Saturday, November 03, 2007

Perencanaan; Entry Point Pembangunan Hutan

Rabu, 31-10-2007 | 21:45:47

Perubahan selera masyarakat dan permintaan pasar dapat berpengaruh besar terhadap pilihan yang ditetapkan itu.
Oleh: Hamdani Fauzi
Peneliti Perencanaan Social Forestry Fahutan Unlam

Di tengah kekhawatiran dunia akan deforestasi global, termasuk di Indonesia yang mencapai 300 kali lapangan sepakbola per jam sehingga mencatatkan rekor sebagai penghancur hutan tercepat. Tahun ini Departemen Kehutanan menganggarkan miliaran rupiah untuk penyusunan rancangan teknis (rantek) kegiatan pembangunan hutan di wilayah kerja Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di seluruh Indonesia.
Rantek merupakan dokumen perencanaan yang sangat urgen sebagai acuan seluruh pelaksanaan kegiatan pembangunan hutan yang bersifat strategis dan penting, sebagai entry point penentu keberhasilan pembangunan hutan. Tentunya sudah menjadi kewajiban perencana untuk menyusun rantek yang baik, realistis, ilmiah, aplikatif, obyektif, akurat dan sesuai dengan kondisi lapangan serta memperhatikan aspirasi masyarakat sekitar hutan.
Tidak jarang ditemui, rantek yang disusun tidak sesuai kondisi di lapangan. Misalnya, jenis tanah di lahan itu tergolong ber-pH asam namun masih tetap dibantu dengan pupuk anorganik pemicu keasaman tanah. Bentuk perlakuan terhadap lahan basah yang seharusnya semi mekanis dengan menggunakan tokongan (menimbun tanah hingga berbentuk mangkok terbalik), dalam perencanaan justru dibuat piringan atau dilema ketidaksesuaian jenis dengan kondisi fisik dan sosial ekonomi (sosek) masyarakat.
Pada tataran makro pengelolaan hutan Indonesia, sering terbetik kabar kurang mengenakkan bahwa Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) disusun di atas meja dan dianggap sebagai peraturan final, yang mampu menetapkan batas kawasan hutan secara kongkret di lapangan. Namun sayangnya, berujung pada gagalnya TGHK mencapai pengakuan batas kawasan hutan oleh semua pihak.
Perencanaan di bidang kehutanan memang merupakan kebutuhan mendasar karena beberapa alasan. 1) Dunia kehutanan galibnya selalu berhadapan dengan kawasan yang luas, keragaman kondisi sosek dan keadaan fisik wilayah; 2) Jangka berproduksi kehutanan memerlukan waktu yang panjang dibanding budidaya lainnya: hutan jati menggunakan daur 80 tahun atau paling tidak umur 7 - 8 tahun baru bisa dipanen bagi jenis fast growing; 3) Karena jangka berproduksi yang panjang itu, maka kehutanan berhadapan dengan ketidakpastian (uncertainty) dan risiko yang tinggi; 4) Pilihan untuk menentukan jenis juga cukup banyak, tetapi sekali ditetapkan jenis yang diusahakan itu akan menyangkut seluruh konsekuensi sampai waktu panen.
Perubahan selera masyarakat dan permintaan pasar dapat berpengaruh besar terhadap pilihan yang ditetapkan itu. Pengalaman membuktikan, penebangan jenis akasia oleh masyarakat yang ditanam ketika program reboisasi di catchment area Riam Kanan dilaksanakan karena dianggap tidak menguntungkan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Begitu juga yang terjadi pada saat program sengonisasi diluncurkan oleh pemerintah pada 2002, banyak warga yang menanami lahannya dengan sengon. Namun karena ketidakjelasan pasar, bernasib sama dengan jenis akasia di Riam Kanan. Bagaimana nasib jati, mahoni dan jarak yang ramai ditanam beberapa tahun terakhir ini?
Dengan demikian dibutuhkan analisis mendalam dari perencana untuk memberikan rekomendasi arahan pemilihan jenis dengan mempertimbangkan beberapa aspek seperti suitability land, kemampuan lahan, konservasi, aspirasi masyarakat, kemungkinan domestikasi jenis, faktor ekonomis dan kepastian pasar.
Persoalan lainnya yang perlu diperhatikan perencana, adalah pemantapan kawasan yang diakui para pihak sebagai salah satu syarat yang mutlak dipenuhi untuk pembangunan hutan lestari. Pengelolaan kawasan hutan seringkali berbenturan dengan pemanfaatan atau penggunaan lahan masyarakat yang berpotensi munculnya konflik kepentingan penggunaan lahan.
Di atas peta barangkali kita bisa dengan mudah menentukan calon lokasi pembangunan hutan, karena arealnya berada dalam kawasan hutan produksi yang tidak produktif (rawang), lahan kritis atau semak belukar. Namun kenyataan di lapangan acapkali perencana harus berhadapan dengan PP (bukan Peraturan Pemerintah, tapi Parang Panjang), sebab lahan tersebut sudah diklaim masyarakat sebagai ‘milik’ mereka baik karena dianggap sebagai tanah ulayat yang diakui secara adat turun temurun ataupun yang sifatnya ‘dadakan’. Secara real world, di kawasan hutan pun kita sudah sangat lazim menemui adanya pemegang Kuasa Pertambangan (KP) yang mendapat izin konsesi dari penguasa di daerah. 
Dengan demikian, sangat penting adanya pemantapan batas kawasan hutan. Mengingat, kalau tidak demikian maka kegiatan membangun hutan akan sangat terganggu karena masa berproduksi hutan bersifat jangka panjang dan pengelolaannya tidak dapat diset untuk cepat mengalami perubahan dalam waktu singkat atau mendadak. Lebih dari itu, konversi kawasan berhutan ke bentuk land use lain akan berdampak terhadap ekosistem baik lokal, regional maupun global.
Akhirnya kita berharap, dengan konsep perencanaan yang baik dan berkualitas dibarengi konsistensi implementasi dan pengawasan maka pembangunan hutan bukan lagi sekadar mimpi menggapai asa ‘lestari hutan dan sejahtera masyarakat’.   

e-mail: danie_bastari@yahoo.co.id

No comments: