Sunday, November 19, 2006

Aturan Baru Bisa Musnahkan Hutan RI

Kamis, 16 November 2006
Pontianak, Kompas - Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 55 Tahun 2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara dinilai akan berdampak pada musnahnya hutan yang tersisa di Indonesia. Keberpihakan peraturan itu terhadap pelestarian hutan dipertanyakan.

Peraturan menteri kehutanan (permenhut) itu memangkas jumlah dokumen kayu. Sebelumnya, kayu yang akan diolah harus mempunyai dua surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). Menurut aturan itu, hanya diperlukan satu surat keterangan sahnya kayu bulat (SKSKB).

SKSHH diberlakukan saat kayu ditebang dari hutan, kemudian masuk ke pabrik dan setelah kayu dikeluarkan dari pabrik. SKSKB hanya diberlakukan bagi kayu yang ditebang dari hutan. Kayu yang keluar dari pabrik cukup dilengkapi faktur. Faktur itu merupakan dokumen perusahaan, bukan dokumen negara.

"Pemberlakuan permenhut ini menghapus instrumen pemerintah yang mengendalikan peredaran hasil hutan. Bila instrumen ini dipangkas, pencurian kayu akan semakin besar," kata Agus Setyarso, fasilitator Program untuk Nota Kesepahaman Indonesia-Inggris dalam Pemberantasan Penebangan Liar.

Diskusi tentang peraturan baru itu difasilitasi Forest Law Enforcement, Governance & Trade (FLEGT) Kalbar dan digelar di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), Rabu (15/11). Acara itu dihadiri pejabat instansi dan pemerhati kehutanan.

"Ini merupakan diskusi kritis pertama di Indonesia. Kami akan agendakan diskusi serupa di Jakarta," kata Agus.

Menurut dia, permenhut disahkan berdasarkan dua alasan, yakni menjamin kepastian hukum dan memberi kesempatan pelaku usaha untuk mengadministrasikan kegiatan serta hasil hutan dengan lebih baik. "Saya mempertanyakan permenhut ini. Untuk menjamin kepastian hukum yang mana? Sebab, kondisi kehutanan di Indonesia belum terlalu baik dan masih membutuhkan pengawasan," kata Agus.

Kepala Bidang Perlindungan Hutan, Dinas Kehutanan Kalbar, Sunarno, menyayangkan disahkannya permenhut itu tanpa terlebih dahulu menggelar konsultasi publik. (RYO)

No comments: