Friday, May 04, 2007

Jeda Tebang, Mungkinkah

Rabu, 25 April 2007 01:19

Dalam rangka menyambut Hari Bumi pada 22 April 2007, Drektur Eksekutif Nasional Walhi Chalid Muhammad mengeluarkan imbauan kepada pemerintah untuk melakukan perenungan terhadap bumi berupa aksi yang disebutnya sebagai ‘jeda tebang’.

Imbauan yang kedengarannya sangat sederhana. Namun sebenarnya menuntut sebuah konsekwensi nasional, yang rasanya sangat pesimis untuk bisa dilaksanakan.

Disebut terdengar sederhana, sebab pada tataran umum bila kita mendengar istilah jeda maka itu artinya beristirahat sesaat atau sebentar. Padahal jeda tebang yang dimaksud Walhi adalah kurun waktu 15 tahun!

Maka, mungkinkah ini bisa dilakukan?

Itulah pertanyaannya, yang kalau kita mau jujur pastilah jawabannya akan menuai sebuah pesimis besar. Sebab, dalam rentang waktu demikian, dalam hitungan orang awam sekalipun pastilah akan sangat haqul yakin kalau pihak pemegang hak pengelolaan hutan tidak akan mempedulikannya.

Jangankan imbauan itu dikeluarkan hanya oleh sebuah lembaga swadaya, seandainya sudah menjadi kebijakan pemerintah sekalipun, pastilah akan banyak usaha cukong kayu untuk menganulir peraturan itu di lapangan. Seperti yang ditunjukkan di sejumlah kawasan hutan lindung Tanah Air, larangan menebang pohon di kawasan cagar alam itu justru berbuah menjadi ladang penebangan liar yang justru merajalela.

Walhi memang tidak berdaya secara operasional untuk memberlakukan aksi jeda tebang tersebut. Namum sebagai lembaga swadaya masyarakat yang bertanggungjawab terhadap masyarakat pula, lembaga ini sudah menjalankan fungsinya memberikan peringatan kepada pemerintah. Perkara kalau kemudian imbauan itu menjadi angin lalu, merupakan konsekwensi yang harus diterima. Sebab, negeri kita ini memang dikenal sebagai belahan bumi yang akrab dengan pepatah: mustahil menegakkan benang basah.

Untuk imbauan jeda tebang, sebagai contoh kasus yang paling gres, telah membuktikannya. Boro-boro menuai tanggapan serius dari berbagai pihak terutana pemerintah, untuk mendapat porsi perhatian publik yang memadai saja termasuk dari media massa, masih jauh dari yang diharapkan. Dalam pemberitaan saja, sudah terlindas oleh pemberitaan populis sesaat seperti reshuffle kabinet.

Padahal, ketika menyampaikan imbauan tersebut, Walhi menyertakan data memprihatinkan tentang kondisi hutan negeri ini. Menurut Walhi, bila jeda tebang ini tidak segera dilaksanakan maka pada 2012 atau hanya lima tahun saja dari sekarang, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi akan kehilangan hutannya karena pembabatan.

Data itu berdasarkan analogi sekarang, setiap tahun seluas 7,72 hektare hutan Indonesia berubah menjadi tanah lapang. Bila tiga pulau besar yang selama menjadi tulang punggung bertahannya hutan Indonesia, sudah menjadi gundul, mudah saja dibaca bencana apa yang akan terjadi di kemudian hari.

Selain longsor dan banjir, hutan gundul akan menyajikan sebuah krisis kemanusiaan yang jauh lebih mengerikan dibanding sekadar dua jenis bencana tadi, yang datangnya berkala. Tetapi, krisis yang lebih serius itu adalah kekeringan.

Tengok saja data dari World Water Forum II yang dibukukan tujuh tahun lalu, krisis air telah melanda sejumlah negara termasuk Indonesia. Data itu diperkuat oleh Departemen Pekerjaan Umum (DPU) yang menyebutkan, sekarang terdapat 100 juta dari lebih 250 juta jiwa rakyat Indonesia dilanda krisis air.

Mengerikan lagi, dari sisa angka rakyat Indonesia yang masih bisa menikmati fasilitas air dengan teratur, terdapat 70 persen di antaranya yang mengonsumsi air terkontaminasi.

Dengan data ini, apakah kita masih akan menganggap sederhana imbauan Walhi tentang jeda tebang tersebut?

Kembali, jawabannya tergantung pada sejauhmana good will pemerintahan negeri ini untuk menyelamatkan rakyatnya.

No comments: