Thursday, November 23, 2006

Sulitnya Memberantas Illegal Loging

Kamis, 19 Oktober 2006 01:10
Tidak adanya kesempatan dan akses terhadap mata pencaharian lain yang lebih menguntungkan selain menebang kayu, juga dapat memicu masyarakat lokal melakukan penebangan kayu secara illegal.

Oleh: Alip Winarto SHut MSi
Alumnus S2 Politik Lokal dan otonomi Daerah UGM

Salah satu masalah besar yang dihadapi sektor kehutanan Indonesia adalah percepatan laju deforestasi. Penebangan liar yang kemudian lebih populer dengan istilah illegal logging merupakan salah satu pemicu deforestasi yang melanda sebagian besar kawasan hutan di Indonesia. Menurut MS Kaban (2005), kerugian yang diderita negara akibat illegal logging mencapai sekitar Rp30 triliun per tahun atau setara Rp83 miliar per hari. Perkiraan ini berdasarkan perhitungan Departemen Kehutanan sejak 1999, yaitu sekitar 29,5 juta meter kubik kayu yang beredar berasal dari hasil aktivitas illegal logging.

Tidak hanya itu, illegal logging juga sering dituding sebagai biang keladi bencana banjir dan tanah longsor yang sempat melanda beberapa wilayah di negeri ini.

Aktivitas illegal logging terjadi hampir di seluruh tipe kawasan hutan, baik pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, taman nasional dan kawasan konservasi lainnya. Juga di beberapa kawasan yang memiliki potensi hutan dan mengandalkannya sebagai salah satu modal dasar dalam kegiatan pembangunan. Illegal logging menjadi masalah yang sangat kompleks, karena banyaknya aktor yang terlibat di dalamnya dengan kepentingan masing-masing dan dengan jaringan pasar lokal, nasional maupun global. Oleh karena itu berbagai upaya dilakukan pemerintah pusat maupun pusat daerah untuk menghabisi aktivitas illegal logging baik yang bersifat preventif, persuasif maupun represif.

Upaya preventif dilakukan dengan pembuatan portal di kawasan hutan produksi (yang dikuasai HPH maupun eks HPH), kawasan konservasi seperti cagar alam, suaka margasatwa, taman hutan raya dan sebagainya. Peningkatan kinerja HPH dalam pengamanan hutan juga dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan pihak kehutanan dan kepolisian sesuai SK Menteri Kehutanan No. 523/Kpts-II/93, serta pemberdayaan penebang liar dengan merekrut mereka menjadi penebang resmi di HPH.

Sementara itu, upaya represif dilakukan melalui kegiatan operasi pengamanan hutan secara fungsional kehutanan maupun gabungan. Bentuk kegiatan represif berupa razia, penyitaan barang bukti hasil dan alat kejahatan illegal logging, penangkapan pelaku dan sebagainya.

Banyak sudah upaya yang dilakukan pemerintah untuk meniadakan atau setidaknya mengurangi aktivitas tersebut. Terakhir, dikeluarkannya Inpres Nomor 4 Tahun 2005 sebagai payung hukum dalam pemberantasan penebangan liar sampai ke akarnya.

Sayangnya, berbagai upaya itu belum cukup untuk menghentikan aktivitas penebangan liar. Dana yang dialirkan dalam upaya pemberantasan penebangan liar pun tidak sedikit, baik dari pemerintah maupun pihak lain. Tidak hanya pemerintah, lembaga nonpemerintah di tingkat lokal, nasional maupun internasional juga tidak bosan mengampanyekan anti illegal logging.

Illegal logging harus dilihat dari perspektif yang komprehensif dengan segala aspeknya. Antara lain aspek legal, supply demand kayu, sosial ekonomi, dan aspek penegakan hukum. Dari aspek legal, banyak kalangan menilai meskipun ketentuan tentang kehutanan yang baru (UU No 41 Tahun 1999) jauh lebih baik dari UU sebelumnya, tetapi keberpihakan terhadap hak masyarakat terhadap hutan masih berupa retorika. Pengelolaan hutan baik pada kawasan produksi maupun konservasi masih belum melihat masyarakat lokal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hutan itu sendiri.

Menurut CIFOR (2004), sebanyak 48,8 juta penduduk Indonesia tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari jumlah itu, sekitar 10,2 juta di antaranya tergolong miskin sehingga perlu segera dilakukan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Dari aspek sosial ekonomi, tingkat sosial ekonomi masyarakat sekitar yang rendah akan memicu melakukan penebangan kayu secara illegal. Kegiatan ini dilakukan baik sekadar untuk membangun tempat tinggal dan mengambil lahan untuk berladang, maupun memang mempunyai tujuan komersial dengan memperjualbelikan kayu yang diperoleh.

Tidak adanya kesempatan dan akses terhadap mata pencaharian lain yang lebih menguntungkan selain menebang kayu, juga dapat memicu masyarakat lokal melakukan penebangan kayu secara illegal. Sebagian masyarakat merasa tidak terbantu atas keberadaan hutan produksi yang dikelola HPH maupun hutan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Ditambah lagi dengan kesalahan pemaknaan konsep hutan milik negara yang diterjemahkan sebagai milik masyarakat, dalam arti masyarakat bebas memperlakukannya sekehendak hati, juga mendorong aktivitas penebangan kayu secara membabi buta. Apalagi HPH sendiri kadang-kadang juga terlibat dalam illegal logging di arealnya maupun di luar konsesinya, karena berbagai tuntutan baik yang dilakukan langsung atau sekedar memfasilitasi pihak lain.

Kesenjangan antara supply dan demand kayu juga mempunyai pengaruh terhadap intensitas illegal logging. Kesenjangan ini terjadi sebagai akibat konsumsi kayu untuk kebutuhan industri maupun pemenuhan kebutuhan masyarakat cukup tinggi.

Pertumbuhan industri pengolahan kayu di luar negeri seperti Malaysia, Taiwan, Korea, dan RRC yang juga membutuhkan bahan baku kayu bulat dan kayu gergajian dari Indonesia menambah kesenjangan yang memacu kegiatan penebangan liar. Begitu juga dengan konsumsi kayu untuk rumah tinggal yang cukup tinggi, berpengaruh terhadap semakin meningkatnya permintaan kayu untuk konsumsi masyarakat lokal. Betapa tidak, sampai saat ini kayu masih tetap diperlukan sebagai salah satu unsur pokok dalam membangun rumah tinggal. Kondisi seperti ini juga berdampak pada semakin tingginya kesenjangan supply dan demand kayu, sehingga kebutuhan kayu selain dipenuhi dari kayu legal juga harus dipenuhi dari hasil aktivitas illegal logging.

Lemahnya penegakkan supremasi hukum juga berpengaruh terhadap semakin meningkatnya aktivitas illegal logging. Upaya penegakan hukum biasanya terhambat dengan berbagai alasan seperti BAP tidak lengkap, tidak cukup bukti, tidak ada saksi yang menguatkan dan sebagainya sehingga proses hukum tidak dapat dilanjutkan. Meskipun semua pihak mengetahui, fakta di lapangan memang terjadi illegal logging baik yang dilakukan perorangan, perusahan skala kecil maupun skala besar.

Upaya penegakan hukum juga belum sepenuhnya menyentuh seluruh pihak yang terlibat dalam illegal logging. Biasanya hanya pelaku di lapangan seperti penebang kayu atau sopir truk, yang sering tertangkap dan diproses hukum. Sementara sang cukong sebagai pemilik modal masih banyak yang belum tersentuh hukum. Bahkan karena kepiawaiannya, cukong dapat melepaskan pelaku di lapangan untuk tidak diproses hukum. Lemahnya proses penegakan hukum disinyalir karena ada oknum aparat penegak hukum yang bermain, baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya terlibat suap, ikut menggerakkan dan memberi modal kepada masyarakat, menjadi beking dan pengawalan aparat serta menggeser isu kejahatan pidana kehutanan menjadi isu sosial dan politik untuk pembenaran. Juga penyalahgunaan wewenang yang di antaranya meliputi kolusi dalam penerbitan izin penebangan dan pengangkutan, pelanggaran izin, manipulasi penggunaan peralatan, penyalahgunaan dokumen, penyelundupan dan sebagainya.

Beberapa kasus illegal logging yang sudah diproses secara hukum, tetapi sanksi yang dikenakan tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkannya. Sanksi seperti ini tidak memberikan efek jera bagi pihak yang terlibat dalam illegal logging. Diskriminasi dalam penegakan hukum juga memicu kecemburuan masyarakat lokal, sehingga mereka semakin berani melakukan aktivitas illegal logging. Syukurlah dalam beberapa waktu terakhir, cukong illegal logging mulai diburu meskipun sampai saat ini masih banyak yang belum tertangkap dan diadili.

Pada hakikatnya illegal logging tidak sekadar tindakan kriminal biasa, tetapi merupakan kejahatan lingkungan yang luar biasa merugikan. Bila berlangsung secara terus menerus, bukan hanya negara yang dirugikan dari segi penerimaan pendapatan negara tetapi juga berupa kerusakan lingkungan yang tidak ternilai dengan rupiah. Dampak illegal logging akan dirasakan masyarakat luas, karena kerusakan kawasan hutan yang berdampak pada menurunnya fungsi ekonomi dan konservasi. Lantas bagaimana solusinya ?

Pertama, model pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang selama ini masih menjadi wacana harus selekasnya direalisasi, sehingga masyarakat merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan di sekitarnya.Kedua, bahan baku kayu dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam pengembangan produk dan peningkatan rendemen kayu olahan di industri. Ketiga, pola kemitraan dalam upaya penanggulangan illegal logging perlu ditingkatkan sehingga masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tidak menjadi semakin terasing dan tertekan dari lingkungannya sendiri. Keempat, dalam penegakan hukum diperlukan peningkatan kualitas mental aparat dan penegak hukum dengan menegakkan perilaku disiplin disertai sistem kontrol yang ketat baik oleh pemerintah, masyarakat maupun swasta sehingga tidak ada diskriminasi hukum. Dalam hal ini, perlu diberikan sanksi bagi pelaku illegal logging. Sebaliknya perlu juga diberikan penghargaan kepada pihak yang berupaya mendorong dan membersihkan pengelolaan hutan dari aktivitas illegal logging.

e-mail : alip_winarto@yahoo.com

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

No comments: