Saturday, October 14, 2006

Mengkaji Ulang Kebijakan Politik Kehutanan Indonesia

Kamis, 12 Oktober 2006 01:07
Pengelolaan hutan oleh HPH yang semberono ditambah lagi dengan lemahnya kontrol dari pemerintahan dan lingkaran setan korupsi di tubuh politik kehutanan, telah membuahkan hasil yang sangat mengerikan.

Oleh: Yurdi Yasmi
Mahasiswa Universitas Wageningen Belanda

Sejarah kehutanan ‘modern’ di Indonesia bermula di Pulau Jawa yang terkenal dengan hutan jatinya. Dari zaman kolonial hutan jati di Jawa termasyhur hingga mancanegara sebagai salah satu contoh pengelolaan hutan yang lestari. Pada akhir 1960-an orde baru di bawah komando Soeharto menandai perkembangan pesat politik dan pengelolaan hutan di tanah air. Hutan alam Indonesia yang terhampar luas dari Sumatra, Kalimantan hingga Papua segera dibuka untuk memacu roda pembangunan.

Atas nama pembangunan pula, hutan alam tropika yang kaya keanekaragaman hayati (biodiversity) ini dikuras habis-habisan. Sebagai pemilik hutan tropis terbesar ketiga setelah Brazil dan Congo, Indonesia merupakan pusat perhatian dunia. Namun sayangnya, hampir seluruh wilayah hutan sudah dibagi-bagi ke pihak swasta dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH). HPH itu sebagian besar dibagikan ke kroni Soeharto.

Pengelolaan hutan oleh HPH yang semberono ditambah lagi dengan lemahnya kontrol dari pemerintahan dan lingkaran setan korupsi di tubuh politik kehutanan, telah membuahkan hasil yang sangat mengerikan. Hutan alam kita hancur lebur dan di ambang kepunahan, sisa hutan alam yang masih perawan sangat terbatas. Seiring musnahnya hutan alam tropika Indonesia, berbagai bencana datang silih berganti. Banjir dan longsor, misalnya, sudah merupakan hal yang lazim.

Belum Buahkan Hasil

1998 menandai perubahan besar dalam politik nasional Indonesia. Aksi protes mahasiswa di seluruh tanah air berhasil mendobrak dan melumpuhkan kekuasaan orde baru. Soeharto turun dari singasana kekuasaannya. Reformasi dikumandangkan, secercah harapan baru dan impian mulai dibangun. Demikian pula di sektor kehutanan, harapan baru untuk menggapai pengelolaan hutan yang lebih baik diajukan berbagai pihak.

Reformasi politik dan pembangunan kehutanan berjalan cepat. Kekuasaan tidak lagi terpusat di Jakarta, pemerintah daerah pun diberdayakan. Untuk pertama kalinya pemerintah daerah memegang peran dalam pengelolaan hutan di wilayah masing-masing. Bupati mempunyai hak dan kekuasaan untuk mengeluarkn izin HPH kecil dan berhak mengambil retribusi/pajak hasil hutan secara langsung. Pengusaha lokal mulai bangkit dan mendapatkan konsesi pengelolaan hutan. Perekonomian daerah mulai berangsur menggeliat.

Namun reformasi dan desentralisasi pengelolaan hutan yang terkesan tergesa-gesa berujung pada malapateka berikutnya. Menurut kajian the Center for International Forestry Research (CIFOR), reformasi kehutanan melahirkan sejumlah ‘raja’ baru di daerah. Bupati dan pengusaha lokal ‘berkongkalikong’ untuk menguras hutan dan memperbesar pendapatan asli daerah (PAD). CIFOR lebih lanjut mengatakan, iklim reformasi kehutanan dan desentralisasi telah memunculkan elit lokal yang mengelola hutan tanpa berpegang pada azas kelestarian. Hasil dari pengelolaan hutan sebagian besar tidak dinikmati masyarakat banyak. Masyarakat desa sekitar hutan tetap miskin.

Selanjutnya, hasil kajian bersama CIFOR dan Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan, desentralisasi dan reformasi memunculkan konflik baru. Masyarakat lokal di seluruh tanah air menuntut hak mereka yang telah dirampas di zaman orde baru. Alhasil, camp HPH dibakar, pengusaha diancam, peralatan berat mereka dirampas dan kantor mereka diambil alih. Reformasi seakan memberi angin kepada masyarakat untuk menuntut haknya yang telah lama hilang. Menurut pakar konflik di Belanda, konflik semacam ini merupakan konsekuensi logis dari sebuah sistem yang sentralistik di bawah orde baru.

Pilihan Ke Depan

Belajar dari kegagalan di masa lalu, maka sudah seharusnya kebijakan politik kehutanan Indonesia dikaji ulang. Untuk mengatasi permasalahan mendasar seperti yang diuraikan di atas. Berikut adalah beberapa pilihan yang mungkin dijadikan acuan untuk menuju kehutanan Indonesia yang lebih baik.

Mengubah kebijakan pengelolaan hutan dari ekploitasi ke konservasi. Laju kerusakan hutan Indonesia yang mencapai hampir tiga juta hektare per tahun (FAO, 2004) harus segera dihentikan. Untuk itu, pemerintah seharusnya mengintensifkan proses pengawasan terhadap illegal logging dan HPH yang nakal. Dalam jangka panjang, HPH perlu direstrukturisasi. Pada saat bersamaan, proses rehabilitasi hutan alam yang rusak perlu ditingkatkan melalui kegiatan reboisasi.

Mengembangkan kebijakan pengelolaan hutan secara kolaboratif. Sejarah mencatat, pengelolaan hutan yang dimonopoli pemerintah telah membuahkan hasil yang jauh dari harapan. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan kebijakan pengelolaan hutan secara kolaboratif (collaborative forest management). Pengelolaan kolaboratif mengharuskan peran serta berbagai komponen dalam pengelolaan hutan (seperti pemerintah, masyarakat, pemda, kalangan LSM, industri, dsb). Pengelolaan kolaboratif di berbagai negara menunjukkan hasil yang memuaskan, ditinjau dari peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi konflik sosial.

Membangun good forest governance. Saat ini yang sangat diperlukan adalah sebuah tatalaksana pengelolaan hutan yang baik (good forest governance). Hal ini hanya bisa dicapai apabila perangkat kebijakan mempunyai legitimasi yang tinggi, dan pemangku kepentingan (stakeholders) memainkan peran yang saling komplementer. Pembagian hak dan kewajiban di antara stakeholders jelas dan tegas. Partisipasi dirangsang dan penegakan hukum dijamin. Itulah beberapa komponen penting dalam good forest governance.

Menyiapkan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas. Kegagalan pengelolaan hutan Indonesia selama ini tidak terlepas dari peran SDM yang berkecimpung di dalamnya. Selama ini dan harus kita akui, SDM di sektor kehutanan masih lemah. Secara kuantitas mungkin sudah memadai, tapi secara kualitas masih perlu diperbaiki. Salah satu cara adalah dengan mereformasi sistem pendidikan dan kurikulum kehutanan.

e-mail: Yurdi.Yasmi@wur.nl

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

No comments: