Saturday, March 03, 2007

59 Juta Hektar Hutan Indonesia Hilang

Bandar Lampung, Kompas. Selasa, 09 Januari 2007

- Departemen Kehutanan memastikan saat ini sekitar 59 juta hektar dari 120 juta hektar hutan asli Indonesia telah hilang dengan nilai kerugian Rp 30 triliun per tahun. Itu terjadi akibat penebangan hutan yang tidak terkendali selama puluhan tahun tanpa penegakan hukum.

Tachrir Fathoni, Sekretaris Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Hutan Alam Dephut, mengemukakan hal tersebut dalam acara "Workshop dan Pelatihan Regional Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Illegal Logging dan Perdagangan Satwa di Indonesia", Senin (8/1) di Bandar Lampung.

Kerusakan hutan seluas itu, kata Fathoni, akibat penebangan secara manual pada kurun waktu antara 1960 dan 1970. Kemudian berlanjut tahun 1990 saat pemerintah mengeluarkan izin pengusahaan hutan tanaman industri dengan praktik tebang habis.

Selain itu, kerusakan hutan juga terjadi akibat kebakaran, perambahan, pencurian kayu, dan pelepasan kawasan hutan untuk diubah menjadi perkebunan.

Hasilnya, laju kerusakan hutan pada 1985 hingga 1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun. Pada periode 1997-2000 laju kerusakan menjadi 2,1 juta hektar per tahun dan meningkat 2001-2005 menjadi 2,8 juta hektar per tahun.

Sulaeman N Sembiring, pakar hukum kehutanan dari Forest Law Enforcement, Governance and Trade Komisi Eropa untuk Indonesia pada kesempatan yang sama mengatakan, tingginya tingkat kerusakan hutan menyebabkan negara rugi Rp 30 triliun hingga Rp 45 triliun.

Menurut Fathoni, produksi kayu Indonesia dengan kebutuhan bahan baku industri tidak seimbang. Setiap tahun setidaknya dibutuhkan 60 juta meter kubik hingga 70 juta meter kubik kayu, tetapi hutan Indonesia hanya mampu memproduksi 40 juta meter kubik.

Tidak seimbang

Pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Rudy Satriyo Mukantardjo mengatakan, akibat ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan kayu, 60 persen-70 persen konsumsi industri kayu domestik yang mencapai 70 juta meter kubik diperoleh secara ilegal. Ini menyebabkan pembalakan liar makin marak dan negara diperkirakan rugi sekitar Rp 9 triliun per tahun.

Namun, kata Rudy, penegakan hukum masih lemah, ditandai dengan keterlibatan oknum-oknum instansi terkait yang seharusnya ikut bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian hutan.

Untuk menekan kerusakan hutan, kata Sembiring, dibutuhkan kebijakan yang mengarah pada pengelolaan hutan lestari, memberikan penguatan kapasitas pada daerah untuk mengelola hutan, dan tidak membuka ruang bagi pembalakan liar. (hln)

No comments: