Tuesday, December 18, 2007

Pembalakan Liar Mencoreng Perkembangan Industri Perkayuan

Rabu, 21 November 2007

Jakarta, Kompas - Pembalakan liar semakin mencoreng perkembangan industri perkayuan nasional sehingga opini publik sering menyebut industri hasil-hasil hutan sudah berada dalam situasi sunset atau tenggelam. Revitalisasi hutan menjadi langkah penting untuk segera memperbaiki parahnya kondisi hutan di Indonesia.

Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan Boen Purnama mengemukakan hal itu di sela-sela diskusi "Pertemuan Multipihak tentang Kecenderungan Opini Publik terhadap Pembangunan Sektor Kehutanan" di Jakarta, Selasa (20/11).

Purnama mengatakan, pemberantasan pembalakan liar terus diupayakan Departemen Kehutanan bekerja sama dengan Kepolisian RI. Sampai saat ini, pemerintah juga sedang memproses terbitnya Undang-Undang Pembalakan Liar.

Ketua Indonesia Furnitur Club Yos S Theosabrata dalam pembukaan Pameran Mesin Perkayuan Kedua ASEAN Wood di Jakarta Internasional Expo, Kemayoran, mengatakan, titik keprihatinan industri perkayuan bukan hanya terletak pada pembalakan liar, tetapi juga pada penyelundupan.

Menurut Yos, ketika mengikuti World Furniture Congress di Shanghai, China, bulan lalu, peserta umumnya menyerang delegasi Indonesia karena industri perkayuannya dinilai tidak ramah lingkungan.

"Kita dituduh merusak hutan karena melakukan illegal logging. Lalu, saya akui bahwa penebangan liar memang terjadi dan cukup sulit ditangani, tetapi yang lebih perlu ditangani sebetulnya illegal trading," kata Yos.

Yos mencontohkan kondisi pembalakan liar di Kalimantan. Kayu hasil tebangan itu bisa digeser dengan mudah, lalu diklaim sebagai milik Malaysia. Di sinilah terjadi pangkal perdagangan kayu ilegal. Sistem perdagangan ilegal masih dianggap remeh.

Ketua Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) Soewarni menuturkan, di mata dunia, sebanyak 80 persen produk perkayuan Indonesia dinyatakan ilegal. Penilaian itu keliru karena penyediaan bahan baku hanya dilihat berdasarkan rencana kerja pemerintah (RKP).

"RKP mencatat bahan baku hanya sembilan juta kubik, sedangkan bahan baku yang diperlukan industri perkayuan 40 juta kubik," kata Soewarni.

Menurut dia, hitung-hitungan ini harus diluruskan karena bahan baku bukan hanya berasal dari hutan alam sebagaimana dicatat RKP, tetapi juga dari hutan tanaman industri (HTI), hutan rakyat, dan perkebunan.

Soewarni mengatakan, pemberantasan seharusnya bukan hanya dilakukan terhadap pelaku pembalakan liar, tetapi juga perdagangan ilegal.

Ironisnya, lanjut Soewarni, mekanisme pemanfaatan kayu menjadi sangat ketat. Misalnya, kayu dari hutan rakyat harus menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). Padahal, rakyat menanam sendiri di lahannya sendiri. (OSA)

No comments: