Monday, April 30, 2007

Kehutanan Industri Kayu Nasional Masih Tetap Prospektif

Sabtu, 24 Maret 2007

Jakarta, Kompas - Industri kehutanan berkapasitas produksi lebih dari 6.000 meter kubik per tahun masih prospektif untuk dikembangkan. Persoalan bahan baku yang selalu dikeluhkan kini mulai diatasi dengan pasokan kayu dari hutan tanaman industri, hutan rakyat, dan jatah produksi tebangan yang ditetapkan Departemen Kehutanan setiap tahun.

"Kinerja industri kayu sempat merosot sebentar bukan karena kekurangan bahan baku, tetapi karena berkurangnya pasokan kayu ilegal. Dengan pertumbuhan hutan tanaman industri dan hutan rakyat, industri kayu tetap memiliki prospek bisnis untuk dikembangkan dan bukan sunset industry," kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi di Jakarta, Jumat (23/3).

Masih prospektifnya industri ini karena Indonesia memiliki keunggulan komparatif daripada negara lain dalam memproduksi kayu. Hutan tanaman di sini tujuh tahun sudah bisa dipanen. Di Eropa baru bisa dipanen 13-14 tahun baru bisa dipanen.

Selama ini industri kayu masih banyak menyerap kayu ilegal sehingga jatah produksi tebangan yang diberikan tak pernah terserap habis. Praktik ini marak terjadi tahun 2003 dan berangsur-angsur hilang sejak Departemen Kehutanan menggelar Operasi Hutan Lestari 2005.

Ketika itu, selisih kebutuhan yang diusulkan industri dan pasokan sah yang terealisasi mencapai 9,54 juta meter kubik atau 49,12 persen. Selisih pada tahun 2005 mencapai 9,05 persen atau 3,99 juta meter kubik. Tahun lalu selisihnya berkurang menjadi tinggal 5,62 persen dengan volume 2,36 juta meter kubik.

Selama operasi pemberantasan penebangan liar, industri-industri kayu yang terlalu bergantung pada pemasok ilegal ambruk. Dampaknya, industri kayu yang sah bisa meningkatkan penyerapan bahan baku dari hutan tanaman, rakyat, dan hutan alam yang ditetapkan pemerintah.

Sumber bahan baku resmi yang paling besar berkontribusi adalah hutan tanaman sebesar 60,46 persen. Selanjutnya berasal dari hak pengusahaan hutan sebesar 21,93 persen, izin pemanfaatan kayu 14,31 persen, hutan rakyat 1,68 persen, impor 1,28 persen, dan Perum Perhutani 0,34 persen. Apabila berdasarkan lokasinya, Sumatera dan Kalimantan tetap merupakan sentra produksi bahan baku dan industri kayu nasional.

Menurut Elfian, tahun 2005 industri mengajukan kebutuhan bahan baku sebanyak 32,09 juta meter kubik, tetapi Departemen Kehutanan hanya menyetujui 30,09 juta meter kubik. Tahun lalu industri mengajukan 32,91 juta meter kubik dan disetujui 31,72 meter kubik.

Secara terpisah, Ketua Badan Revitalisasi Industri Kehutanan Soewarni mengungkapkan, industri kayu sebenarnya masih prospektif. Sedikitnya ada 1.500 industri kayu yang mempekerjakan 1,9 juta orang.

Karena itu, industri ini sangat membutuhkan iklim investasi dan peraturan yang kondusif untuk mendukung pertumbuhannya. Masyarakat dan pemerintah juga didorong untuk lebih memerhatikan industri ini.

Kinerja ekspor industri kayu menggembirakan. Total ekspor pada 2006 mencapai 8 miliar dollar AS. Kontribusinya, daun pintu 1,2 miliar dollar AS, kayu lapis 1,5 miliar dollar AS, bubur kertas dan kertas 3,5 miliar-4 miliar dollar AS, dan produk mebel 2,2 miliar dollar AS. (ham)

No comments: