Saturday, July 29, 2006

Kinerja Perekonomian; Habis Kayu "Terbitlah Asap"

Sabtu, 29 Juli 2006

Hamzirwan

Pencurian kayu dan perambahan hutan perawan masih terus menghantui Indonesia. Hutan alam seluas 88 juta hektar memiliki potensi kayu alam yang sangat besar dan bernilai tinggi. Akan tetapi, ancaman hilangnya hutan terus menghantui kita. Apalagi laju kerusakan hutan di seluruh Indonesia mencapai 2,8 juta hektar per tahun.

Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban juga telah menabuh genderang perang terhadap pencurian kayu dan perdagangan kayu ilegal. Kaban menargetkan dua praktik yang merugikan negara dan rakyat itu harus tuntas tahun 2006.

Departemen Kehutanan (Dephut) bersama-sama Kepolisian Negara Republik Indonesia akhirnya masuk-keluar hutan melacak kejahatan terorganisasi tersebut. Namun, operasi ini bukannya tanpa efek negatif, yakni memunculkan peluang pungutan liar oleh oknum petugas. Pungutan itu sebagai imbalan atas "jasa baik" oknum petugas tersebut membantu mengeluarkan hasil tebangannya agar tak dituduh pelaku pencuri kayu.

Data Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) menunjukkan, dari 120 perusahaan anggota Apkindo, kini tinggal 52 perusahaan yang masih bertahan. Itu pun kegiatan produksinya tidak lagi sampai 50 persen dari kapasitas terpasang.

Berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan industri kehutanan, misalnya, merestrukturisasi mesin yang dipakai agar bisa mengolah kayu berdiameter kecil. Akan tetapi, langkah itu tetap saja tak mampu menyelamatkan industri kehutanan, yakni kayu lapis dan olahan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Agung Nugraha mengatakan, melemahnya kinerja industri kehutanan masih akan terus terjadi di masa-masa mendatang. Sulitnya bahan baku kayu bulat dan maraknya pungutan liar di lapangan menyebabkan pengusaha menanggung biaya produksi yang sangat tinggi.

"Untuk pungutan liar saja bisa mencapai 15 persen dari biaya produksi yang rata-rata Rp 600.000 per meter kubik," kata Agung di Jakarta, Jumat (28/7).

Kenaikan JPT

Sebenarnya, pemerintah sudah berusaha menyahuti jeritan pengusaha kehutanan akan kelangkaan bahan baku. Dephut telah menaikkan jatah produksi tebangan (JPT) dari 8,1 juta meter kubik di tahun 2006 menjadi 9,1 juta meter kubik di tahun 2007.

Kekurangan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku rata-rata 45 juta meter kubik per tahun itu diharapkan bisa dipasok dari hutan produksi terbatas, hutan tanaman industri, dan hutan rakyat. Akan tetapi, kenaikan JPT ini ternyata belum memuaskan pengusaha. Pasalnya, masih ada faktor fundamental lain yang belum dituntaskan, yaitu pungutan liar.

Kondisi lapangan yang karut-marut seperti ini mau tidak mau telah memengaruhi kinerja industri kayu nasional. Ekspor produk kehutanan menunjukkan kecenderungan stagnan atau malah menurun. Menurut data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan produk kayu dan hasil hutan tiga tahun terakhir terus mengalami pertumbuhan negatif. Tahun 2004 tercatat tumbuh minus 2,1 persen, tahun 2005 tumbuh minus 1,3 persen, lalu makin terperosok pada kuartal pertama 2006 menjadi minus 5,8 persen.

Berdasarkan data Apkindo, produksi panel kayu Indonesia yang pernah mencapai sekitar 7 juta meter kubik pada tahun 1999-2000 juga merosot menjadi 3,5 juta meter kubik di tahun 2005. Padahal, Malaysia diperhitungkan masih mampu memproduksi panel kayu hingga 4 juta meter kubik. Tahun 2006 ini, diperkirakan jumlahnya merosot sampai 2 juta meter kubik.

Data Badan Revitalisasi Industri Kehutanan menunjukkan, ekspor panel kayu tahun 2004 mencapai 2,02 miliar dollar AS dengan volume 5,36 juta meter kubik. Sementara ekspor kayu olahan dan lapis kondisinya masih lebih baik sehubungan dengan meningkatnya permintaan di tengah harga yang naik terus.

Sampai semester pertama 2006, nilai ekspor kedua komoditas itu sudah mencapai 1,8 miliar-1,9 miliar dollar AS dari target 4 miliar dollar AS. Nilai itu tidak jauh berbeda dengan pencapaian periode yang sama tahun 2005.

Penegakan hukum

Maraknya pungutan liar muncul karena ulah oknum polisi yang langsung menuding seluruh kayu yang sedang diangkut pengusaha ke tempat pengolahan adalah hasil pembalakan. Karena itu, pengusaha yang legal akhirnya memilih menumpuk hasil tebangannya di hutan daripada ditangkap dengan tuduhan perambah hutan.

Kondisi ini merupakan dampak negatif dari gencarnya operasi pemberantasan pembalakan hutan oleh pemerintah dan TNI/Polri. Menhut MS Kaban pun tidak menutup mata akan hal ini. Demikian juga Kepala Polri Jenderal Sutanto.

Akan tetapi, keduanya berjanji akan menindak abdi negara yang menyalahgunakan wewenangnya untuk memeras pengusaha yang legal di lapangan. Namun, kedua pejabat negara ini pun meminta agar pengusaha tidak bermain api dengan menyuap aparat pemerintah di lapangan untuk memuluskan praktik ilegalnya.

Menurut Kaban, Dephut sedang merevisi Kepmen Nomor 126/KPTS-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan untuk memperbaiki persyaratan dokumen pengangkutan hasil hutan. Tujuannya, pemisahan yang jelas antara persyaratan dokumen kayu hasil budidaya dan alam sehingga peluang penyelewengan oleh oknum aparat pemerintah pun bisa diminimalisasi.

Secara terbuka, Kaban dan Jenderal Sutanto mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap upaya penegakan hukum pembalakan hutan. Selama Operasi Hutan Lestari (OHL) II-2005 di Papua, dari 116 kasus illegal logging yang diproses 88 kasus di antaranya ke kejaksaan dan 17 kasus dinilai kurang bukti.

Dari 27 kasus yang ke pengadilan, 13 kasus divonis 7 bulan hingga 2 tahun, sedangkan 14 kasus yang melibatkan cukongnya justru divonis bebas oleh hakim. Fakta ini menunjukkan upaya pemberantasan pembalakan liar belum didukung oleh seluruh hamba hukum di Indonesia.

Ada 186 tersangka dalam kasus ini, yaitu 172 warga negara Indonesia, 13 warga Malaysia, dan satu warga Korea. Sementara lelang 20.333,57 meter kubik kayu sitaan laku senilai Rp 19.049.374.578.

Total kayu bulat yang disita berjumlah 420.523 meter kubik dan kayu olahan sebanyak 13.504,28 meter kubik. Tim terpadu OHL II juga menyita 826 alat berat, lima kapal, 167 truk, empat sepeda motor, 11 tongkang, 18 kapal pandu, dan 111 gergaji mesin tangan (chainsaw).

Ternyata, memberantas pembalakan liar itu tidak mudah. Bahkan, di antara dua pilar utama negara—eksekutif dan yudikatif—sendiri masih belum satu bahasa.

No comments: