonesia yang mencapai 300 kali lapangan sepakbola per jam sehingga mencatatkan rekor sebagai penghancur hutan tercepat. Tahun ini Departemen Kehutanan menganggarkan miliaran rupiah untuk penyusunan rancangan teknis (rantek) kegiatan pembangunan hutan di wilayah kerja Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di seluruh Indonesia.
Rantek merupakan dokumen perencanaan yang sangat urgen sebagai acuan seluruh pelaksanaan kegiatan pembangunan hutan yang bersifat strategis dan penting, sebagai entry point penentu keberhasilan pembangunan hutan. Tentunya sudah menjadi kewajiban perencana untuk menyusun rantek yang baik, realistis, ilmiah, aplikatif, obyektif, akurat dan sesuai dengan kondisi lapangan serta memperhatikan aspirasi masyarakat sekitar hutan.
Tidak jarang ditemui, rantek yang disusun tidak sesuai kondisi di lapangan. Misalnya, jenis tanah di lahan itu tergolong ber-pH asam namun masih tetap dibantu dengan pupuk anorganik pemicu keasaman tanah. Bentuk perlakuan terhadap lahan basah yang seharusnya semi mekanis dengan menggunakan tokongan (menimbun tanah hingga berbentuk mangkok terbalik), dalam perencanaan justru dibuat piringan atau dilema ketidaksesuaian jenis dengan kondisi fisik dan sosial ekonomi (sosek) masyarakat.
Pada tataran makro pengelolaan hutan Indonesia, sering terbetik kabar kurang mengenakkan bahwa Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) disusun di atas meja dan dianggap sebagai peraturan final, yang mampu menetapkan batas kawasan hutan secara kongkret di lapangan. Namun sayangnya, berujung pada gagalnya TGHK mencapai pengakuan batas kawasan hutan oleh semua pihak.
Perencanaan di bidang kehutanan memang merupakan kebutuhan mendasar karena beberapa alasan. 1) Dunia kehutanan galibnya selalu berhadapan dengan kawasan yang luas, keragaman kondisi sosek dan keadaan fisik wilayah; 2) Jangka berproduksi kehutanan memerlukan waktu yang panjang dibanding budidaya lainnya: hutan jati menggunakan daur 80 tahun atau paling tidak umur 7 - 8 tahun baru bisa dipanen bagi jenis fast growing; 3) Karena jangka berproduksi yang panjang itu, maka kehutanan berhadapan dengan ketidakpastian (uncertainty) dan risiko yang tinggi; 4) Pilihan untuk menentukan jenis juga cukup banyak, tetapi sekali ditetapkan jenis yang diusahakan itu akan menyangkut seluruh konsekuensi sampai waktu panen.
Perubahan selera masyarakat dan permintaan pasar dapat berpengaruh besar terhadap pilihan yang ditetapkan itu. Pengalaman membuktikan, penebangan jenis akasia oleh masyarakat yang ditanam ketika program reboisasi di catchment area Riam Kanan dilaksanakan karena dianggap tidak menguntungkan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Begitu juga yang terjadi pada saat program sengonisasi diluncurkan oleh pemerintah pada 2002, banyak warga yang menanami lahannya dengan sengon. Namun karena ketidakjelasan pasar, bernasib sama dengan jenis akasia di Riam Kanan. Bagaimana nasib jati, mahoni dan jarak yang ramai ditanam beberapa tahun terakhir ini?
Dengan demikian dibutuhkan analisis mendalam dari perencana untuk memberikan rekomendasi arahan pemilihan jenis dengan mempertimbangkan beberapa aspek seperti suitability land, kemampuan lahan, konservasi, aspirasi masyarakat, kemungkinan domestikasi jenis, faktor ekonomis dan kepastian pasar.
Persoalan lainnya yang perlu diperhatikan perencana, adalah pemantapan kawasan yang diakui para pihak sebagai salah satu syarat yang mutlak dipenuhi untuk pembangunan hutan lestari. Pengelolaan kawasan hutan seringkali berbenturan dengan pemanfaatan atau penggunaan lahan masyarakat yang berpotensi munculnya konflik kepentingan penggunaan lahan.
Di atas peta barangkali kita bisa dengan mudah menentukan calon lokasi pembangunan hutan, karena arealnya berada dalam kawasan hutan produksi yang tidak produktif (rawang), lahan kritis atau semak belukar. Namun kenyataan di lapangan acapkali perencana harus berhadapan dengan PP (bukan Peraturan Pemerintah, tapi Parang Panjang), sebab lahan tersebut sudah diklaim masyarakat sebagai ‘milik’ mereka baik karena dianggap sebagai tanah ulayat yang diakui secara adat turun temurun ataupun yang sifatnya ‘dadakan’. Secara real world, di kawasan hutan pun kita sudah sangat lazim menemui adanya pemegang Kuasa Pertambangan (KP) yang mendapat izin konsesi dari penguasa di daerah. 
Dengan demikian, sangat penting adanya pemantapan batas kawasan hutan. Mengingat, kalau tidak demikian maka kegiatan membangun hutan akan sangat terganggu karena masa berproduksi hutan bersifat jangka panjang dan pengelolaannya tidak dapat diset untuk cepat mengalami perubahan dalam waktu singkat atau mendadak. Lebih dari itu, konversi kawasan berhutan ke bentuk land use lain akan berdampak terhadap ekosistem baik lokal, regional maupun global.
Akhirnya kita berharap, dengan konsep perencanaan yang baik dan berkualitas dibarengi konsistensi implementasi dan pengawasan maka pembangunan hutan bukan lagi sekadar mimpi menggapai asa ‘lestari hutan dan sejahtera masyarakat’.   

e-mail: danie_bastari@yahoo.co.id

Perlu Patok Batas Kawasan Hutan

Jumat, 26-10-2007 | 21:59:24

  • Sulit Kenali Hutan Lindung

PELAIHARI, BPOST- Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut, Aan Purnama menyatakan, perlu pembuatan patok tata batas kawasan hutan, untuk mengamankan dan menghindari perambahan kawasan hutan oleh aktivitas perusahaan maupun masyarakat.

Patok dianggap sangat penting, supaya orang mudah mengenali bahwa suatu tempat masuk kawasan hutan atau tidak. "Jika perlu, bentuknya tak sekadar patok, tapi monumen, supaya lebih jelas dilihat," katanya saat rapat koordinasi pemantapan penertiban perkebunan di aula Kantor Dinas Kehutanan Tala, Jumat (26/10).

Pertemuan kemarin dihadiri pejabat dari institusi terkait, termasuk dari Polres Tala. Aan mengungkapkan, selama ini ada kecenderungan dari pihak investor untuk memanfaatkan lahan kosong sebagai lokasi usaha.

Banyak dari mereka yang tidak mengetahui bahwa lokasi tersebut berada dalam kawasan hutan. Pantauan BPost, secara faktual sejumlah kawasan hutan di daerah ini memang sulit dikenali. Termasuk kawasan seperti hutan lindung, suaka margasatwa atau taman wisata alam.

Ini karena secara fisik, kawasan hutan atau kawasan lindung tersebut tidak lagi ditumbuhi hutan perdu, tetapi hanya berupa semak belukar. Umumnya populasi kayunya telah ludes oleh aktivitas penebangan liar.

Selain pembuatan patok tata batas, Aan mengatakan perlunya pengawasan yang terus menerus terhadap kawasan hutan. Langkah ini salah satu bagian penting dalam upaya mengamankan, menjaga, dan melestarikan hutan di daerah ini.

Dishut Tala kini melakukan pengamanan kawasan hutan, dengan penertiban tambang (batu bara dan bijih besi) yang masuk kawasan hutan melalui pewajiban mengurus izin pinjam pakai ke Menhut.

Hingga kini baru satu perusahaan tambang yang telah mendapatkan izin pinjam pakai yaitu PT Amanah Anugerah. Pertengahan tahun tadi, Dishut Tala mengumumkan 16 perusahaan perkebunan yang arealnya masuk kawasan hutan. Bupati Tala H Adriansyah membentuk tim untuk menertibkan perkebunan tersebut.

Akhir Desember tahun ini adalah batas waktu terakhir bagi perusahaan perkebunan tersebut untuk mengajukan permohonan pengecekan lahan kepada tim. Hingga kini baru enam perusahaan perkebunan yang telah mengajukan permohonan. roy 

no
Perkebunan Perambah Hutan

1
Sarana Subur Agrisindo

2
Candi Arta

3
Bumi Raya Investindo

4
Lunik Anugerah

5
Meratusindo Nugraha Sentosa

6
Citra Putra Kebun Asri

7
Emida

8
Kintap Jaya Wattindo

9
Smart and Co

10
Damit Mitra Sekawan

11
Indoraya Everlatex

12
Malindo Jaya Diraja

13
Sinar Surya Jorong

14
Bridgeston Kalimantan Plantation

15
Pola Kahuripan Inti Sawit

16
PTPN XIII

17
Bangun Kalimantan

Sumber Data: Dinas Kehutanan Tanah Laut