Friday, March 30, 2007

Dishut Siap Perangi Asap

Selasa, 27 Februari 2007 01:39

Banjarbaru, BPost
Musim kemarau tahun ini, meski belum datang, tampaknya akan membuat Dinas Kehutanan (Dishut) bekerja ekstra keras. Serangan bencana asap yang bermula dari kebakaran lahan dan hutan di Kalsel ditarget turun hingga 50 persen.

Target tersebut dipasang Departemen Kehutanan dan tim pencegahan asap nasional. Ini seiring dengan telah diangkatnya Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, Sony Partono sebagai Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

"2007 ini, asap di Kalsel ditarget harus turun 50 persen. Artinya, kebakaran lahan dan hutan harus benar-benar dikendalikan seminimal mungkin," jelas Sony.

Sony membeberkan, dari total akumulasi titik api selama beberapa tahun, diketahui bahwa kebakaran lahan kebanyakan berada di luar kawasan hutan. Melihat kenyataan tersebut, pihaknya hanya bisa berharap dan berupaya melakukan penyadaran lingkungan dengan kerjasama semua pihak.

Seperti diketahui, Kalsel masih belum lepas dari serangan bencana. Kalau musim penghujan banjir melanda di sejumlah daerah, pada musim kemarau bencana asap masih menghadang.

Selama 2006, jumlah titik api di daerah ini telah melesat bahkan melebihi temuan 2005. Setahun silam, terdapat 1.453 titik. Grafik data kumpulan titik api di Kalsel terus meningkat jauh dari kumpulan titik api sebelumnya yang kurang dari 700 titik.

Sony menjelaskan, dari rekap data hot spot di Dishut, diketahui titik api tertinggi lima tahun terakhir ditemui 2004 mencapai 2.000 titik. Sebelumnya, sejak 2002 titik api berkisar 1.000 titik dan paling rendah jumlahnya pada 2005. niz

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Tuesday, March 27, 2007

Pembalakan Liar Susah Diadili

Senin, 19 Februari 2007 01:21

PRAKTIK pembalakan liar meningkat dan tidak pernah surut. Kendati Operasi Hutan Lestari telah digelar di mana-mana. Tetapi pembalakan liar (illegal logging) yang terjadi di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan berbagai tempat lainnya masih menunjukkan aktifitas yang tinggi. Dapat dikatakan, illegal logging merupakan kejahatan yang tidak tersentuh hukum.

Data secara nasional saat ini menunjukkan, aksi illegal logging mampu menebang pohon sebanyak 30,43 juta meter kubik per tahun.

Pulau Kalimantan misalnya, daerah yang semula memiliki luas hutan terluas di Indonesia dan merupakan kawasan hutan hujan primer yang memiliki lapisan penutup tanah yang tidak begitu padat sehingga tidak mudah terbakar, telah berubah menjadi gundul dan ditumbuhi semak belukar. Ini akibat dari aktivitas pembalakan, baik yang dilakukan secara sah maupun ilegal.

Pada umumnya para pelaku hanya dikenai hukuman penjara dengan hitungan bulan disertai denda yang tidak sebanding dengan perusakan yang mereka lakukan. Hal ini disebabkan yang ditangkap hanyalah para pekerjanya yang notabene hanya mencari penghidupan.

Akan tetapi cukong sebagai aktor utama dalam kegiatan illegal logging bebas berkeliaran hingga ke luar negeri. Kendati Departemen Kehutanan sepanjang tahun 2004 hingga 2006 telah menggelar Operasi Hutan Lestari satu, dua dan tiga.

Operasi Hutan Lestari tahap pertama yang dilakukan pada bulan November - Desember 2004, berhasil mengamankan barang bukti berupa kayu log sebanyak 101.416,68 meter kubik. Kemudian bulan Januari hingga Juni 2005 Operasi Hutan Lestari kembali digelar dan menjaring tersangka berjumlah 69 orang dengan barang bukti 17.235 meter kubuk kayu olahan, dan 326.058 meter kubik kayu gergajian dan 61.033 meter kubik kayu bulat.

Sedangkan Operasi Hutan Lestari (OHL) yang dilakukan mulai bulan Januari hingga Februari 2006, membuahkan hasil tertangkapnya 195 tersangka. Barang bukti yang didapat berupa sekitar 1.646 meter kubik kayu jati, dengan harga mencapai Rp 6,58 miliar.

Walaupun masalah hukum untuk penanganan illegal logging di Indonesia sebenarnya telah banyak tertuang di beberapa peraturan pemerintah dan undang-undang, misalnya UU Nomor 19 tahun 2004, sanksi pidana yang dikenakan terhadap pelaku illegal logging ialah ancaman penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp 5 miliar. Namun ternyata hukum tersebut tidak mampu menghentikan aktifitas illegal logging yang terjadi selama ini.bbo

Ribuan Kayu Ilegal Disita

Senin, 19 Februari 2007 01:21

Pekanbaru, BPost
Kepolisian Daerah (Polda) Riau menyita sebanyak 5.775 potong kayu gelondongan ilegal, milik PT Bukit Betabuh Sungai Indah (BBSI), kemarin.

Kepala Bidang Humas Polda Riau AKB Zulkifli Zulkifli di Pekanbaru, Minggu (18/2) mengatakan, kayu yang tidak memiliki kelengkapan dokumen administrasi kehutanan ditangkap oleh Polres Indragiri Hulu (Inhu) di Kecamatan Kelayang Kabupaten Inhu pada pekan tadi.

"Penyitaan ribuan kayu gelondongan tanpa dokumen ini merupakan hasil operasi tim khusus pemberantasan illegal logging Polres Inhu dan upaya penyelidikannya dimulai dari blok di mana kayu ditebang," katanya.

Menurut dia, saat berlangsungnya operasi, seorang petugas pengukur PT BBSI Beni Rahmat menginformasikan kayu-kayu itu telah membayar iuran Pajak Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Reboisasi.

Namun, ketika dilakukan pengecekan di lapangan, polisi menemukan bukti bahwa sebanyak 5.775 batang kayu gelondongan yang setara dengan 8.682 meter kubik itu tidak memiliki kelengkapan dokumen administrasi kehutanan.

Zulkifli menjelaskan, dalam dokumen laporan hasil penebangan kayu bulat, pihak perusahaan seharusnya mencantumkan asal usul kayu, nomor Rencana Kerja Tahunan (RKT), nomor blok kerja tebangan dan nomor petak kerja tebangan.

Tapi, kelengkapan tersebut tidak dipenuhi karena yang tercantum hanya tempat penumpukan kayu di daerah Peranap, Inhu. Sehingga tim kepolisian menyimpulkan, perusahaan telah menyalahi ketentuan.

"Besar kemungkinan ribuan potong kayu ini berasal dari luar blok hutan RKT yang dikantongi PT BBSI atau berasal dari hutan land clearing pembukaan perkebunan," katanya.

Sejauh ini polisi belum menahan satu pun tersangka dalam kasus ini, namun Kepala Polda Riau beserta petugas Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Riau akan meninjau lokasi penumpukan kayu pada Senin (19/2) atau hari ini, untuk pengusutan lebih dalam kasus tersebut.ant

Polres Lelang Kayu Sitaan

Sabtu, 17 Februari 2007 01:29

Pelaihari, BPost
Tidak hanya Kejaksaan Negeri Pelaihari, Kepolisian Resort (Polres) Tanah Laut juga akan melelang sejumlah kayu sitaan. Langkah hukum ini ditempuh untuk mengurangi kerugian negara.

Kapolres Tala AKBP Drs Widjaya menerangkan pihaknya telah mendaftarkan rencana pelelangan emas hijau tersebut ke Kantor Lelang di Banjarmasin beberapa waktu lalu.

"Sebenarnya Jumat ini jadwal lelangnya. Tapi, ditunda," jelas Widjaya didampingi Kasat Reskrim AKP Zaenal Arifin SH, Kamis (16/2).

Tidak ia jelaskan apa penyebab penundaan pelelangan itu serta kapan penjadwalan kembali.

"Itu yang tahu pihak Polda Kalsel," timpal Zaenal.

Yang pasti, beber Zaenal, pelelangan akan dilaksanakan di Kotabaru. Ini karena telah ditetapkan untuk pelelangan kayu-kayu sitaan yang ada di wilayah Kabupaten Tanah Laut, Banjar, Tanah Bumbu, dan Kotabaru, lokasinya di Kotabaru.

Kendati lokasi lelang cukup jauh, Zaenal menegaskan hal itu tidak masalah. Lantaran kayu-kayu yang akan dilelang tidak perlu dibawa ke Bumi Saijaan itu.

"Kami cukup membawa dan memperlihatkan dokumentasinya saja yaitu dalam bentuk foto-foto kayu yang akan dilelang," tandas Widjaya.

Dijelaskannya, volume kayu sitaan yang akan dilelang sebanyak 120 meter kubik. Seluruhnya berjenis ulin olahan (balok) dengan ukuran panjang rata-rata dua meter. Kayu ini adalah kayu sitaan dari sebuah bandsaw di Desa Damit, Kecamatan Batu Ampar. roy

Hutan Rusak Banjir Pun Datang

Kamis, 15 Februari 2007 01:16

B. Post/ Opini

Oleh: Marinus Kristiadi Harun SHut
Penelitian pada Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru

Manusia oleh Sang Pencipta diberi ‘amanat agung’ untuk mengelola sumberdaya alam (hutan), agar tercipta hubungan yang harmonis antarsemua mahluk ciptaan-Nya. Hubungan yang harmonis merupakan suatu rantai proses hidup-menghidupi antara dua komponen sumberdaya, yang bermakna adanya suatu keseimbangan. Keseimbangan merupakan kata kunci dari berlangsungnya rantai proses hidup-menghidupi tersebut. Keseimbangan juga bermakna adanya suatu proses memberi dan menerima (take and give) yang saling menguntungkan.

Pada saat interaksi hutan dengan manusia masih bersifat lokal, keseimbangan masih mudah diwujudkan. Namun seiring perkembangan pembangunan, interaksi manusia dengan hutan bukan lagi bersifat lokal, namun sudah banyak intervensi dari pihak luar. Perkembangan pembangunan diiringi dengan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan pasar telah menguras sumberdaya hutan. Hal ini menyebabkan proses penghancuran hutan dan ekosistemnya berlangsung secara sistematis dengan dalih pembangunan.

Penyebab dan Dampak

Bangsa Indonesia memiliki hutan tropik terluas ketiga di dunia dengan nilai ekonomis yang tinggi. Menurut Nugraha (2005) pada tahun sembilan puluhan, sumbangan devisa dari industri perkayuan mencapai rata-rata 20 persen dari total perolehan devisa Indonesia. Sumbangan ekonomi sektor kehutanan yang besar bagi pembangunan di Indonesia ternyata tidak diikuti oleh sistem pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan. Padahal sumberdaya hutan mempunyai peran ganda bagi kita, baik manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya menjaga daya dukung lingkungan. Secara ekonomi nilai manfaat langsung dari penebangan kayu hanya memberi peran 5 persen dari seluruh manfaat hutan. Sedangkan fungsi hutan sebagai daya dukung lingkungan justru memberi peran lebih besar antara 93 persen-95 persen (Kartodiharjo, 2004).

Laju kerusakan hutan di Indonesia pada umumnya dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada 2003 dengan laju pengurangan hutan (deforestasi) mencapai 3,8 juta hektare tiap tahun dengan kerugian negara mencapai Rp30 triliun per tahunnya (Nugraha, 2005).

Faktor mendasar yang menyebabkan kerusakan sumberdaya hutan adalah adanya anggapan hutan sebagai sumber ekonomi yang dapat diperoleh dengan cepat, mudah dan murah. Anggapan tersebut mengakibatkan sumberdaya hutan dipandang sebagai kawasan terbuka (open property resources) yang bebas untuk dimanfaatkan. Dalam pandangan ini setiap anggota masyarakat merasa berhak atas pemanfaatan hutan tanpa mengindahkan aturan/norma. Akibatnya, setiap orang akan mengeksploitasi hutan semaunya tanpa mempedulikan dampak negatif terhadap orang lain dan kelangkaan sumberdaya hutan diabaikan sama sekali.

Pengelolaan sumberdaya hutan pada prakteknya hanya mengedepankan kepentingan ekonomis semata. Kerusakan hutan dianggap sebagai risiko pembangunan yang wajar. Anggapan ‘kewajaran’ ini seringkali mengakibatkan munculnya praktek-praktek yang semakin menyebabkan kerusakan hutan, seperti penebangan liar (illegal logging) dan alih fungsi hutan tanpa analisis dampak lingkungan yang benar. Penempatan sumberdaya hutan yang semata-mata hanya untuk memenuhi kepentingan ekonomi, menyebabkan semakin rusaknya ekologi hutan.

Masyarakat di Kalsel dan Kalimantan pada umumnya yang masih menerapkan sistem bercocok tanam padi ladang berpindah sangat tergantung dengan ketersediaan lahan. Hal ini menjadi kendala manakala kawasan hutan yang dianggap oleh pemerintah sebagai lahan negara ‘diperjualbelikan’ kepada investor dengan mekanisme pemberian hak konsesi usaha tanpa memetakan terlebih dahulu kawasan milik masyarakat. Masyarakat desa mengalami marginalisasi yang berujung pada penurunan kesejahteraan dan meningkatnya ketergantungan pada pihak luar.

Akibat langsung dari deforestasi yang banyak kita rasakan adalah terjadinya bencana alam seperti banjir dan tanah longsor di musim hujan serta kekeringan dan kebakaran di musim kemarau.

Pengelolaan Ke Depan

Pengelolaan hutan ke depan tidak bisa dilakukan terpisah dari kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Hal ini berarti bahwa hutan akan lestari jika dan hanya jika masyarakat lokal sejahtera. Masyarakat lokal memandang hutan sebagai sumber kehidupan pada waktu sekarang dan masa yang akan datang. Mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan berdasarkan peraturan adat.

Kearifan masyarakat lokal dalam mengelola hutan adatnya dapat dijadikan sebagai contoh bentuk pengelolaan hutan yang lestari. Dua hal yang menjadi esensi dari sikap masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya hutan adalah: pertama, adanya kesadaran untuk menempatkan hutan sebagai sesuatu yang dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama-sama (common property resources) dan kedua, unsur kelangkaan sumberdaya hutan menjadi pertimbangan penting. Kedua prinsip tersebut menjadikan pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal tidak bersifat eksploitatif.

Perlu disadari bahwa hubungan masyarakat lokal dengan hutan merupakan hubungan yang bersifat fungsional ekologis (Mubyarto et al., 1992). Hal ini berarti perilaku masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup merupakan bagian dari sistem budaya mereka. Bagi mereka hutan pada hakekatnya merupakan ‘ketahanan pangan’ (food security).

Berdasarkan pemaparan tersebut maka paradigma pembangunan kehutanan harus diubah. Pembangunan kehutanan tidak lagi hanya menjadi pendukung industri yang berorientasi ekspor dan pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi harus mulai mengembangkan ekonomi masyarakat lokal.

Pembangunan kehutanan harus mempertimbangkan kebutuhan dasar masyarakat lokal, distribusi pemerataan hasil-hasil hutan dan partisipasi masyarakat lokal sehingga diharapkan dapat menciptakan hal-hal berikut. Pertama, meningkatkan peran serta masyarakat lokal dalam pengelolaan tanah-tanah hutan yang rusak dan tanah kritis lainnya dalam rangka mengurangi proses deforestasi. Kedua, membangun sosial ekonomi masyarakat lokal melalui penyerapan tenaga kerja, pengembangan lembaga dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, masyarakat lokal mempunyai akses yang lebih baik terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari dalam hutan. Keempat, meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sebagai tujuan antara peningkatan kemandirian mereka.

Pada saat yang sama, masyarakat lokal terbukti telah mampu mengelola hutan secara lestari melalui suatu proses yang panjang. Banyak bukti yang menunjukkan hal ini, misalnya Sistem Lembo di Kalimantan Timur, Sistem Dukuh di Kalimantan Selatan, Repong Damar di Krui, Lampung dan Kebun Tembawang di Sanggau yang telah terbukti mampu menghijaukan lahan-lahan yang dulunya kritis menjadi produktif kembali. Sistem tembawang misalnya merupakan salah satu contoh bukti keberhasilan budidaya dipterocarpaceae oleh masyarakat lokal. Praktik-praktik kearifan tradisional tersebut merupakan bentuk penggelolaan sumberdaya hutan yang mampu menjawab persoalan ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Kita berharap agar pengelolaan hutan yang benar mampu mereduksi terjadinya bencana banjir dan tanah longsor di musim penghujan serta kebakaran hutan dan lahan di musim kemarau. Semoga!

marinuskh@yahoo.co.id

Surat Kayu Diperketat

Selasa, 13 Februari 2007 01:45

Pelaihari, BPost
Masyarakat yang ingin memanfaatkan kayu kini harus semakin berhati-hati. Ketentuan baru, Permenhut Nomor 55/2006, kian mengetatkan penerbitan surat kayu.

Tak terkecuali terhadap kayu rakyat, seperti, karet, sengon, dan kelapa. Pemanfaatan dan pengangkutannya tetap harus melalui proses legalisasi.

Kadishut Tala H Aan Purnama MP menerangkan, khusus tiga jenis kayu tersebut, legalisasinya berupa SKAU (surat keterangan asal usul). "Untuk jenis kayu rakyat lainnya menggunakan SKSKB (surat keterangan sahnya kayu bulat) yang dicap kayu rakyat," katanya, Senin (12/2).

SKAU diterbitkan oleh Kades yang ditetapkan Bupati, sedangkan SKSKB diterbitkan oleh petugas Dinas Kehutanan. Dokumen SKAU dan SKSKB diperoleh dari Dishut Provinsi.

Sementara itu untuk pemanfaatan dan pengangkutan kayu olahan dari industri, jelas Aan, harus dilengkapi faktur kayu olahan. Jika kayunya berasal dari hutan tanaman, maka harus menggunakan faktur angkutan kayu bulat.

"Faktur angkutan kayu bulat dan kayu olahan diterbitkan oleh petugas perusahaan yang ditetapkan oleh Dishutprov," jelas Aan via short message service (SMS) telepon selular.

Ketentuan baru tata usaha kayu tersebut, lanjutnya, berlaku mulai tahun ini. Artinya, sekarang tidak ada lagi SKSHH (surat keterangan sahnya hasil hutan). Gantinya yaitu SKSKB dengan diikuti ketentuan lain yang lebih spesifik, termasuk pengaturan pemanfaatan kayu rakyat.

Sosialisasi tentang ketentuan baru tata usaha kayu itu terus digencarkan oleh Dinas Kehutanan Tala. Pekan tadi, misalnya, sosialisasi dikhususkan bagi para Kapolsek dan penyidik di jajaran Polres Tala. roy

Hutan Primer Riam Pinang Dijarah

Selasa, 06 Februari 2007 01:27

Pelaihari, BPost
Perambahan hutan di Tanah Laut terus terjadi. Bahkan, aksi ilegal tersebut dilaporkan mulai menjamah hutan primer (perawan) di Dusun Riam Pinang Desa Tanjung, Kecamatan Pelaihari.

Informasi diperoleh, para penebang liar mulai intens beraksi lagi sejak beberapa hari terakhir dengan menggunakan chain saw. Umumnya mereka berkonsentrasi di titik T26 atau tepat berada di dalam hutan primer.

Kabar tersebut juga telah sampai ke telinga Tim Gabungan Operasi Illegal Logging. Mereka berjanji segera ke lapangan mengamankan lokasi.

"Kami juga sudah menerima laporan. Para penebang liar beraksi lagi di hutan primer di T26 Riam Pinang. Suara gergaji mesin terdengar terus menderu-deru," kata anggota Tim Gabungan Suratno (Polhut Dishut Tala), Senin (5/2).

Suratno menuturkan tidak mudah untuk menjangkau lokasi, karena medannya yang bergunung dan berlerang curam yang dikitari jurang di kanan-kiri. Hanya mobil double gardan yang bisa naik, itu pun jika kondisi tidak hujan.

Hutan primer itu masuk dalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam jika merujuk SK Menhut Nomor 453/1999. Namun, jika merujuk revisi tata batas yang baru (belum disetujui Menhut), lokasi itu tidak masuk Tahura.

Saat operasi dua pekan lalu, Suratno dan anggota Tim Gabungan lainnya melihat bekas penjarahan di hutan primer tersebut. Luasnya diperkirakan mencapai 500-an hektare tersebut.

Tidak hanya perawan atau belum pernah dijamah, hutan primer itu juga tergolong heterogen. Cukup banyak jenis kayu yang ada di dalamnya, seperti, ulin, tengkawang atau meranti putih, meranti putih dan meranti merah, dan keruing.

Ukurannya pun cukup besar. "Kayu ulin, misalnya, ada yang diameternya mencapai 90 centimeter. Meranti diamaternya 100-an centimeter," kata Suratno.

Saat itu di lokasi, pihaknya menemukan beberapa potong kayu ulin olahan dalam bentuk plat ukuran 12x12 centimeter dan 15x20 centimeter dengan panjang 2,3 dan 4 meter. Kayu-kayu ini teronggok di empat titik.

Suratno mengatakan aksi perambahan hutan kini mulai bergerak ke hutan primer tersebut. Karenanya kawasan tersebut harus diamankan secara ketat melalui operasi yang intens sehingga tidak memberi ruang gerak bagi para pelaku penebang liar. roy

Wednesday, March 21, 2007

Pembakaran Hutan, Haram! Fatwa dari MUI

Kamis, 18 Januari 2007 Radar Banjarmasin

RANTAU– Pembakaran hutan hingga menyebabkan terjadinya asap tebal diharamkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Begitu juga dengan penebangan liar dan pertambangan tanpa izin.

Demikian dibeberkan Komisi Fatwa MUI Provinsi Kalsel, KH Rusdiansyah SH di hadapan peserta sosialisasi Hasil Fatwa MUI Tingkat Nasional dan Regional di Kabupaten Tapin, di Pendopo Tapin, kemarin.

Dijelaskan Rusdiansyah, ada 3 fatwa MUI untuk tingkat regional Kalsel, yakni tentang wajib belajar (wajar) 9 tahun, kedua, tentang pembakaran hutan dan asap tebal, dan ketiga tentang ilegal logging.

“Berdasakan hasil musyawarah tanggal 13 Desember 2006 di Banjarmasin, diputuskan tentang wajib belajar 9 tahun, di mana pemerintah wajib menyediakan sarana dan prasarananya. Sedangkan penebangan liar dan penambangan liar yang merusak lingkungan dan masyarakat, hukumnya haram. Bahkan, semua penghasilan dan kegiatan yang diperoleh dari dua kegiatan usaha ilegal tersebut hukumnya juga haram. Untuk menunjang itu semua, petugas harus tegas menegakkan peraturan yang berlaku,” cetus Rusdiansyah.

Hal itu, kata Rusdi, tertuang dalam surah Al Baqarah tentang penebangan liar, dan Al Jaziah ayat 13 untuk ilegal mining. Sedangkan pembakaran hutan, lahan, untuk kegiatan perkebunan, pertanian, dan lain sebagainya yang mengakibatkan kabut asap serta menimbulkan dampak lainnya, dapat mengganggu kehidupan manusia lain dinyatakan haram.

Sementara itu, Rusdi juga menyampaikan hasil rekomendasi dari MUI Nasional, yang meminta dukungan MUI di daerah. Termasuk minta dukungan soal perda yang terkait dengan penerapan syariat Islam, seperti Perda Ramadan.

“Termasuk soal sms berhadiah. Pokoknya segala bentuk kegiatan pengiriman sms yang menjanjikan hadiah, padahal harga per sms-nya lebih mahal dari harga sms biasa. Hukumnya adalah haram. Sebab mengandung unsur judi, hal ini tertulis dalam Surah Al Maidah 90,” tegasnya.

Bukan hanya itu, soal nikah di bawah tangan juga dibicarakan. “Nikah di bawah tangan menurut MUI itu sah. Pernikahan di bawah tangan terjadi apabila telah terpenuhi syarat-syarat dalam hukum Islam, namun tidak dicacat pada KUA dan undang-undang. Jadi, hukumnya sah, namun selesai menikah harus dicatatkan dan didaftarkan di KUA. Pernikahan ini akan menjadi haram apabila mendatangkan mudarat bagi pihak-pihak lain, seperti istri dan anak-anak,” cetus Rusdi.

Bahkan, kata Rusdi, bagi yang ingin berpoligami diharuskan memiliki surat izin poligami dari Pengadilan Agama setempat. Sebab, jika tidak, KUA tidak akan berani mencatatkan pernikahan yang dilakukan untuk tujuan poligami tersebut.

“Jadi, bagi yang ingin berpoligami, siapkan dulu persyaratannya tadi, baik secara hukum maupun syarat administrasi. Terpenting adalah jangan sampai menimbulkan atau mendatangkan mudarat bagi anak dan istri pertama,” pesannya, yang disambut gelak tawa peserta.

Acara sosialisasi kemarin dibuka oleh Bupati Tapin Drs H Idis Nurdin Halidi MAP dan dihadiri Ketua DPRD Tapin H Rasyid Ali BBA, Dandim 1010 Rantau Letkol Inf Drs Yusnadi, dan para alim ulama, tokoh agama, serta tokoh masyarakat se Kabupaten Tapin. Suasana sosialisasi yang berlangsung sejak pagi hingga siang tidak terasa, sebab nara sumber menyampaikan materi dengan santai diselingi dengan guyonan yang mampu memancing peserta larut dalam tawa.(nti)

KPPP Temukan Kayu Log Curian

Rabu, 17 Januari 2007 Radar Banjarmasin

BANJARMASIN - Ketika melakukan patroli pada Senin (15/1) malam sekitar pukul 22.00 Wita, petugas KPPP Pelabuhan Trisakti menemukan 5 buah kayu log milik PT Wijaya Tri Utama di perairan Sungai Martapura. Kayu log jenis meranti sepanjang sekitar 12 meter tersebut dipergoki telah ditarik oleh sebuah kelotok. Sayangnya, para pelaku pencurian berhasil kabur ketika mengetahui ada patroli yang dilakukan KPPP. Untuk pengamanan, 5 buah kayu log tersebut akhirnya disandarkan di Pelabuhan Martapura Lama.

Kepala KPPP Pelabuhan Trisakti AKP Teddi Mukmin Artono SIk ketika ditemui membenarkan telah mengamankan kayu log tersebut. "Kayu log tersebut ditemukan ketika kami sedang melakukan patroli," ujarnya.

Ketika mengetahui ada speed patroli KPPP melintas, para pencuri kayu lebih memilih kabur ketimbang harus berurusan dengan polisi. "Jadi tersangkanya kabur. Mungkin mereka melihat lampu speed. Yang tertinggal cuma kelotok yang mau tenggelam," jelasnya.

Sementara, Pjs Kanit Reskrim Aiptu K Damanik menjelaskan kayu log tersebut adalah milik perusahaan kayu PT Wijaya. "Yang jelas kayu log tersebut milik PT Wijaya tapi dititipkan di perusahaan PT Austral Byna," pungkasnya. (irn)

Bawa Kayu Ulin, 3 Warga Ditangkap

Sabtu, 13 Januari 2007 Radar Banjarmasin

BANJARMASIN,- Kayu jenis ulin kini semakin sulit dimiliki masyarakat Kalsel. Sebab, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan mengenai larangan kepada masyarakat untuk memiliki kayu ulin dengan ukuran tertentu tanpa dilengkapi dokumen yang sah. Buktinya, 2 orang warga Desa Telaga II RT 2 serta satu orang warga Desa Tambang Ulang RT 05 Pelaihari bernamaAriffin (29), Wahyudi (25) dan M Gazali (29) ditangkap petugas Polres Pelaihari.

Pasalnya, ketiga warga ini kedapatan membawa kayu ulin dengan panjang 2 dan 3 meter. Akibatnya, tak hanya kayu itu saja yang disita petugas. Namun, ketiganya bersama sepeda motor yang dijadikan alat angkut kayu tersebut juga ikut diamankan petugas ke kantor.

Menurut Wadir Intel Polda Kalsel AKBP Drs H Tatang, diamankannya ketiga warga tersebut berdasarkan peraturan pemerintah yang kini melarang masyarakat untuk memilikinya kayu ulin dengan ukuran lebih dari 1,5 meter.

Itu dilakukan pemerintah mengingat kini keberadaan kayu ulin di Kalsel mulai menipis. Karena itu untuk melestarikannya pemerintah memasukkan kayu ulin dalam jenis yang dilindungi. “Dasar petugas kepolisian mengamankan para pembawa dan pemilik kayu itu adalah peraturan pemerintah, yang menyatakan kayu ulin adalah kayu yang dilindungi,” ujarnya kemarin.

Memang, lanjut Tatang, masyarakat yang bermukim di wilayah Kalsel khususnya di Kota Banjarmasin tak bisa dilepaskan ketergantungannya dari keberadaan kayu ulin. Karenannya, yang diperlukan saat ini adalah kejelasan dari pemerintah mengenai jenis dan ukuran kayu yang diperbolehkan untuk dimiliki masyarakat umum. “Masyarakat Kalsel kalau membuat rumah perlu kayu ulin untuk pondasinya. Makanya yang diperlukan sekarang adalah ketegasan dan kejelasan peraturan pemerintah mengenai ukuran kayu ulin yang dapat dimiliki masyarakat,” katanya.

Diharapkan, katanya lagi, agar petugas kepolisian yang menjalankan peraturan itu tidak selalu disalahkan oleh masyarakat. Pemerintah daerah serta instansi terkait lainya perlu duduk satu meja untuk mencarikan solusi yang terbaik sehingga semua pihak tidak merasa dirugikan.

“Kalau kayu ulin dilarang, maka harus ada penggantinya. Sekarang pengganti kayu ulin itu belum ada. Jadi yang diperlukan itu ketegasan dan kejelasan mengenai ukuran kayu ulin yang diperbolehkan untuk dimiliki masyarakat,” ujarnya.(gsr)

Pemilik Ratusan Kayu Ulin Masih Misteri

Sabtu, 13 Januari 2007 RadarBanjarmasin

BANJARMASIN,- Pengejaran terhadap pemilik kayu ulin hasil tangkapan Sat III Reskrim Polda Kalsel di Desa Binjai Km 2,5 Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, beberapa hari lalu, ternyata hingga saat ini masih belum membuahkan hasil yang maksimal.

Tak hanya pemilik dari ratusan potong kayu itu saja yang belum teridentifikasi. Tapi identitas dari pemilik mobil truk itu hingga saat ini juga belum diketahui. Hal ini diungkapkan oleh Kasat III Reskrim Polda Kalsel AKBP Ahmad Sahury.

Seperti diketahui, sebuah truk yang sarat dengan muatan kayu ulin berhasil diamankan petugas Satuan III Reskrim Polda Kalsel. Truk kayu jenis PS bernopol K 9363 MB ini diamankan petugas dari kawasan Desa Binjai Km 2,5 Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar.

Sayangnya, ketika dilakukan pemeriksaan di dalam mobil truk tersebut, petugas tak berhasil menemukan sopir dan kernetnya. Diduga, kedua orang ini langsung melarikan diri ketika melihat petugas menghampiri mobil mereka.

Menurut pria dengan dua melati di pundak ini, belum terungkapnya siapa pemilik kayu ulin itu disebabkan petugas di lapangan masih kesulitan untuk menemukan pemilik truk PS tersebut.

Padahal, katanya, titik terang siapa sebenarnya pemilik kayu itu dapat segera diketahui bila pemilik dari truk tersebut ditemukan. “Truknya masih dititipkan di Polres Banjar, dan pemiliknya belum kami temukan,” ujarnya kemarin.

Belum diketahuinya pemilik mobil truk itu, lanjutnya, lantaran nopol truk tersebut bukan berasal dari daerah Kalsel. Karenanya petugas kini sedang berusaha menghubungi pihak Samsat Jawa Tengah yag diduga mengeluarkan nopol mobil tersebut. “Mobil dengan nopol K itu berasal dari Jawa Tengah. Makanya kami sekarang masih berusaha melakukan pengecekan di Samsat setempat,” katanya. (gsr)

Rehabilitasi Mangrove 3,4 Hektar

Sabtu, 13 Januari 2007 Radar Banjarmasin

BATULICIN,- Dua desa di Kecamatan Batulicin, yakni Desa Kersik Putih dan Desa Segumbang akan menjadi tempat rehabilitasi 3,4 hektar kawasan hutan mangrove yang dilaksanakan pada triwulan IV di tahun 2007 ini.

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Erno Budi Handoko, mengatakan sebelumnya pada triwulan III, kawasan yang direhabilitasi sebanyak 1,4 hektar berada di Desa Kersik Putih dan dilanjutkan lagi pada triwulan IV ini seluas 2,0 hektar lahan yang akan ditanam 24 ribu pohon bakau.

“Di Desa Segumbang, rehabilitasi yang dilaksanakan pada triwulan III tidak ada. Tetapi pada triwulan IV ini akan dilaksanakan sebanyak 1,4 hektar dengan ditanam 14 ribu pohon. Dengan demikian, total pohon yang ditanam pada triwulan III dan IV berjumlah 38 ribu pohon,” jelasnya.

Dikatakannya, rehabilitasi pada kawasan mangrove ini tidak hanya dilakukan di Kecamatan Batulicin saja. Karena ada 3 kecamatan lain lagi yang juga mendapat perhatian serius dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanbu, yakni Kecamatan Kusan Hilir (Pagatan), Sungai Loban dan Satui. Pada tiga kecamatan ini, sebut Erno, terdapat ribuan kerusakan ekosistem, rinciannya rusak berat 1.422 hektar dan rusak ringan ada 2.402 hektar.

“Rehabiltasi ini perlu dilaksanakan pada semua kecamatan di Kabupaten Tanbu. Karena dari data yang ada untuk Kecamatan Batulicin saja luas desa di kawasan pesisir 24.054 hektar dengan potensi mangrove rusak ringan 1.1135 hektar dan rusak berat 628,9 hektar,” ujarnya.

Menurutnya, rehabilitasi kawasan mangrove di empat kecamatan itu sesuai dengan program dan perencanan yang disusun sebelumnya dengan harapan dapat menumbuhkan kembali ekosistem pantai. (kry)

Tuesday, March 20, 2007

PT KPP Pailit, 725 Pekerja Telantar

Sabtu, 13 Januari 2007 Radar Banjarmasin

BANJARMASIN,- Nasib 725 pekerja perusahaan PT Katan Prima Permai (KPP) Banjarmasin sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak, sejak perusahaan kayu lapis tersebut dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Surabaya pada tanggal 24 Februari 2006 lalu, sampai kemarin gaji dan hak-hak lain mereka nya belum juga dibayarkan oleh perusahaan.

Para pekerja menduga, perusahaan belum membayar lantaran uang hasil lelang sejumlah aset perusahaan digelapkan oleh Kurator (pihak yang dikuasakan perusahaan untuk melelang aset, red).

"Kami mencurigai uang gaji yang mestinya dibayarkan begitu sebagian aset perusahaan dilelang, digelapkan oleh Kurator PT KPP," ujar Ketua DP SPI PT Katan Prima Permai Dedi Supriadi dalam jumpa pers di Sekretariat Serikat Pekerja Indonesia (SPI) Kalsel Jalan Skip Lama Banjarmasin Tengah, Kamis (11/1).

Didampingi Ketua Dewan Pengurus Serikat Pekerja Indonesia (SPI) Kalsel H Syahrawanie dan puluhan mantan buruh PT KPP, Dedi menyatakan UU Nomor 13 Tahun 2003 pasal 95 ayat 4 menyebutkan, perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. "Pada tanggal 12 Juli 2006 Kurator mengeluarkan pengumuman lelang atas barang-barang sejumlah 15 lot. Kemudian yang terlelang sebanyak 8 lot senilai Rp 10.817.250.000 atau Rp 10,8 miliar lebih. Nah, harusnya Kurator mengutamakan membayar hak karyawan dengan menggunakan uang hasil lelang tersebut. Tapi sampai sekarang tidak pernah dibayarkan," bebernya.

Diakuinya, pada tangal 9 Agustus 2006 melalui surat Kurator menawarkan penyelesaian kepada pekerja senilai Rp 1,5 miliar, tapi ditolak oleh pekerja karena nilainya sangat kecil dibandingkan kewajiban yang harus dibayar perusahaan sebesar Rp 16.252.452.541 atau Rp 16,2 miliar lebih. Berikutnya, pada 30 Agustus 2006 dilaksanakan pertemuan kemudian Kurator menawarkan lagi penyelesaian kepada pekerja senilai Rp 2.289.210.921 atau 2,2 miliar lebih, namun lagi-lagi tawaran tersebut ditolak oleh pekerja. "Kami menolak karena pembayaran tersebut tidak jelas, apakah hanya uang panjar pembayaran hak 725 pekerja atau penyelesaian. Lagipula kalau untuk penyelesaian kami keberatan karena nominalnya terlalu kecil," tambah Dedi yang diamini puluhan pekerja yang hadir.

lebih lanjut diceritakannya, Kurator kembali melakukan lelang kedua sejumlah aset PT KPP yang nilainya sebesar Rp 2.680.000.000 atau Rp 2,6 miliar lebih. "Sayangnya, lagi-lagi hak kami berupa gaji, tunjangan, dan hak lainnya tidak dibayarkan," tandasnya.

Nah, lantaran kecewa dengan sikap yang ditunjukkan Kurator, para pekerja mengancam akan memperkarakan secara perdata Kurator (Siti Zaitin Noor SH MH, red). "Kami sudah bosan menunggu, bayangkan sudah 11 bulan kami menjadi pengangguran. Karenanya, kami akan menggugat perdata Kurator," ancam para pekerja kompak.

Kesimpulan untuk menggugat secara perdata ini merupakan aspirasi yang berkembang. "Apabila segala upaya telah dilakukan, tapi hak-hak kami belum dibayar juga, maka terpaksa kami turun ke jalan," tandas para pekerja.(sga)

Kasus Ilegal Logging Paling Menonjol

Kamis, 11 Januari 2007 Radar Banjarmasin

TANJUNG – Sepanjang tahun 2006 lalu, kasus ilegal logging menjadi catatan terbanyak yang ditangani Polres Tabalong. Disusul kasus curat, anirat dan curanmor. Selain itu, setahun lalu itu pula terjadi peningkatan angka kriminalitas yang cukup signifikan.

Berdasarkan keterangan yang disampaikan Kapolda Kalsel Brigjen Drs Halba Rubis Nugroho MM, pada kesempatan sertijab Kapolres Tabalong, dua hari lalu, pada semester I 2006 terdapat 57 kasus dan dapat diselesaikan 52 kasus atau 91 persen. “Pada semester kedua, angkanya naik menjadi 110 kasus dan 79 kasus yang dapat diselesaikan,” katanya.

Menurut dia, tindak pidana kriminal yang menonjol sendiri adalah kasus ilegal logging sebanyak 24 kasus. Disusul curat 19 kasus, anirat 8 kasus, lalu curanmor 6 kasus, narkoba 5 kasus, miras 4 kasus, perjudian 3 kasus, kepemilikan sajam tanpa ijin 3 kasus, kemudian korupsi dan pembunuhan, masing-maing 1 kasus.

Kasus ilegal logging yang tercatat diduga dilakukan PT Elbana Abadi Jaya, yang dalam hal ini polisi telah menahan Direktur Utama Made Suarta dan Pimpinan Operasional Ponidi.

“Kasus itu menjadi perhatian Mabes Polri,” kata Halba. Apalagi, kasusnya masih ditangani Polres Tabalong yang saat ini siap diserahkan ke Kejaksaan Negeri Tanjung dengan menjadikan Ponidi sebagai tersangka ilegal logging dan Made Suarta disangka pelaku penyuapan senilai Rp500 juta.

“Walaupun terjadi kenaikan angka kriminal pada semester II tahun 2006, situasi dan kondisi kamtibmas secara umum di Kabupaten Tabalong tetap kondusif,” nilai Halba.

Yang menggembirakan, Polres Tabalong dianggap sukses sebagai pilot project Babinkamtibmas dan memelopori bus Balai Kemitraan Polisi dan Masyarakat (BKPM) bantuan PT Adaro Group.(day)

Kasus Anton Melebar? Dari Illegal Logging ke Pencucian Uang

Berita Utama
Senin, 8 Januari 2007 Radar Banjarmasin

BANJARMASIN – Perburuan terhadap Anton Gunadi, cukong kayu asal Kalsel yang masuk dalam red notice (daftar perburuan) Interpol memang masih berlangsung. Menariknya, kasus Anton yang semula hanya berkutat pada masalah illegal logging (pembalakan liar), kabarnya bakal melebar hingga kasus pencucian uang (money laundering), setelah pelarian Anton seakan tak berhenti.

Dari informasi yang dihimpun koran ini, pemblokiran rekening milik Anton Gunadi oleh pihak kepolisian, di sejumlah bank telah lama dilakukan, pasca kaburnya pengusaha kayu kakap itu ke Singapura. Pemblokiran itu terkait dengan usaha trading kayu yang dilakukan Anton dibawah bendera Bina Benua Grup, sehingga kepolisian bersama instansi terkait mencium adanya tindakan pencucian uang.

Benarkah? Kepala Bidang Humas Polda Kalsel, AKBP Puguh Raharjo tak berani memastikannya. Namun, ia juga tak membantah bahwa kasus Anton juga dikembangkan ke arah kriminal pencucian uang. Terbukti, pemblokiran dana miliaran rupiah dikabarkan sudah dilakukan polisi. “Yang pasti, masalah Anton ini sudah diserahkan ke Interpol. Soal apakah ada money laundering-nya, tergantung penyidikan,” jawab Puguh, saat ditemui koran ini, belum lama tadi.

Menurut Puguh, upaya maksimal untuk menangkap Anton sudah dilakukan pihaknya, seperti mengeluarkan daftar pencarian orang (DPO), hingga melibatkan pihak Interpol. “Ya, kita tunggu saja, nanti uangnya habis sendiri,” kata Puguh yang sangat sangsi sampai berapa lama Anton bertahan di tempat persembunyian.

Puguh juga yakin suatu saat Anton bisa ditangkap. Walaupun, dari kabarnya yang berkembang di Polda Kalsel sendiri, Anton kabarnya tak hanya kabur ke Singapura, tetapi sudah ‘hijrah’ ke Amerika Serikat.

Menariknya, jika Anton masih saja buron, proses penuntasan perkara dua anak buahnya, HM Saleh (Direktur CV Bina Benua), dan Satip Sandiarto (Kepala Logpond CV Bina Benua) justru tersendat. Setidaknya, dua kali berkas Satip dikembalikan pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalsel ke Polda. Berkas perkara itu merupakan berkas berbeda dengan kasus sebelumnya. Sebab, untuk kasus kelebihan 61 batang atau 277,07 M3 yang diangkut Tongkang Damar Laut dan ditarik TB Bina Benua VII dan TB Bina Benua VIII, Satip telah divonis 7 bulan penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin, lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut 1 tahun penjara.

“Untuk berkas perkara Satip yang kedua, kita sudah kembalikan ke polda. Sudah dua kali dikembalikan ke mereka,” ujar Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati Kalsel, Achjar Muchjar SH kepada wartawan, kemarin.

Diakui Achjar, dalam kasus Bina Benua ini, untuk pengangkutan kayu oleh empat tongkang milik Bina Benua dipecah polisi dalam tiga berkas perkara. Untuk berkas pertama telah diputus, dan saat ini masih dalam tahap banding. “Untuk berkas kedua dan ketiga, kita kembalikan. Jika Polda memang punya cukup bukti, lanjutkan. Kalau tidak, ya di-SP3-kan saja (penghentian),” katanya.

Dalam kasus itu, Satip sendiri dijerat polisi dengan pasal berlapis yakni

pasal 50 ayat (3) huruf h jo Pasal 78 UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. “Untuk proses hukum ini, baru Satip yang dilimpahkan berkasnya. Kalau berkas perkara Saleh, masih belum (diterima, red),” terang Achjar.

Jaksa senior bintang satu ini mengakui dalam kasus Bina Benua, sangat berat jika dikaitkan dengan keterlibatan Anton Gunadi. Sebab, beber dia, Anton dalam perusahaan itu hanya selaku komisaris CV Bina Benua terhitung sejak 30 Desember 2005 lalu. Sementara, kasus Bina Benua itu mencuat pada Maret 2006. “Kami disini (kejaksaan), bicara soal fakta, kalau memang keterlibatan Anton bisa dibuktikan, ya silakan buktikan,” tantangnya.

Namun, lanjut dia, sebenarnya keterlibatan Anton itu hanya pertanggungjawaban moral, bukan secara hukum. Berarti polisi masih ngotot untuk menyeret Anton ke kasus illegal logging itu? Ditanya begitu, Achjar tak mau berspekulasi. Dia pun enggan mengomentari hasil penyidikan Ditreskrim Polda Kalsel. “Itu urusan polisi untuk membuktikannya,” tegasnya.

Bahkan, menurut Achjar, jika kasus Anton dilebarkan ke kasus pencucian uang, tentunya pihak kepolisian harus bisa menghadirkan analisis dari PPTAK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), dalam berkas perkara Anton. “Saya baca, dalam berkas baik Satip atau Saleh justru tak ada soal itu. Yang ada memang Cuma illegal logging,” pungkasnya.

Sekadar diketahui, dalam kasus yang menyeretnya, Anton disangkakan melanggar pasal berlapis yakni Pasal 78 ayat (5) subsidair Pasal 78 ayat (7) jo Pasal 50 ayat (3) huruf f dan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, jo Pasal 75 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaannya jo Pasal 12 ayat (2) huruf b PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan jo Pasal 58 Permenhut Nomor P.18/Menhut-II/2005 tentang Perubahan Ketiga atas Kepmehut Nomor 126/Kpts-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan. (dig)

Kasus Anton Melebar? Dari Illegal Logging ke Pencucian Uang

Berita Utama
Senin, 8 Januari 2007 Radar Banjarmasin

BANJARMASIN – Perburuan terhadap Anton Gunadi, cukong kayu asal Kalsel yang masuk dalam red notice (daftar perburuan) Interpol memang masih berlangsung. Menariknya, kasus Anton yang semula hanya berkutat pada masalah illegal logging (pembalakan liar), kabarnya bakal melebar hingga kasus pencucian uang (money laundering), setelah pelarian Anton seakan tak berhenti.

Dari informasi yang dihimpun koran ini, pemblokiran rekening milik Anton Gunadi oleh pihak kepolisian, di sejumlah bank telah lama dilakukan, pasca kaburnya pengusaha kayu kakap itu ke Singapura. Pemblokiran itu terkait dengan usaha trading kayu yang dilakukan Anton dibawah bendera Bina Benua Grup, sehingga kepolisian bersama instansi terkait mencium adanya tindakan pencucian uang.

Benarkah? Kepala Bidang Humas Polda Kalsel, AKBP Puguh Raharjo tak berani memastikannya. Namun, ia juga tak membantah bahwa kasus Anton juga dikembangkan ke arah kriminal pencucian uang. Terbukti, pemblokiran dana miliaran rupiah dikabarkan sudah dilakukan polisi. “Yang pasti, masalah Anton ini sudah diserahkan ke Interpol. Soal apakah ada money laundering-nya, tergantung penyidikan,” jawab Puguh, saat ditemui koran ini, belum lama tadi.

Menurut Puguh, upaya maksimal untuk menangkap Anton sudah dilakukan pihaknya, seperti mengeluarkan daftar pencarian orang (DPO), hingga melibatkan pihak Interpol. “Ya, kita tunggu saja, nanti uangnya habis sendiri,” kata Puguh yang sangat sangsi sampai berapa lama Anton bertahan di tempat persembunyian.

Puguh juga yakin suatu saat Anton bisa ditangkap. Walaupun, dari kabarnya yang berkembang di Polda Kalsel sendiri, Anton kabarnya tak hanya kabur ke Singapura, tetapi sudah ‘hijrah’ ke Amerika Serikat.

Menariknya, jika Anton masih saja buron, proses penuntasan perkara dua anak buahnya, HM Saleh (Direktur CV Bina Benua), dan Satip Sandiarto (Kepala Logpond CV Bina Benua) justru tersendat. Setidaknya, dua kali berkas Satip dikembalikan pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalsel ke Polda. Berkas perkara itu merupakan berkas berbeda dengan kasus sebelumnya. Sebab, untuk kasus kelebihan 61 batang atau 277,07 M3 yang diangkut Tongkang Damar Laut dan ditarik TB Bina Benua VII dan TB Bina Benua VIII, Satip telah divonis 7 bulan penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin, lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut 1 tahun penjara.

“Untuk berkas perkara Satip yang kedua, kita sudah kembalikan ke polda. Sudah dua kali dikembalikan ke mereka,” ujar Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati Kalsel, Achjar Muchjar SH kepada wartawan, kemarin.

Diakui Achjar, dalam kasus Bina Benua ini, untuk pengangkutan kayu oleh empat tongkang milik Bina Benua dipecah polisi dalam tiga berkas perkara. Untuk berkas pertama telah diputus, dan saat ini masih dalam tahap banding. “Untuk berkas kedua dan ketiga, kita kembalikan. Jika Polda memang punya cukup bukti, lanjutkan. Kalau tidak, ya di-SP3-kan saja (penghentian),” katanya.

Dalam kasus itu, Satip sendiri dijerat polisi dengan pasal berlapis yakni

pasal 50 ayat (3) huruf h jo Pasal 78 UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. “Untuk proses hukum ini, baru Satip yang dilimpahkan berkasnya. Kalau berkas perkara Saleh, masih belum (diterima, red),” terang Achjar.

Jaksa senior bintang satu ini mengakui dalam kasus Bina Benua, sangat berat jika dikaitkan dengan keterlibatan Anton Gunadi. Sebab, beber dia, Anton dalam perusahaan itu hanya selaku komisaris CV Bina Benua terhitung sejak 30 Desember 2005 lalu. Sementara, kasus Bina Benua itu mencuat pada Maret 2006. “Kami disini (kejaksaan), bicara soal fakta, kalau memang keterlibatan Anton bisa dibuktikan, ya silakan buktikan,” tantangnya.

Namun, lanjut dia, sebenarnya keterlibatan Anton itu hanya pertanggungjawaban moral, bukan secara hukum. Berarti polisi masih ngotot untuk menyeret Anton ke kasus illegal logging itu? Ditanya begitu, Achjar tak mau berspekulasi. Dia pun enggan mengomentari hasil penyidikan Ditreskrim Polda Kalsel. “Itu urusan polisi untuk membuktikannya,” tegasnya.

Bahkan, menurut Achjar, jika kasus Anton dilebarkan ke kasus pencucian uang, tentunya pihak kepolisian harus bisa menghadirkan analisis dari PPTAK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), dalam berkas perkara Anton. “Saya baca, dalam berkas baik Satip atau Saleh justru tak ada soal itu. Yang ada memang Cuma illegal logging,” pungkasnya.

Sekadar diketahui, dalam kasus yang menyeretnya, Anton disangkakan melanggar pasal berlapis yakni Pasal 78 ayat (5) subsidair Pasal 78 ayat (7) jo Pasal 50 ayat (3) huruf f dan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, jo Pasal 75 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaannya jo Pasal 12 ayat (2) huruf b PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan jo Pasal 58 Permenhut Nomor P.18/Menhut-II/2005 tentang Perubahan Ketiga atas Kepmehut Nomor 126/Kpts-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan. (dig)

Ilegal Loging dan Mining, Haram! MUI juga Keluarkan Fatwa Pembakaran Lahan dan Wajib Belajar

Jumat, 5 Januari 2007 Radar Banjarmasin

BANJARMASIN - Penebangan liar dan pertambangan tanpa izin atau bisnis ilegal loging dan mining, semakin marak dan kian merajalela. Praktik tersebut sangat merugikan masyarakat dan negara, yang menyebabkan rusaknya lingkungan dan terjadinya banjir, tanah longsor, serta melawan perundang-undangan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wilayah IV Kalimantan pun merasa risau dengan praktik tersebut. Karena itu, secara tegas para ulama yang tergabung di MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap penebangan dan penambangan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat dan atau negara.

"MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang penebangan liar dan penambangan tanpa izin, bisnis illegal loging dan ilegal mining, untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat," tegas Ketua Ijtima Komisi-Komisi Fatwa MUI Wilayah IV Kalimantan di Banjarmasin, Prof Drs HM Asywadie Syukur LC didampingi Sekretaris Umum MUI Kalsel Drs HA Zayadi Yasar SH MH, di Sekretariat MUI Kalsel, kemarin.

Selain mengharamkan praktik ilegal loging dan mining, para ulama pun menegaskan semua kegiatan dan penghasilan yang didapat dari bisnis tersebut tidak sah dan hukumnya haram. Masih dari fatwa tersebut, penegak hukum wajib bertindak tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Fatwa tersebut telah ditetapkan pada tanggal 13 Desember 2006 yang bernomor 127/MUI-KS/XII/2006 dan ditandatangani oleh Ketua Umum MUI dan Ketua Komisi Fatwa MUI masing-masing, yakni Kalbar, Kalteng, Kaltim, dan Kalsel.

Dijelaskan Asywadie, fatwa haram tersebut merujuk pada Alqur'an, Surah Al Baqarah:29, Surah AL 'Araf:56, Surah Asy Syuuraa:30, dan Surah An Nisa:59. Kemudian merujuk pada Hadist dari HR Ibnu Majjah dari Al-Irbadh bin Syariyah dan kaidah-kaidah fikih dari Al Asybahu Wa Al Nazair:134, dan Mirast Muqaran:27. "Kemudian memperhatikan pula pendapat para ulama peserta Itjima Komisi Fatwa MUI Wilayah IV Kalimantan yang diselenggarakan di Banjarmasin pada tanggal 22 Dzulkaidah 1427 H atau 13 Desember 2006," jelas Ketua MUI Kalsel tersebut.

Ijtima Komisi Fatwa pun memberikan rekomendasi dan mengimbau kepada pemerintah dan penegak hukum untuk memberikan dispensasi atau kemudahan kepada pengrajin yang bahan bakunya terdiri dari kayu dan kepada masyarakat pemakai yang memerlukan kayu bahan bangunan sendiri.

Selain mengeluarkan fatwa haram terhadap praktik ilegal loging dan mining, MUI pun mengeluarkan fatwa haram tentang praktik pembakaran hutan dan kabut asap. Kemudian ada pula fatwa tentang wajib belajar sembilan tahun. Semua fatwa tersebut merujuk pada Alqur'an, hadits, dan kaidah fikih-fikih.

"Setiap orangtua yang memiliki anak wajib usia wajib belajar (maka, Red) wajib menyekolahkan anaknya. Pemerintah wajib menyediakan fasilitas yang menunjang pelaksanaan wajib belajar secara menyeluruh sesuai dengan UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Bab VIII pasal 34 ayat (2)," ujarnya membacakan fatwa tentang wajib belajar.

Meski tak tercantum pada fatwa, dia pun meminta agar sekolah-sekolah tidak melakukan pungutan kepada siswa dengan cara dan oleh siapa pun di sekolah. Diingatkanya, pendidikan harus dapat dinikmati oleh semua masyarakat dan pihak sekolah pun telah mendapat berbagai fasilitas dari pemerintah. Dicontohnya, seperti pungutan yang dilakukan oleh Komite Sekolah dengan tujuan untuk memberikan tunjangan kepada Kepala Sekolah atau Wakil Kepala Sekolah. "Meski jumlahnya minim dan dilakukan oleh Komite Sekolah sebagai perwakilan orangtua, harusnya hal tersebut tidak dilakukan. Tunjangan Kepala Sekolah telah diberikan pemerintah, kemudian telah ada dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Pendidikan agama dan ilmu pengetahuan umum hukumnya wajib diikuti, bahkan hingga penarik becak," katanya lirih.

Dijelaskan Asywadie, fatwa hukum haram meliputi pembakaran hutan dan lahan untuk kegiatan kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain yang mengakibatkan kabut asap, kerusakan lingkungan serta mengganggu kehidupan manusia. Dasarnya, pembakaran hutan akan merusak lingkungan dan hutan menjadi gundul, kemudian berubah menjadi padang ilalang dan pada musim hujan terjadi banjir. Dampak pembakaran hutan menimbulkan kabut asap yang menggangu transportasi laut, darat dan udara, mengganggu kesehatan masyarakat dan mengganggu proses belajar mengajar serta meluas hingga ke negara-negara tetangga.

Menurut Zayadi, fatwa-fatwa tersebut telah disampaikan ke Gubernur, DPRD, Kejaksaan, Pengadilan, dan semua perangkat pemerintahan. "Mulai tanggal 15 Januari, MUI Kalsel akan melakukan sosialiasi ke MUI Kabupaten/Kota tentang fatwa tersebut, agar diteruskan ke MUI Kecamatan-Kecamatan," katanya. (pur)

Wednesday, March 07, 2007

Buruh Demo, Industri Kayu Lumpuh

Kamis, 01 Februari 2007

Banjarmasin, Kompas - Sebagian pabrik kayu lapis di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan sekitarnya lumpuh karena para buruh pabrik-pabrik tersebut berunjuk rasa di Kantor Gubernur, Rabu (31/1). Pengunjuk rasa yang jumlahnya sekitar 1.000 orang itu menuntut agar upah minimum sektoral provinsi dinaikkan.

Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia menuntut Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Rudy Ariffin membuat surat keputusan upah minimum sektoral provinsi (UMSP) Kalsel sebesar Rp 790.000. Jumlah ini 5 persen lebih besar dari upah minimum provinsi (UMP) 2007, yang Rp 745.000.

Ribuan pengunjuk rasa berasal dari sejumlah pabrik pengolahan kayu, seperti PT Royindo Karya Lestari, PT Kayu Murni Uning, PT Wiyaya Karya Utama, dan PT Surya Satria Timber.

Sempat bersitegang

Unjuk rasa dimulai pukul 08.30 Wita. Pengunjuk rasa berjalan kaki dan konvoi sepeda motor dari Jalan Soetoyo S menuju Kantor Gubernur, Jalan Jenderal Sudirman. Pendemo sempat bersitegang dengan petugas keamanan karena seluruh pintu masuk Kantor Gubernur ditutup. Selain itu, petugas keamanan hanya memperkenankan sekitar 10 wakil buruh yang masuk untuk membicarakan tuntutan mereka.

Akhirnya para perwakilan buruh bertemu dengan Asisten I Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel Fitri Rifani dan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalsel M Kurdiansyah.

Seusai pertemuan, Kurdiansyah menyatakan, pemerintah provinsi bersedia memenuhi tuntutan buruh, tetapi hal itu harus dibicarakan lebih dahulu dengan buruh dan pengusaha. Dialog tiga pihak dinilai penting agar Gubernur memutuskan dengan tepat. Tentang itu, Kurdiansyah mengakui bahwa masih ada UMP di tiga sektor usaha yang belum ditetapkan Gubernur. Penyebabnya, belum ada kesepakatan antara buruh dan pengusaha.

Untuk sektor perkayuan, pengusaha menyatakan hanya mampu menaikkan upah UMSP sebesar Rp 5.000 dari UMP sehingga menjadi Rp 750.000. (FUL)

Tuesday, March 06, 2007

Kehutanan Pemberantasan Penebangan Liar Butuh Komitmen MA

Kamis, 25 Januari 2007

Jakarta, Kompas - Pemberantasan penebangan kayu illegal membutuhkan komitmen dari Mahkamah

Agung. Tanpa dukungan para hakim, Operasi Hutan Lestari yang dijalankan pemerintah akan

sia-sia.

"Pelaku penebangan liar yang telah ditangkap dan diproses hukum selalu divonis ringan di

pengadilan. Hal ini menyebabkan pemberantasan pembalakan kayu tak pernah tuntas karena hakim

tidak mendukung penegakan hukumnya," kata Wakil Ketua Umum Persatuan Sarjana Kehutanan

Indonesia (Persaki) Imam Harmain di Jakarta, Rabu (24/1).

Menurut Imam, jika Mahkamah Agung memiliki komitmen dalam memberantas penebangan liar, tentu

vonis yang dijatuhkan dapat membuat efek jera. Vonis setimpal akan membuat proses penegakan

hukum tuntas.

Catatan Kompas, dari OHL II-2005 ada 116 kasus yang diproses. Sebanyak 88 kasus di antaranya

berlanjut ke kejaksaan dan 17 kasus dihentikan penyidikannya karena kurang bukti. Kemudian,

sebanyak 27 kasus berlanjut ke pengadilan, 13 kasus selesai dengan vonis 7 bulan hingga 2

tahun, lalu 14 kasuslainnya divonis bebas. Ada 186 tersangka dalam seluruh kasus, yaitu 172

warga negara Indonesia, 13 WN Malaysia, dan 1 WN Korea.

Sementara itu, lelang 20.333,57 meter kubik kayu sitaan lakusenilai Rp 19.049.374.578. Hasil

pelelangan itu langsung dimasukkan dalam kas negara dan dicatat sebagai Pendapatan Negara

Bukan Pajak (PNBP).

Sementara itu, seusai rapat koordinasi terbatas di Departemen Kehutanan (Dephut), Wakil

Presiden Muhammad Jusuf Kalla menilai proses penegakan hukum penebangan liar sudah mulai

membaik. Selanjutnya, Wakil Presiden meminta agar operasi terus dilakukan sampai penebangan

liar tidak terjadi lagi.

Evaluasi Gerhan

Selanjutnya, Wapres menyampaikan ketidakpuasannya terhadap realisasi program Gerakan

Reboisasi Lahan (Gerhan) yang dijalankan Dephut untuk menanami kembali lahan kritis. Menurut

Wapres, realisasi program Gerhan terus menurun selama dua tahun terakhir.

Oleh sebab itu, lanjut Wapres, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengintruksikan agar

Gerhan pada tahun 2007 harus mencapai target 2 juta tanaman. Sekitar 900.000 tanaman

dilakukan oleh Departemen Kehutanan, sedangkan sisanya lewat partisipasi masyarakat dan

pengusaha kehutanan.

"Ketidakpuasan itu karena berbagai masalah, seperti pelaksanannya dilakukan pada timing yang

tidak tepat, masalah anggaran dan mekanisme yang harus diubah dan dilakukan

penyesuaian-penyesuaian kembali," ujar Wapres.

Untuk melaksanakan Gerhan, Wapres menyatakan bahwa dananya sudah disiapkan oleh pemerintah.

Pada tahun-tahun awal, dananya masih relatif kecil, yaitu sebesar Rp 1 triliun. Kini, pada

tahun 2007, dana yang disediakan sebesar Rp 4 triliun. "Depkeu dan Dephut akan menyusun

mekanisme pencairannnya dana tersebut secara lebih baik lagi," ujar Wapres. (cas/har/ham)

Program Gerhan

Tahun Target Realisasi Anggaran
2003 300.000 ha, 295.455 ha Rp 813,3 miliar
2004 500.000 hektar, 428.419 ha Rp 1,7 triliun
2005 600.000 ha Rp 1,6 triliun
2006 60.000 ha karena melanjutkan sisa tahun sebelumnya (realisasi belum ada data) Rp 1,5 t

murni dari APBN 2006 Rp 600 miliar.
2007 900.000 ha realisasi belum diketahui Rp 4,2 triliun

Sumber Dephut

Saturday, March 03, 2007

59 Juta Hektar Hutan Indonesia Hilang

Bandar Lampung, Kompas. Selasa, 09 Januari 2007

- Departemen Kehutanan memastikan saat ini sekitar 59 juta hektar dari 120 juta hektar hutan asli Indonesia telah hilang dengan nilai kerugian Rp 30 triliun per tahun. Itu terjadi akibat penebangan hutan yang tidak terkendali selama puluhan tahun tanpa penegakan hukum.

Tachrir Fathoni, Sekretaris Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Hutan Alam Dephut, mengemukakan hal tersebut dalam acara "Workshop dan Pelatihan Regional Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Illegal Logging dan Perdagangan Satwa di Indonesia", Senin (8/1) di Bandar Lampung.

Kerusakan hutan seluas itu, kata Fathoni, akibat penebangan secara manual pada kurun waktu antara 1960 dan 1970. Kemudian berlanjut tahun 1990 saat pemerintah mengeluarkan izin pengusahaan hutan tanaman industri dengan praktik tebang habis.

Selain itu, kerusakan hutan juga terjadi akibat kebakaran, perambahan, pencurian kayu, dan pelepasan kawasan hutan untuk diubah menjadi perkebunan.

Hasilnya, laju kerusakan hutan pada 1985 hingga 1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun. Pada periode 1997-2000 laju kerusakan menjadi 2,1 juta hektar per tahun dan meningkat 2001-2005 menjadi 2,8 juta hektar per tahun.

Sulaeman N Sembiring, pakar hukum kehutanan dari Forest Law Enforcement, Governance and Trade Komisi Eropa untuk Indonesia pada kesempatan yang sama mengatakan, tingginya tingkat kerusakan hutan menyebabkan negara rugi Rp 30 triliun hingga Rp 45 triliun.

Menurut Fathoni, produksi kayu Indonesia dengan kebutuhan bahan baku industri tidak seimbang. Setiap tahun setidaknya dibutuhkan 60 juta meter kubik hingga 70 juta meter kubik kayu, tetapi hutan Indonesia hanya mampu memproduksi 40 juta meter kubik.

Tidak seimbang

Pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Rudy Satriyo Mukantardjo mengatakan, akibat ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan kayu, 60 persen-70 persen konsumsi industri kayu domestik yang mencapai 70 juta meter kubik diperoleh secara ilegal. Ini menyebabkan pembalakan liar makin marak dan negara diperkirakan rugi sekitar Rp 9 triliun per tahun.

Namun, kata Rudy, penegakan hukum masih lemah, ditandai dengan keterlibatan oknum-oknum instansi terkait yang seharusnya ikut bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian hutan.

Untuk menekan kerusakan hutan, kata Sembiring, dibutuhkan kebijakan yang mengarah pada pengelolaan hutan lestari, memberikan penguatan kapasitas pada daerah untuk mengelola hutan, dan tidak membuka ruang bagi pembalakan liar. (hln)