Monday, April 16, 2007

DPR Setujui Perpu No 1/2004

Berita Utama
Jumat, 16 Juli 2004

- Tentang Penambangan di Hutan Lindung

Jakarta, Kompas - Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat hari Kamis (15/7) kemarin akhirnya menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, melalui voting, untuk disahkan menjadi undang- undang. Dengan persetujuan ini, DPR secara otomatis juga menerima keberadaan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 tentang pemberian izin kepada 13 perusahaan tambang di kawasan hutan lindung.

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini kembali dinilai oleh sejumlah koalisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli lingkungan, yang hadir dalam rapat paripurna itu, sebagai lambang kekalahan bangsa Indonesia di bawah tekanan kepentingan asing. Sebagaimana dalam kasus-kasus lain sebelumnya, ketentuan seperti itu dikeluarkan hanya karena adanya ancaman gugatan arbitrase dari perusahaan-perusahaan asing tersebut.

Sebaliknya, Menteri Kehutanan M Prakosa berpendapat, diterimanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No 1/2004 oleh DPR telah sesuai dengan harapan pemerintah. Menurut dia, persetujuan ini sekaligus menyelesaikan polemik ketidakpastian hukum dan usaha pertambangan.

Selanjutnya, perpu tersebut akan dijadikan undang-undang (UU) dan implementasinya tidak terpisah dengan Keputusan Presiden (Keppres) No 41/2004

Tentang kemungkinan penambahan izin untuk perusahaan pertambangan lain di hutan lindung di luar 13 perusahaan yang telah ditunjuk, Prakosa menegaskan bahwa pemerintah hanya akan memberikan izin kepada 13 perusahaan pertambangan itu saja, sesuai dengan keppres. Ia tidak mau berkomentar soal kemungkinan gugatan arbitrase yang akan diajukan oleh 100 lebih perusahaan lain di luar 13 perusahaan yang ditunjuk pemerintah.

"Sekali lagi, kita diperlihatkan sikap para pemimpin kita yang memiliki mental penakut, yang selalu tunduk kepada kepentingan asing dengan dalih kepentingan investasi dan kelangsungan ekonomi bangsa. Semua argumentasi hukum, ilmiah, dan dampak kerusakan lingkungan tidak mereka gubris. Mereka pun berani menginjak hukum kita demi kepentingan asing," kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Longgena Ginting.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi. Menurut dia, DPR tidak selayaknya menerima Perpu No 1/2004 yang terbukti cacat hukum dalam pembuatannya. "Mereka sudah tahu itu, tetapi akal sehat mereka sepertinya sudah terbalik, dengan begitu berani mengorbankan lingkungan hanya demi kepentingan 13 perusahaan pertambangan yang sebagian besar dikuasai perusahaan asing," ujar Elfian.

Sejumlah aktivis lingkungan yang hadir di Gedung DPR juga mengaku terkejut karena sebelumnya DPR sudah memberikan sinyal akan menolak perpu tersebut. Selain karena alasan penerbitan perpu dinilai bertentangan dengan Pasal 22 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang tidak memenuhi prasyarat keadaan mendesak, penerbitan perpu juga dianggap melangkahi upaya DPR yang tengah melakukan proses penyelesaian kasus tumpang tindihnya peraturan pertambangan.

Dasar perpu

Kontroversi soal perizinan pertambangan di hutan lindung muncul sejak diterbitkannya UU No 41/1999 tentang Kehutanan. UU ini membuat izin pertambangan di hutan lindung, yang sebelumnya sudah diberikan pemerintah kepada 150 perusahaan, ditinjau kembali. Sebagian besar izin tersebut kemudian dibekukan karena adanya penetapan hutan lindung di kawasan penambangan terkait.

Hal ini memunculkan protes dan ancaman arbitrase dari pihak perusahaan-perusahaan pertambangan yang menganggap undang-undang tersebut telah menciptakan ketidakpastian hukum. Karena itu, pemerintah terpaksa mengeluarkan Perpu No 1/2004.

Perpu ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 11 Maret 2004. Isi perpu tersebut pada prinsipnya menambah ketentuan baru pada UU No 41/1999, yaitu Pasal 83 (a) dan Pasal 83 (b).

Pasal 83 (a) menegaskan, semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU No 41/1999 dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut. Selain menerbitkan perpu, untuk melengkapi pengaturan perusahaan pertambangan, presiden juga mengeluarkan Keppres No 41/2004.

Isi keppres itu intinya, penunjukan dan pemberian izin kepada 13 perusahaan pertambangan untuk tetap melanjutkan operasionalnya dan menambang terbuka di hutan lindung. Izin kepada 13 perusahaan itu sebelumnya diberikan oleh pemerintah (Departemen Pertambangan) pada era Soeharto.

Menurut pemerintah, 13 perusahaan itu merupakan perusahaan yang mendapatkan prioritas dari 150 perusahaan pertambangan yang ada. Prioritas pemberian izin dilakukan agar pemerintah tidak dihadapkan pada tuntutan arbitrase dari perusahaan-perusahaan tersebut, yang nilainya pernah dikemukakan dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, mencapai Rp 188 triliun.

Dari 13 perusahaan yang telah diberikan izin penambangan, sebagian besar memang perusahaan yang sahamnya dikuasai asing dan terdaftar di bursa saham New York, Amerika Serikat.

Pada Rapat Paripurna DPR kemarin, dari 233 anggota DPR yang hadir, sebanyak 131 anggota menyatakan menerima Perpu No 1/2004, sedangkan 102 anggota menolak.

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan melalui juru bicaranya Sutrisno menyatakan, fraksinya secara tegas menerima perpu itu dengan alasan perpu tersebut dibutuhkan untuk mengakhiri ketidakpastian hukum bagi perusahaan pertambangan dan untuk menciptakan iklim investasi.

Pernyataan menerima perpu juga disampaikan Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Sementara enam fraksi lain, yakni Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Reformasi, Fraksi TNI/Polri, Fraksi Partai Bulan Bintang, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia, dan Fraksi Daulatul Ummah, dengan tegas menolak.

Alasan penolakan di antaranya prosedur penerbitan perpu tidak sesuai dengan Pasal 22 UUD 1945. Hal ini karena kegentingan yang memaksa sebagai persyaratan ditetapkan perpu tidak terpenuhi. Selain itu, perpu tersebut tidak perlu diterbitkan karena persoalan tumpang tindih pertambangan dan kawasan hutan lindung bisa diselesaikan melalui Pasal 19 UU No 41/1999.

Keputusan DPR menerima perpu melalui voting dalam rapat paripurna merupakan keputusan puncak dari serangkaian pertemuan antara pihak pemerintah dan DPR dalam pembahasan perpu ini. Sebelumnya, DPR telah gagal mengambil keputusan pada tingkat panitia khusus meski laporan panitia kerja dan sikap sebagian fraksi menyatakan perpu itu tidak diperlukan.

Bahkan, sebelum rapat terakhir pansus, DPR juga telah mengundang sejumlah pakar hukum, pakar lingkungan, aktivis lingkungan, dan perusahaan pertambangan untuk mendapatkan masukan.

"Class action"

Sejumlah aktivis lingkungan menyatakan akan segera menyiapkan gugatan kelompok (class action) terhadap Perpu No 1/2004 yang akan segera dijadikan undang-undang. "Kami akan tetap berjuang sampai kapan pun. Bagi kami, perpu tersebut bukanlah suatu penyelesaian, tapi awal perusakan hutan-hutan melalui penebangan terbuka," kata Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Siti Maimunah.

Longgena Ginting mengatakan, pihaknya akan mengadukan masalah ini ke Mahkamah Konstitusi untuk uji materi. "Kami akan meminta Mahkamah Konstitusi untuk memberikan pertimbangan hukum secara murni, tanpa adanya intervensi kepentingan politik," kata Longgena Ginting.

Menanggapi hal itu, Prakosa menyatakan pemerintah siap menghadapi gugatan apa pun selama hal tersebut masih dalam koridor hukum. "Silakan saja ajukan gugatan, kami siap menghadapinya. Yang penting, perpu ini telah disetujui DPR dan dalam waktu dekat akan dijadikan undang-undang," kata Prakosa.

Anggota Panitia Khusus Lingkungan Hidup Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur Ridwan Suwidi, yang dihubungi di Samarinda, menyatakan, kalangan DPRD Kalimantan Timur tetap akan menolak penambangan di hutan lindung meskipun perpu tersebut sudah diterima oleh DPR.

"Kenapa harus ditetapkan jadi hutan lindung kalau kemudian ditambang. Bagaimana pola pikirnya itu. Apa pun alasannya, kami tetap menolak penambangan di hutan lindung. Biarkan hutan lindung tetap menjadi kawasan lindung," katanya menekankan.

Menurut dia, pemerintah pusat dan DPR terlalu berpikir pragmatis, sektoral, dan tidak mempertimbangkan aspirasi dari daerah. Padahal, masyarakat di daerahlah yang akan menerima beban kerusakan lingkungan yang timbul akibat eksploitasi tambang itu.

Ridwan menambahkan, secara subtantif, sebenarnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut hanya merefleksikan kepentingan para pemilik modal atas nama investasi. (otw/ray)

No comments: