Friday, April 20, 2007

Hutan Bukan Hanya Kayu

Sabtu, 24 Februari 2007
Radar Banjarmasin

Untuk Cegah Banjir

Oleh: Marinus Kristiadi Harun, S.Hut.

PARADIGMA lama yang "memandang" hutan hanya pada kayu harus mulai ditinggalkan dan dibangun paradigma baru yang "memandang" hutan secara utuh sebagai satu kesatuan ekosistem. Hal ini mengandung arti, hasil hutan bukan kayu (HHBK) juga merupakan komponen yang penting. Ketidakberkembangan HHBK tidak terlepas dari masalah kebijakan pengelolaan hutan selama ini. Pengelolaan hutan yang selama ini berorientasi kepada kayu telah menisbikan akses masyarakat untuk mendapatkan hak memperoleh manfaat dari kekayaan alamnya. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan alternatif pemanfaatan HHBK oleh masyarakat yang terbukti lebih efektif melalui cara-cara ekstraksi dan pola pemanfaatan yang ramah lingkungan, sesuai dengan daya dukung lingkungan dan pemanfaatan berkelanjutan.

Peranan HHBK pada akhir-akhir ini dianggap semakin penting setelah produktivitas kayu dari hutan alam semakin menurun. Food and Agricultural Organization (FAO) mendefinisikan HHBK sebagai produk-produk selain kayu yang berasal dari bahan biologis yang diperoleh dari hutan dan pepohonan yang tumbuh di sekitar hutan. Perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan semakin cenderung kepada pengelolaan kawasan (ekosistem hutan secara utuh) juga telah menuntut diversifikasi hasil hutan selain kayu.

Pembenaran (justifikasi) peranan HHBK dalam meningkatkan ekonomi masyarakat dan pelestarian lingkungan (termasuk mencegah bencana banjir dan tanah longsor di musim hujan serta kekeringan dan kebakaran hutan/lahan di musim kemarau) adalah sebagai berikut. Pertama, HHBK dapat menyediakan berbagai kebutuhan untuk menunjang kehidupan masyarakat lokal, seperti: bahan pangan, obat-obatan dan bahan-bahan keperluan hidup lainnya serta menyediakan sumber mata pencaharian dan pendapatan masyarakat. Kedua, pengusahaan HHBK menimbulkan dampak terhadap lingkungan hutan yang jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan pembalakan hutan (pemanenan kayu), sehingga memberikan model pengelolaan hutan yang lebih menunjang upaya pelestarian. Ketiga, peningkatan nilai komersial HHBK akan berdampak pada peningkatan nilai hutan, baik pada masyarakat lokal maupun pada skala nasional, sehingga dengan demikian meningkatkan insentif untuk melestarikan hutan bila dibandingkan dengan mengkonversi hutan untuk tujuan lain.

Berbagai contoh pengusahaan HHBK yang telah dikenal di berbagai wilayah Indonesia antara lain: (a) pengusahaan repong damar oleh masyarakat Krui di Lampung, (b) pengelolaan kebun buah campuran (dukuh) oleh masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, (c) budidaya rotan oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, (d) pengusahaan sagu (taparu) oleh Suku Kamoro di Timika, (e) pengusahaan kerajinan bambu oleh masyarakat Tasikmalaya di Jawa Barat dan (f) pengusahaan getah kemenyan oleh masyarakat Batak di Tapanuli Utara.

Seiring dengan perkembangan otonomi daerah, pengelolaan hutan cenderung beralih dari pengelolaan skala besar yang dilakukan oleh para pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) menjadi sistem pengelolaan hutan yang lebih banyak melibatkan masyarakat lokal atau yang lebih dikenal dengan konsep hutan kemasyarakatan (Hkm). Program HKm pada prinsipnya mempunyai dua tujuan utama, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan serta melestrikan sumberdaya hutan. HHBK mempunyai potensi yang besar untuk dimanfaatkan sebagai titik awal dalam pengembangan HKm. Hal ini disebabkan karena pengusahaan HHBK dapat memberikan manfaat secara langsung maupun tidak langsung bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan serta menyediakan insentif bagi upaya pelestarian sumberdaya hutan.

Strategi Pengembangan HHBK di Kalsel

Potensi HHBK untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sangat besar sehingga pengembangan pengusahaan HHBK di masa mendatang perlu dilakukan dengan lebih sistematis. Strategi yang tepat sangat diperlukan mengingat demikian beragamnya komoditi HHBK yang ada, sedangkan sumberdaya yang tersedia untuk upaya pengembangannya sangat terbatas. Pengembangan HHBK di Provinsi Kalimantan Selatan dilakukan dengan langkah-langkah strategis sebagai berikut.

Pertama, identifikasi (diagnosis) masalah dalam pengembangan HHBK di Kalsel. Menemukenali untuk selanjutnya mencari solusi pemecahan masalah dalam pengembangan HHBK di Kalsel sangat perlu untuk dilakukan. Beberapa permasalahan yang sering dijumpai dalam pengembangan HHBK adalah: (a) informasi pasar yang meliputi: harga, mutu, dll yang masih sangat terbatas, (b) rantai perdagangan HHBK umumnya masih berlangsung sangat panjang sehingga menyebabkan harga jual di tingkat petani HHBK rendah, (c) pengetahuan masyarakat dalam hal produksi, pemasaran dan keuangan yang masih terbatas, (d) jarak produsen ke pasar jauh sehingga menyebabkan biaya transportasi yang tinggi, (e) produksi HHBK pada umumnya masih bersifat musiman sehingga keberlangsungannya kurang dapat terjamin, (f) dukungan pemerintah terhadap pengusahaan HHBK masih rendah.

Kedua, penyusunan rencana induk (master plan) pengembangan HHBK. Salah satu hambatan utama dalam upaya pengembangan HHBK adalah masih terdapatnya ketidaksinergisan berbagai program dan proyek pengembangan HHBK di Kalsel. Untuk mengoptimalkan upaya pengembangan HHBK di Kalsel maka perlu disusun Rencana Induk Pengembangan (RIP) HHBK yang memuat prioritas komoditi serta prioritas kegiatan penelitian dan pengembangan HHBK yang perlu dilakukan di wilayah Kalsel. Penyusunan RIP HHBK di Kalsel penyusunannya dilakukan dengan melibatkan para pihak (stakeholders) secara partisipatif. Dengan adanya RIP diharapkan kelestarian pengusahaan HHBK dapat dirumuskan dalam sebuah sistem pengelolaan yang lestari.

Ketiga, membangun jejaring kerja (network) para pihak (stakeholders) yang terlibat dalam pengembangan HHBK di Kalsel. Koordinasi para pihak yang terlibat dalam pengembangan HHBK perlu dijalin dengan membentuk kelompok-kelompok pemerhati atau forum komunikasi HHBK per komoditi yang akan memfasilitasi pertemuan-pertemuan yang membahas kegiatan pengembangan HHBK.

Keempat, membangun model percontohan pengusahaan HHBK oleh masyarakat di Kalsel. Pembangunan model percontohan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat proses alih teknologi dalam teknik budidaya dan pengusahaan HHBK kepada masyarakat. Pembangunan model percontohan ini dapat dilakukan melalui pengembangan pengusahaan HHBK yang telah dirintis oleh masyarakat secara swadaya, seperti pengusahaan kayu manis oleh masyarakat Dayak di Loksado, pengusahaan lebah madu lokal oleh CV Karya Lebah (Bapak Suyanto) di Riam Kiwa, Pengaron dan pengusahaan lebah madu lokal di Desa Limbur, Kotabaru yang dibina oleh LSM LPMA Borneo Selatan.

Penutup

Pengembangan HHBK merupakan upaya pemberdayaan masyarakat lokal sesuai dengan prinsip “hutan untuk rakyat” (forest for people). Pemberdayaan yang dilakukan haruslah memperhatikan dimensi sosial, ekonomi dan ekologi agar pemanfaatan hutan lestari dapat dicapai baik secara sosial, ekonomi maupun ekologi. Posisi masyarakat dalam pengembangan HHBK harus benar-benar sebagai pelaksana utama, sedangkan pemerintah bertindak sebagai fasilitator atau pendukung dari setiap program pengembangan HHBK, berfungsi melakukan pembinaan kelembagaan, menyediakan insentif modal, memprmudah akses terhadap pasar dan memberikan jaminan hak baik atas pengelolaan, akan lahan dan hasilnya.

Keberhasilan pengembangan HHBK diharapkan dapat sebagai salah satu upaya melakukan pencegahan dan pemulihan kerusakan sumberdaya hutan di Kalsel, sehingga upaya tersebut juga diharapkan dapat mencegah terjadinya bencana banjir dan tanah longsor di musim hujan serta kekeringan dan kebakaran hutan/lahan di musism kemarau. Semoga!***

*)Peneliti Pada Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru

No comments: