Tuesday, March 27, 2007

Hutan Rusak Banjir Pun Datang

Kamis, 15 Februari 2007 01:16

B. Post/ Opini

Oleh: Marinus Kristiadi Harun SHut
Penelitian pada Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru

Manusia oleh Sang Pencipta diberi ‘amanat agung’ untuk mengelola sumberdaya alam (hutan), agar tercipta hubungan yang harmonis antarsemua mahluk ciptaan-Nya. Hubungan yang harmonis merupakan suatu rantai proses hidup-menghidupi antara dua komponen sumberdaya, yang bermakna adanya suatu keseimbangan. Keseimbangan merupakan kata kunci dari berlangsungnya rantai proses hidup-menghidupi tersebut. Keseimbangan juga bermakna adanya suatu proses memberi dan menerima (take and give) yang saling menguntungkan.

Pada saat interaksi hutan dengan manusia masih bersifat lokal, keseimbangan masih mudah diwujudkan. Namun seiring perkembangan pembangunan, interaksi manusia dengan hutan bukan lagi bersifat lokal, namun sudah banyak intervensi dari pihak luar. Perkembangan pembangunan diiringi dengan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan pasar telah menguras sumberdaya hutan. Hal ini menyebabkan proses penghancuran hutan dan ekosistemnya berlangsung secara sistematis dengan dalih pembangunan.

Penyebab dan Dampak

Bangsa Indonesia memiliki hutan tropik terluas ketiga di dunia dengan nilai ekonomis yang tinggi. Menurut Nugraha (2005) pada tahun sembilan puluhan, sumbangan devisa dari industri perkayuan mencapai rata-rata 20 persen dari total perolehan devisa Indonesia. Sumbangan ekonomi sektor kehutanan yang besar bagi pembangunan di Indonesia ternyata tidak diikuti oleh sistem pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan. Padahal sumberdaya hutan mempunyai peran ganda bagi kita, baik manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya menjaga daya dukung lingkungan. Secara ekonomi nilai manfaat langsung dari penebangan kayu hanya memberi peran 5 persen dari seluruh manfaat hutan. Sedangkan fungsi hutan sebagai daya dukung lingkungan justru memberi peran lebih besar antara 93 persen-95 persen (Kartodiharjo, 2004).

Laju kerusakan hutan di Indonesia pada umumnya dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada 2003 dengan laju pengurangan hutan (deforestasi) mencapai 3,8 juta hektare tiap tahun dengan kerugian negara mencapai Rp30 triliun per tahunnya (Nugraha, 2005).

Faktor mendasar yang menyebabkan kerusakan sumberdaya hutan adalah adanya anggapan hutan sebagai sumber ekonomi yang dapat diperoleh dengan cepat, mudah dan murah. Anggapan tersebut mengakibatkan sumberdaya hutan dipandang sebagai kawasan terbuka (open property resources) yang bebas untuk dimanfaatkan. Dalam pandangan ini setiap anggota masyarakat merasa berhak atas pemanfaatan hutan tanpa mengindahkan aturan/norma. Akibatnya, setiap orang akan mengeksploitasi hutan semaunya tanpa mempedulikan dampak negatif terhadap orang lain dan kelangkaan sumberdaya hutan diabaikan sama sekali.

Pengelolaan sumberdaya hutan pada prakteknya hanya mengedepankan kepentingan ekonomis semata. Kerusakan hutan dianggap sebagai risiko pembangunan yang wajar. Anggapan ‘kewajaran’ ini seringkali mengakibatkan munculnya praktek-praktek yang semakin menyebabkan kerusakan hutan, seperti penebangan liar (illegal logging) dan alih fungsi hutan tanpa analisis dampak lingkungan yang benar. Penempatan sumberdaya hutan yang semata-mata hanya untuk memenuhi kepentingan ekonomi, menyebabkan semakin rusaknya ekologi hutan.

Masyarakat di Kalsel dan Kalimantan pada umumnya yang masih menerapkan sistem bercocok tanam padi ladang berpindah sangat tergantung dengan ketersediaan lahan. Hal ini menjadi kendala manakala kawasan hutan yang dianggap oleh pemerintah sebagai lahan negara ‘diperjualbelikan’ kepada investor dengan mekanisme pemberian hak konsesi usaha tanpa memetakan terlebih dahulu kawasan milik masyarakat. Masyarakat desa mengalami marginalisasi yang berujung pada penurunan kesejahteraan dan meningkatnya ketergantungan pada pihak luar.

Akibat langsung dari deforestasi yang banyak kita rasakan adalah terjadinya bencana alam seperti banjir dan tanah longsor di musim hujan serta kekeringan dan kebakaran di musim kemarau.

Pengelolaan Ke Depan

Pengelolaan hutan ke depan tidak bisa dilakukan terpisah dari kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Hal ini berarti bahwa hutan akan lestari jika dan hanya jika masyarakat lokal sejahtera. Masyarakat lokal memandang hutan sebagai sumber kehidupan pada waktu sekarang dan masa yang akan datang. Mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan berdasarkan peraturan adat.

Kearifan masyarakat lokal dalam mengelola hutan adatnya dapat dijadikan sebagai contoh bentuk pengelolaan hutan yang lestari. Dua hal yang menjadi esensi dari sikap masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya hutan adalah: pertama, adanya kesadaran untuk menempatkan hutan sebagai sesuatu yang dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama-sama (common property resources) dan kedua, unsur kelangkaan sumberdaya hutan menjadi pertimbangan penting. Kedua prinsip tersebut menjadikan pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal tidak bersifat eksploitatif.

Perlu disadari bahwa hubungan masyarakat lokal dengan hutan merupakan hubungan yang bersifat fungsional ekologis (Mubyarto et al., 1992). Hal ini berarti perilaku masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup merupakan bagian dari sistem budaya mereka. Bagi mereka hutan pada hakekatnya merupakan ‘ketahanan pangan’ (food security).

Berdasarkan pemaparan tersebut maka paradigma pembangunan kehutanan harus diubah. Pembangunan kehutanan tidak lagi hanya menjadi pendukung industri yang berorientasi ekspor dan pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi harus mulai mengembangkan ekonomi masyarakat lokal.

Pembangunan kehutanan harus mempertimbangkan kebutuhan dasar masyarakat lokal, distribusi pemerataan hasil-hasil hutan dan partisipasi masyarakat lokal sehingga diharapkan dapat menciptakan hal-hal berikut. Pertama, meningkatkan peran serta masyarakat lokal dalam pengelolaan tanah-tanah hutan yang rusak dan tanah kritis lainnya dalam rangka mengurangi proses deforestasi. Kedua, membangun sosial ekonomi masyarakat lokal melalui penyerapan tenaga kerja, pengembangan lembaga dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, masyarakat lokal mempunyai akses yang lebih baik terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari dalam hutan. Keempat, meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sebagai tujuan antara peningkatan kemandirian mereka.

Pada saat yang sama, masyarakat lokal terbukti telah mampu mengelola hutan secara lestari melalui suatu proses yang panjang. Banyak bukti yang menunjukkan hal ini, misalnya Sistem Lembo di Kalimantan Timur, Sistem Dukuh di Kalimantan Selatan, Repong Damar di Krui, Lampung dan Kebun Tembawang di Sanggau yang telah terbukti mampu menghijaukan lahan-lahan yang dulunya kritis menjadi produktif kembali. Sistem tembawang misalnya merupakan salah satu contoh bukti keberhasilan budidaya dipterocarpaceae oleh masyarakat lokal. Praktik-praktik kearifan tradisional tersebut merupakan bentuk penggelolaan sumberdaya hutan yang mampu menjawab persoalan ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Kita berharap agar pengelolaan hutan yang benar mampu mereduksi terjadinya bencana banjir dan tanah longsor di musim penghujan serta kebakaran hutan dan lahan di musim kemarau. Semoga!

marinuskh@yahoo.co.id

No comments: