Friday, August 31, 2007

Bawa Ulin, Tangkap

Saturday, 11 August 2007 03:01

TANJUNG, BPOST - Kepala Dinas Kehutanan Tabalong H Saepudin memerintahkan aparat berwenang menangkap siapa saja yang membawa ulin keluar dari hutan kabupaten tersebut.

Dishut tidak mengeluarkan izin penebangan ulin yang kini hanya ada di hutan. Untuk menebang dan membawanya perlu izin menteri kehutanan dan provinsi. Itu pun yang boleh mengambilnya hanya pengusaha yang punya rencana karya tahunan hak pengusahaan hutan (RKT HPH) aktif.

Namun mereka juga harus memenuhi ketentuan Dirjen Kehutanan Nomor S-669/VI-DPHA/2006 dan Surat Menhut Nomor S-147/Menhut-VI/1006, di mana pohon yang boleh ditebang cuma yang berdiameter 60 sentimeter. Setiap ditebang satu pohon, harus ditanam kembali 10 bibit baru sebagai gantinya.

Bila masyarakat punya ulin di kebun sendiri, menurut Saepudin, boleh menebangnya. Namun mereka harus mengurus izin ke provinsi dengan rekomendasi Dishut Tabalong. Sampai saat ini, tak ada masyarakat yang mengurus izin tersebut.

"Jadi kalau sekarang tetap ada yang mengeluarkan ulin dari hutan, kami suruh tangkapi saja, karena tidak ada izinnya," tegas Saepudin.

Di Tabalong, hutan yang masih ada pohon ulin berada di Desa Lano, Kecamatan Jaro, Desa Dambung Raya dan Panaan di Bintang Ara.

Pantauan BPost di lapangan, masih banyak pemilik pangkalan yang menjual ulin. Mereka mendapatkan dari para pemasok yang ada di daerah penghasil kayu hutan seperti dari Kecamatan Jaro.

Para pemilik pangkalan mengatakan ulin dibeli untuk melengkapi dagangan saja. Sebab meskipun permintaan menurun, masih ada masyarakat yang berminat.

Ulin tidak lagi menjadi bahan utama membuat rumah. Kayu besi ini untuk bagian tertentu yang sering terkena air seperti kusen jendela, ukiran atap dan pintu kamar mandi saja.

Kayu ini diperoleh dengan usaha yang cukup merepotkan. Untuk membawanya ke pangkalan, pemasok harus mengoplosnya dengan kayu lain agar tidak menarik perhatian.

"Kalau bawa ulin melulu langsung diborgol polisi. Karena itu biasanya dicampur dengan kayu lain. Perbandingannya 20-80 persen lah," tutur seorang pemilik pangkalan kayu di Desa Sulingan, Tanjung, yang enggan disebutkan namanya.

Strategi itu cukup efektif karena biasanya petugas tetap membolehkan asalkan untuk keperluan pasar lokal saja. Biasanya kayu ulin diselipkan di antara kayu-kayu lain seperti meranti, kapur dan bangkirai yang dibawa menggunakan pikap.

Kayu ulin saat ini termasuk kayu paling mahal di pasaran. Satu kubik saat ini seharga Rp 3 juta-Rp 3,5 juta atau Rp 46 ribu sekeping ukuran 4 meter dengan tebal 1,5 x 16 senti, padahal setahun lalu cuma Rp 2 jutaan. nda


No comments: