Saturday, November 25, 2006

5 Truk Kayu Diamankan

Jumat, 03 Nopember 2006 02:19
Banjarmasin, BPost
Jajaran Direktorat Intelkam Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan memeriksa lima truk fuso yang memuat kayu olahan, Kamis (2/11) siang. Kayu-kayu yang rencananya akan dibawa ke Jawa melalui jalur laut itu diamankan petugas di sekitar Pelabuhan Trisakti.

Direktur Intelkam Komisaris Besar Arkian Lubis SH melalui Wadir Intelkam Ajun Komisaris Besar Tatang membenarkan pihaknya mengamankan lima truk kayu tersebut.

"Kayu-kayu tersebut kita amankan saat berada di sekitar Pelabuhan Trisakti. Kita masih melakukan pemeriksaan terhadap kayu-kayu tersebut," ungkap mantan Kapolres Batola ini.

Namun yang cukup mencurigakan, beberapa sopir truk tersebut menghilang saat pihaknya akan meminta keterangan terhadap asal, muatan dan dokumen kayu. dwi
Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Thursday, November 23, 2006

Barbuk Kayu Ilegal Belum Dilelang

Senin, 30 Oktober 2006 01:09:05
Amuntai, BPost
Sebanyak 64 kubik lebih kayu illegal beserta 16 buah angkutannya, sebagai barang bukti atas perkara ilegal loging yang sudah divonis PN, hingga kini masih menumpuk di halaman kantor kejaksaan dan pengadilan negeri Amuntai.

Kepala Kejaksaan Negeri Amuntai Yudi Sutoto kemarin mengatakan, pihaknya masih menunggu taksiran harga dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM setempat.

"Karena belum ada ketetapan harga taksiran dari dinas tersebut, kami belum bisa melaksanakan lelang, meskipun pihak dinas kehutanan sudah memberikan taksiran harga kayunya," ujar Yudi.

Ada 2 jenis kayu barang bukti, yang oleh PN Amuntai dinyatakan dibawa dan dimiliki secara ilegal, yaitu kayu ulin dan meranti campuran, terdiri bengkirai, keruing dan belangiran. Mengenai harga perkubik kayu taksiran dari dinas kehutanan, kejari tak bersedia membeberkan. "Nanti saja, setelah pengumuman lelang," katanya.

Lamanya waktu pelaksanaan lelang, dikhawatirkan akan mempengaruhi kualitas kayu dan mobil angkutannya. Apalagi kayu beserta angkutannya di tempatkan di halaman terbuka, kantor PN dan kejaksaan. han

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Pohon Ulin Ada Di Hutan Virgin

Sabtu, 28 Oktober 2006 01:44:19
Kandangan, BPost
Keberadaan pohon ulin di Hutan Loksado kian langka. Dari hasil pelacakan Dihutbun HSS tahun anggaran 2006, masih ada sekitar 100 H areal hutan lindung di Loksado teridentifikasi terdapat pohon ulin berdiameter 1 meter ke atas.

"Keberadaan pohon ulin ini mayoritas berada di wilayah hutan virgin yang belum sama sekali dirambah," kata Udi Prasetyo, Plt Kadishutbun HSS, kemarin.

Dijelaskan Udi, pohon ulin itu berada di wilayah perkuburan nenek moyang warga Dayak. Sehingga keberadaannya tidak boleh diganggu, baik oleh masyarakat setempat maupun masyarakat lainnya..

"Pendataan pohon ulin itu belum selesai dilaksanakan. 100 H itu baru yang kita data saja, yang lain belum," aku Udi.

Langkah preventif menghadapi kepunahan ulin di HSS, Dishutbun akan melaksanakan kegiatan adopsi pohon yang ada.

"Kita akan melibatkan masyarakat dalam program adopsi pohon ulin nanti," ujarnya. ary

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Sulitnya Memberantas Illegal Loging

Kamis, 19 Oktober 2006 01:10
Tidak adanya kesempatan dan akses terhadap mata pencaharian lain yang lebih menguntungkan selain menebang kayu, juga dapat memicu masyarakat lokal melakukan penebangan kayu secara illegal.

Oleh: Alip Winarto SHut MSi
Alumnus S2 Politik Lokal dan otonomi Daerah UGM

Salah satu masalah besar yang dihadapi sektor kehutanan Indonesia adalah percepatan laju deforestasi. Penebangan liar yang kemudian lebih populer dengan istilah illegal logging merupakan salah satu pemicu deforestasi yang melanda sebagian besar kawasan hutan di Indonesia. Menurut MS Kaban (2005), kerugian yang diderita negara akibat illegal logging mencapai sekitar Rp30 triliun per tahun atau setara Rp83 miliar per hari. Perkiraan ini berdasarkan perhitungan Departemen Kehutanan sejak 1999, yaitu sekitar 29,5 juta meter kubik kayu yang beredar berasal dari hasil aktivitas illegal logging.

Tidak hanya itu, illegal logging juga sering dituding sebagai biang keladi bencana banjir dan tanah longsor yang sempat melanda beberapa wilayah di negeri ini.

Aktivitas illegal logging terjadi hampir di seluruh tipe kawasan hutan, baik pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, taman nasional dan kawasan konservasi lainnya. Juga di beberapa kawasan yang memiliki potensi hutan dan mengandalkannya sebagai salah satu modal dasar dalam kegiatan pembangunan. Illegal logging menjadi masalah yang sangat kompleks, karena banyaknya aktor yang terlibat di dalamnya dengan kepentingan masing-masing dan dengan jaringan pasar lokal, nasional maupun global. Oleh karena itu berbagai upaya dilakukan pemerintah pusat maupun pusat daerah untuk menghabisi aktivitas illegal logging baik yang bersifat preventif, persuasif maupun represif.

Upaya preventif dilakukan dengan pembuatan portal di kawasan hutan produksi (yang dikuasai HPH maupun eks HPH), kawasan konservasi seperti cagar alam, suaka margasatwa, taman hutan raya dan sebagainya. Peningkatan kinerja HPH dalam pengamanan hutan juga dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan pihak kehutanan dan kepolisian sesuai SK Menteri Kehutanan No. 523/Kpts-II/93, serta pemberdayaan penebang liar dengan merekrut mereka menjadi penebang resmi di HPH.

Sementara itu, upaya represif dilakukan melalui kegiatan operasi pengamanan hutan secara fungsional kehutanan maupun gabungan. Bentuk kegiatan represif berupa razia, penyitaan barang bukti hasil dan alat kejahatan illegal logging, penangkapan pelaku dan sebagainya.

Banyak sudah upaya yang dilakukan pemerintah untuk meniadakan atau setidaknya mengurangi aktivitas tersebut. Terakhir, dikeluarkannya Inpres Nomor 4 Tahun 2005 sebagai payung hukum dalam pemberantasan penebangan liar sampai ke akarnya.

Sayangnya, berbagai upaya itu belum cukup untuk menghentikan aktivitas penebangan liar. Dana yang dialirkan dalam upaya pemberantasan penebangan liar pun tidak sedikit, baik dari pemerintah maupun pihak lain. Tidak hanya pemerintah, lembaga nonpemerintah di tingkat lokal, nasional maupun internasional juga tidak bosan mengampanyekan anti illegal logging.

Illegal logging harus dilihat dari perspektif yang komprehensif dengan segala aspeknya. Antara lain aspek legal, supply demand kayu, sosial ekonomi, dan aspek penegakan hukum. Dari aspek legal, banyak kalangan menilai meskipun ketentuan tentang kehutanan yang baru (UU No 41 Tahun 1999) jauh lebih baik dari UU sebelumnya, tetapi keberpihakan terhadap hak masyarakat terhadap hutan masih berupa retorika. Pengelolaan hutan baik pada kawasan produksi maupun konservasi masih belum melihat masyarakat lokal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hutan itu sendiri.

Menurut CIFOR (2004), sebanyak 48,8 juta penduduk Indonesia tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari jumlah itu, sekitar 10,2 juta di antaranya tergolong miskin sehingga perlu segera dilakukan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Dari aspek sosial ekonomi, tingkat sosial ekonomi masyarakat sekitar yang rendah akan memicu melakukan penebangan kayu secara illegal. Kegiatan ini dilakukan baik sekadar untuk membangun tempat tinggal dan mengambil lahan untuk berladang, maupun memang mempunyai tujuan komersial dengan memperjualbelikan kayu yang diperoleh.

Tidak adanya kesempatan dan akses terhadap mata pencaharian lain yang lebih menguntungkan selain menebang kayu, juga dapat memicu masyarakat lokal melakukan penebangan kayu secara illegal. Sebagian masyarakat merasa tidak terbantu atas keberadaan hutan produksi yang dikelola HPH maupun hutan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Ditambah lagi dengan kesalahan pemaknaan konsep hutan milik negara yang diterjemahkan sebagai milik masyarakat, dalam arti masyarakat bebas memperlakukannya sekehendak hati, juga mendorong aktivitas penebangan kayu secara membabi buta. Apalagi HPH sendiri kadang-kadang juga terlibat dalam illegal logging di arealnya maupun di luar konsesinya, karena berbagai tuntutan baik yang dilakukan langsung atau sekedar memfasilitasi pihak lain.

Kesenjangan antara supply dan demand kayu juga mempunyai pengaruh terhadap intensitas illegal logging. Kesenjangan ini terjadi sebagai akibat konsumsi kayu untuk kebutuhan industri maupun pemenuhan kebutuhan masyarakat cukup tinggi.

Pertumbuhan industri pengolahan kayu di luar negeri seperti Malaysia, Taiwan, Korea, dan RRC yang juga membutuhkan bahan baku kayu bulat dan kayu gergajian dari Indonesia menambah kesenjangan yang memacu kegiatan penebangan liar. Begitu juga dengan konsumsi kayu untuk rumah tinggal yang cukup tinggi, berpengaruh terhadap semakin meningkatnya permintaan kayu untuk konsumsi masyarakat lokal. Betapa tidak, sampai saat ini kayu masih tetap diperlukan sebagai salah satu unsur pokok dalam membangun rumah tinggal. Kondisi seperti ini juga berdampak pada semakin tingginya kesenjangan supply dan demand kayu, sehingga kebutuhan kayu selain dipenuhi dari kayu legal juga harus dipenuhi dari hasil aktivitas illegal logging.

Lemahnya penegakkan supremasi hukum juga berpengaruh terhadap semakin meningkatnya aktivitas illegal logging. Upaya penegakan hukum biasanya terhambat dengan berbagai alasan seperti BAP tidak lengkap, tidak cukup bukti, tidak ada saksi yang menguatkan dan sebagainya sehingga proses hukum tidak dapat dilanjutkan. Meskipun semua pihak mengetahui, fakta di lapangan memang terjadi illegal logging baik yang dilakukan perorangan, perusahan skala kecil maupun skala besar.

Upaya penegakan hukum juga belum sepenuhnya menyentuh seluruh pihak yang terlibat dalam illegal logging. Biasanya hanya pelaku di lapangan seperti penebang kayu atau sopir truk, yang sering tertangkap dan diproses hukum. Sementara sang cukong sebagai pemilik modal masih banyak yang belum tersentuh hukum. Bahkan karena kepiawaiannya, cukong dapat melepaskan pelaku di lapangan untuk tidak diproses hukum. Lemahnya proses penegakan hukum disinyalir karena ada oknum aparat penegak hukum yang bermain, baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya terlibat suap, ikut menggerakkan dan memberi modal kepada masyarakat, menjadi beking dan pengawalan aparat serta menggeser isu kejahatan pidana kehutanan menjadi isu sosial dan politik untuk pembenaran. Juga penyalahgunaan wewenang yang di antaranya meliputi kolusi dalam penerbitan izin penebangan dan pengangkutan, pelanggaran izin, manipulasi penggunaan peralatan, penyalahgunaan dokumen, penyelundupan dan sebagainya.

Beberapa kasus illegal logging yang sudah diproses secara hukum, tetapi sanksi yang dikenakan tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkannya. Sanksi seperti ini tidak memberikan efek jera bagi pihak yang terlibat dalam illegal logging. Diskriminasi dalam penegakan hukum juga memicu kecemburuan masyarakat lokal, sehingga mereka semakin berani melakukan aktivitas illegal logging. Syukurlah dalam beberapa waktu terakhir, cukong illegal logging mulai diburu meskipun sampai saat ini masih banyak yang belum tertangkap dan diadili.

Pada hakikatnya illegal logging tidak sekadar tindakan kriminal biasa, tetapi merupakan kejahatan lingkungan yang luar biasa merugikan. Bila berlangsung secara terus menerus, bukan hanya negara yang dirugikan dari segi penerimaan pendapatan negara tetapi juga berupa kerusakan lingkungan yang tidak ternilai dengan rupiah. Dampak illegal logging akan dirasakan masyarakat luas, karena kerusakan kawasan hutan yang berdampak pada menurunnya fungsi ekonomi dan konservasi. Lantas bagaimana solusinya ?

Pertama, model pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang selama ini masih menjadi wacana harus selekasnya direalisasi, sehingga masyarakat merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan di sekitarnya.Kedua, bahan baku kayu dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam pengembangan produk dan peningkatan rendemen kayu olahan di industri. Ketiga, pola kemitraan dalam upaya penanggulangan illegal logging perlu ditingkatkan sehingga masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tidak menjadi semakin terasing dan tertekan dari lingkungannya sendiri. Keempat, dalam penegakan hukum diperlukan peningkatan kualitas mental aparat dan penegak hukum dengan menegakkan perilaku disiplin disertai sistem kontrol yang ketat baik oleh pemerintah, masyarakat maupun swasta sehingga tidak ada diskriminasi hukum. Dalam hal ini, perlu diberikan sanksi bagi pelaku illegal logging. Sebaliknya perlu juga diberikan penghargaan kepada pihak yang berupaya mendorong dan membersihkan pengelolaan hutan dari aktivitas illegal logging.

e-mail : alip_winarto@yahoo.com

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Penebang Liar Akan Ditayangkan

Kamis, 19 Oktober 2006 02:04:47
Jakarta, BPost
Menteri Kehutanan MS Kaban ingin melakukan hal yang sama dengan Kejaksaan Agung. Bila kejaksaan mulai menayangkan wajah koruptor, Menhut ingin mempublikasikan pelaku illegal logging. Mereka tentunya yang sudah divonis dan berstatus buron.

"Jika masih dugaan dan menjalani proses hukum, saya tidak mau karena jika tidak terbukti bersalah, kita bisa dituntut balik," kata Kaban di Jakarta, Rabu (18/10).

Kaban menyatakan gembira DPR mau menyiapkan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Hutan secara ilegal. Ini disampaikan Ketua DPR Agung Laksono dalam Rapat Paripurna DPR RI Penutupan Masa Sidang I Tahun 2006-2007.

"Dalam UU itu mestinya berikan kekuatan pada kami untuk sama-sama membongkar pelaku illegal logging sehingga bisa diberantas sampai ke akar-akarnya," ucap Kaban.

Menyinggung tentang asap yang menjadi sorotan sampai ke luar negeri, upaya mengurangi itu terus dilakukan pemerintah dari membentuk tim kebakaran hutan, menyewa pesawat untuk membom dengan air, sampai mengeluarkan dana sekitar Rp100 miliar.

"Jadi, pemerintah benar-benar serius untuk menghentikan munculnya asap. Jika ada orang berpandangan tidak serius, definisi tidak serius itu di mana?" ujarnya.

Dilihat dari perkembangan penanggulangan asap, Kaban mengakui di Kalteng kini sudah berkurang asapnya karena ada hujan buatan ditambah terus menerus dipadamkan apinya oleh petugas dan masyarakat setempat. mur

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Sunday, November 19, 2006

Aturan Baru Bisa Musnahkan Hutan RI

Kamis, 16 November 2006
Pontianak, Kompas - Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 55 Tahun 2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara dinilai akan berdampak pada musnahnya hutan yang tersisa di Indonesia. Keberpihakan peraturan itu terhadap pelestarian hutan dipertanyakan.

Peraturan menteri kehutanan (permenhut) itu memangkas jumlah dokumen kayu. Sebelumnya, kayu yang akan diolah harus mempunyai dua surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). Menurut aturan itu, hanya diperlukan satu surat keterangan sahnya kayu bulat (SKSKB).

SKSHH diberlakukan saat kayu ditebang dari hutan, kemudian masuk ke pabrik dan setelah kayu dikeluarkan dari pabrik. SKSKB hanya diberlakukan bagi kayu yang ditebang dari hutan. Kayu yang keluar dari pabrik cukup dilengkapi faktur. Faktur itu merupakan dokumen perusahaan, bukan dokumen negara.

"Pemberlakuan permenhut ini menghapus instrumen pemerintah yang mengendalikan peredaran hasil hutan. Bila instrumen ini dipangkas, pencurian kayu akan semakin besar," kata Agus Setyarso, fasilitator Program untuk Nota Kesepahaman Indonesia-Inggris dalam Pemberantasan Penebangan Liar.

Diskusi tentang peraturan baru itu difasilitasi Forest Law Enforcement, Governance & Trade (FLEGT) Kalbar dan digelar di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), Rabu (15/11). Acara itu dihadiri pejabat instansi dan pemerhati kehutanan.

"Ini merupakan diskusi kritis pertama di Indonesia. Kami akan agendakan diskusi serupa di Jakarta," kata Agus.

Menurut dia, permenhut disahkan berdasarkan dua alasan, yakni menjamin kepastian hukum dan memberi kesempatan pelaku usaha untuk mengadministrasikan kegiatan serta hasil hutan dengan lebih baik. "Saya mempertanyakan permenhut ini. Untuk menjamin kepastian hukum yang mana? Sebab, kondisi kehutanan di Indonesia belum terlalu baik dan masih membutuhkan pengawasan," kata Agus.

Kepala Bidang Perlindungan Hutan, Dinas Kehutanan Kalbar, Sunarno, menyayangkan disahkannya permenhut itu tanpa terlebih dahulu menggelar konsultasi publik. (RYO)

Korupsi Gubernur Kaltim Diadili, Didakwa Rugikan Negara

Jumat, 10 November 2006
Jakarta, Kompas - Gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah mulai diadili di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (9/11).

Suwarna didakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 346,823 miliar karena telah menguntungkan Martias alias Pung Kian Hwa atau perusahaan- perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Group yang dikendalikan oleh Martias.

Surat dakwaan ini dibacakan secara bergantian oleh tim jaksa penuntut umum yang terdiri atas Wisnu Baroto, Firdaus, KMS A Roni, dan Rudi Margono dalam sidang yang dipimpin ketua majelis Gusrizal. Sidang pertama ini dipadati oleh para pemuda dari Majelis Dzikir As-Samawaat.

Seusai pembacaan dakwaan, tim pembela Mayor Jenderal (Purn) TNI Suwarna Abdul Fatah membacakan eksepsi. Di dalam eksepsi, tim pembela Suwarna menyatakan penahanan yang dilakukan terhadap Suwarna telah membawa efek yang sangat besar bagi Suwarna, keluarga, terutama masyarakat Kalimantan Timur.

Di dalam surat dakwaan, jaksa menyatakan, Suwarna Abdul Fatah bersama-sama dengan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi Departemen Kehutanan dan Perkebunan Waskito Suryodibroto, Kepala Kanwil Departemen Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur Uuh Aliyudin, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur Robian, dan Presiden Direktur Surya Dumai Group Martias telah melakukan beberapa perbuatan yang melawan hukum.

Suwarna dan beberapa tersangka lainnya telah memberikan rekomendasi areal perkebunan sawit, memberikan persetujuan sementara hak pengusahaan hutan tanaman perkebunan (HPH TP sementara), dan izin pemanfaatan kayu.

Dia juga disebutkan memberikan dispensasi kewajiban penyerahan jaminan bank (bank garansi) kepada perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Group yang dikendalikan Martias. Langkahnya itu tanpa mengindahkan atau bertentangan dengan ketentuan teknis di bidang kehutanan dan perkebunan.

Rugikan negara

Suwarna dinilai telah memperkaya orang lain, yaitu Martias, yang perusahaan-perusahaannya tergabung dalam Surya Dumai Group dikendalikan oleh Martias yang mendapatkan izin pemanfaatan kayu dengan alasan untuk membangun perkebunan kelapa sawit.

Namun, kenyataannya, perkebunan kelapa sawit itu tidak dilaksanakan. Tujuan sebenarnya semata-mata hanya untuk memanfaatkan atau mengambil kayu pada areal hutan yang telah direkomendasikan untuk perkebunan tersebut.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan itu berhasil memperoleh kayu sebanyak 697,260 juta meter kubik yang mengakibatkan negara mengalami kerugian sebesar Rp 346,823 miliar. (VIN)

Otonomi Daerah

Kamis, 09 November 2006
Jakarta, Kompas - Untuk mengejar kenaikan pendapatan asli daerah, banyak bupati yang merusak lingkungan, antara lain dengan memberi izin pertambangan di kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai dari Departemen Kehutanan.

Di Kalimantan Selatan, misalnya, dari 266 izin pertambangan di kawasan hutan yang dikeluarkan para bupati, hampir seluruhnya tanpa izin pinjam pakai (IPP). Akibatnya, Dephut mengalami kesulitan dalam mengontrol kerusakan hutan akibat kegiatan tambang.

Demikian disampaikan Menteri Kehutanan MS Kaban dalam rapat kerja dengan Panitia Ad Hoc (PAH) I Dewan Perwakilan Daerah di Jakarta, Selasa (7/11). Raker dipimpin oleh Ketua PAH I Sudharto, anggota DPD Jawa Tengah.

Kaban menjelaskan, dengan sejumlah alasan teknis lingkungan, ada sejumlah kawasan hutan yang rentan terhadap kegiatan pertambangan. "Tetapi, tampaknya masalah ini mulai diabaikan para bupati yang lebih cenderung mengejar kenaikan PAD di daerahnya," ungkapnya.

Kaban mengingatkan, departemen yang dipimpinnya bisa menghentikan kegiatan pertambangan di kawasan hutan yang belum mengantongi IPP.

Dirjen Badan Planologi Dephut Yetti Rusli menjelaskan, penerbitan izin tambang mulai marak sejak muncul Peraturan Pemerintah No 75/2001 yang menyerahkan izin pertambangan kepada para bupati, sebelumnya menjadi kewenangan Menhut.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf yang dihubungi terpisah, Rabu, mengatakan, meluasnya kerusakan lingkungan sejak era otonomi daerah lebih banyak disebabkan lemahnya kontrol Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

"Kita tak bisa mundur dengan mencabut peraturan-peraturan yang mendesentralisasi kekuasaan pusat kepada daerah. Yang harus kita lakukan sekarang adalah memperkuat mekanisme kontrol. Kuncinya ada di KLH. Sayangnya, saat ini KLH terkesan paling lemah dibandingkan era KLH sebelumnya," katanya.

Ia menjelaskan, ketika masih menjabat sebagai menteri lingkungan, ia sudah menduga, memasuki era otonomi daerah, akan ada kecenderungan para bupati melakukan eksploitasi berlebihan terhadap lingkungan. (win)

Monday, November 13, 2006

Petani Rotan Keluhkan Turunnya Harga

Sabtu, 28 Oktober 2006
Palangkaraya, Kompas - Petani rotan di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, mengeluhkan turunnya harga rotan yang sudah berlangsung empat bulan terakhir ini. Harga rotan jenis taman turun dari Rp 120.000 menjadi Rp 100.000 per kuintal, sementara rotan irit turun Rp 20.000, menjadi Rp 80.000 per kuintal.

"Ini memberatkan petani untuk membiayai kebutuhan hidup," kata Irwanto, petani rotan di Desa Tumbang Liting, Kecamatan Katingan Hilir, Jumat (27/10).

Irwanto menuturkan, lebih dari 200 warga di desanya mengusahakan rotan budidaya. "Meski harga rotan tidak menentu, tetapi penduduk tetap mempertahankan usaha rotan karena sejak dulu sudah terbiasa," katanya.

Selain rotan, penduduk juga memperoleh penghasilan dari menyadap karet dan menangkap ikan. Harga rotan yang didambakan petani sekitar Rp 250.000 per kuintal. Namun, harga rotan selama ini fluktuatif.

Direktur Eksekutif Perhimpunan Teropong Azharuddin menuturkan, harga yang fluktuatif membuat ketidakpastian biaya produksi dan hasil. Teropong adalah lembaga yang memiliki program pemberdayaan petani rotan di Katingan

Di samping mengusahakan rotan pada lahan milik sendiri yang rata-rata luasnya 0,8 per hektar, banyak warga Tumbang Liting bekerja sebagai pemanen rotan milik orang lain dengan upah separuh dari hasil panen.

Dinas Kehutanan Katingan mencatat, potensi produksi rotan di Katingan mencapai 252.800 ton per tahun. Potensi itu tersebar di Kecematan Sanaman Mantikei, Katingan Tengah, Pulau Malan, Katingan Hilir, Tasik Piyawan, dan Katingan Kuala.(CAS)

Friday, November 10, 2006

Perusahaan Pengelola Hutan Alam Dievaluasi

Jumat, 13 Oktober 2006
Sangatta, Kompas - Bupati Kutai Timur Awang Faroek Ishak meminta agar kinerja perusahaan pengelola hasil hutan alam dievaluasi. Ia mengimbau agar perusahaan yang sulit berkembang mengalihkan investasinya ke perkebunan kelapa sawit atau hutan tanaman industri. "Evaluasi akan menginformasikan mana perusahaan yang perlu bertahan dan mana yang lebih baik berinvestasi di bidang lain," kata Awang di Sangatta, Kamis (12/10).

Staf Ahli Bupati Kutai Timur Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Daddy Ruchiyat menambahkan, evaluasi dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan atau didampingi lembaga lain.

Menurut Awang, kerusakan hutan masih terus terjadi, sementara sejumlah perusahaan justru menjadi sekarat. Hal itu merupakan pertanda masih banyak perusahaan belum benar mengelola hutan alam sehingga perlu dievaluasi.

Uuh Aliyuddin, Ketua Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Kalimantan Timur, mengakui, pengelolaan hutan alam oleh sejumlah perusahaan masih belum lestari. Namun, ia menilai prospek pengelolaan hutan alam dari produksi kayunya masih cukup baik.

Dalam kaitan itu, dia mengimbau agar saat perusahaan kehutanan dievaluasi, mereka didampingi kelompok kerja sertifikasi (KKS). KKS dibentuk atas prakarsa perusahaan kehutanan besar di Kaltim pada 2001. Tujuan pendampingan adalah agar perusahaan dapat membenahi administrasi dan mengelola hutan secara lebih baik.

Awang menambahkan, perusahaan pengelola hasil hutan alam yang ada di Kutai Timur memperoleh prioritas jika ingin berinvestasi di bidang baru. Menurut rencana, Kutai Timur akan mengembangkan kebun kelapa sawit hingga 350.000 hektar. Saat ini luas lahan yang sedang dikerjakan oleh 16 perusahaan baru 130.000 hektar.

Sulit dikembangkan

Di Bintan, Kepulauan Riau, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bintan Elizar Juned kemarin mengatakan, potensi perkebunan kelapa sawit di daerah itu sulit dikembangkan. Ribuan hektar lahan perkebunan sawit yang ada bahkan kurang prospektif karena lahan kurang subur dan mengganggu penyerapan air tanah.

Karena itu, kata Elizar, pihaknya sudah meminta perusahaan perkebunan kelapa sawit menanam tanaman kehutanan, seperti pohon meranti, di sela-sela pohon kelapa sawit. (BRO/FER)

KEHUTANAN

Kamis, 12 Oktober 2006
Sangatta, Kompas - Departemen Kehutanan diminta segera menetapkan hutan seluas 38.000 hektar di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur, tersebut sebagai hutan lindung.

Dalam dua tahun terakhir, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Timur bersama masyarakat setempat terus menjaga hutan itu dan memperjuangkan statusnya sebagai kawasan yang dilindungi.

Hutan itu merupakan bekas kawasan hutan produksi PT Gruti III. Keanekaragaman hayati di dalamnya cukup kaya dan kawasan itu merupakan penyangga tiga daerah aliran sungai penting di Kecamatan Muara Wahau, yaitu Seleq, Melinyiu, dan Sekung.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kutai Timur (Kutim) Riza Indra Riadi mengatakan, sejak tahun 2004 pemkab dan beberapa pihak mendorong perubahan status kawasan itu menjadi hutan lindung.

"Namun, Departemen Kehutanan tidak kunjung menetapkannya," ujar Riza, Rabu (11/10) di Sangatta.

Untuk menjaga kelestarian hutan itu, Pemkab Kutim telah menginvestasikan dana Rp 2,4 miliar dalam dua tahun terakhir. Dana itu terutama untuk membentuk dan membiayai sebuah badan pengelola hutan yang dinamakan Hutan Lindung Wehea (HLW).

Untuk menjaga hutan, masyarakat Dayak Wehea membantu dengan membentuk tim patroli hutan. Tim patroli digaji dari dana investasi itu.

Tahun ini, tim patroli tersebut telah beberapa kali menangkap para penebang kayu dan pemburu ilegal. Sebagai hukuman, para pelaku dikenai denda adat. "Hasil kerja tim patroli sudah tampak," kata Riza. (BRO)

Warga Tiga Desa Temui Wakil Rakyat

Radar Banjarmasin - Jumat, 3 November 2006
Desak PT Elbana Beroperasi Kembali

TANJUNG – Jika sehari sebelumnya puluhan perwakilan karyawan PT Elbana Abadi Jaya menyerbu gedung Graha Sakata DPRD Tabalong, untuk menyampaikan aspirasi agar perusahaannya dapat beroperasi sedia kala. Kemarin siang sekira pukul 11.30 Wita, giliran warga tiga desa di Kecamatan Jaro yang membawa aspirasi senada.

Berhubung Ketua DPRD Tabalong H Muchlis SH sedang berada diluar daerah “nunut” kunjungan eksekutif ke Jambi, perwakilan warga dari Desa Lano, Solan dan Garagata itu pun diterima oleh Wakil Ketua DPRD Tabalong Drs H Muhidin Said dan H Tarmiji Bey, disertai Murjani SHI, Sudarmadi SH, Nisful Taslim Noor SSos, Martun BE dan Jurni.

Sebagaimana tuntutan yang disampaikan oleh karyawan PT Elbana ketika bertemu anggota dewan, yakni meminta PT Elbana yang telah ditutup Polres Tabalong karena ditengarai melanggar hukum pidana, supaya dibuka dan dapat beroperasi kembali.

Perwakilan warga yang berasal dari aparat pemerintahan desa menyatakan keinginan yang sama. Karenanya, masyarakat maupun karyawan merasa dirugikan selama penutupan masih berlangsung. “Sejak dahulu kami sudah bekerja dan tergantung dari usaha mencari kayu, tapi penutupan PT Elbana mengakibatkan kami tidak mempunyai pekerjaan lain lagi,” kata Kades Solan, Antung Sarkani.

Seterusnya, mata pencaharian lain seperti usaha bansaw, warung teh, rumah sewa dan pasar yang sepi adalah imbas dari tidak beroperasinya perusahaan kayu ini. Otomatis, perekonomian dan kesejahteraan warga turut terganggu karena 75 % warga mencari nafkah dari usaha perkayuan.

Untuk itu, perwakilan warga tiga desa serempak mendukung agar PT Elbana dapat kembali dioperasikan. Mengenai dugaan melanggar hukum, diminta secepatnya diproses.

Muhidin Said menanggapi, pihaknya bersama Bupati Tabalong sudah membicarakan dampak dari penutupan kepada Kapolda Kalsel Halba Rubis Nugroho ketika berkunjung ke Tabalong, saat safari Ramadan 1427 Hijriyah.

“Kami dapat mengerti keinginan warga, apalagi keberadaan PT Elbana selama ini mampu meningkatkan perekonomian dan membantu kesejahteraan masyarakat. Lebih menyikapi aspirasi yang masuk, dewan merencanakan akan membentuk Pansus, sekaligus melakukan hearing dengan pihak terkait termasuk Polres Tabalong.,” kata anggota FPGolkar. (day)